Senin, 15 November 2010

Cerpen karya Cicilia Oday: "Rumah"


SEINGATKU dulu di sana terdapat selajur setapak dari himpunan batu; yang paling kecil hanya sebesar kelereng, sedang yang paling besar seukuran telur ayam kampung, dengan bentuk tak beraturan dan pipih. Batako-batako berbaris mengapit kedua sisi setapak sehingga batu-batu itu takkan berserakan meskipun terlalu kerap dilalui. Ujung selatan setapak berawal dari pintu pagar, ujung utara berakhir di depan tangga teras. Oma Ema telah berkali-kali mengingatkan bahwa jalan setapak itu hanya untuk dilalui pejalan kaki. Sekali waktu Opa Andries mengendarai ontel tuanya di atas jalan setapak itu sekembali dari Gereja. Batu-batu menggelotak ditimpa roda-roda sepeda yang tersendat. Tangan Opa bergetar sambil mencengkeram setang. Dengan gelagat begitu rupa betapa tampak beliau baru belajar mengendarai sepeda. Dari ujung teras, Oma mengomeli ulah suaminya.

Papi, jang parkir tuh speda di teras!*

Aku, Inggid dan Ridel sedang menanam lantana camara atau bunga tai ayam di susuran pagar. Kami tergelak menertawakan Opa.

Ya, aku ingat. Di susuran pagar kayu itu pernah tumbuh berpinak-pinak bunga tahi ayam dan bunga matahari. Sebulan sekali Opa Andries biasa mengecat jerjak kayu pagar yang menggelilingi rumah. Ridel, Om Roy, atau sesekali Ayah membantu pekerjaan Opa. Tetapi musim kemarau menyebabkan cat putih itu mengeloyak. Opa menggerutu sambil menyalahkan kualitas cat pilihan menantunya. Kayu pagar lantas dicat lagi. Putih berkilau jeruji kayu berpadu dengan hijau daun-daun dan kuning warna kelopak bunga tahi ayam dan matahari. Datanglah musim hujan, udara lembab menyebabkan pangkal pagar bersalut lumut. Para cucu berniat membersihkan. Opa segera melarang. Beliau menyukai warna hijau lumut, kecuali lumut pada dinding sumur dan kakus.

Setiap tanggal 17 Agustus Opa akan mengecat jeruji pagar dengan warna merah dan putih. Seluruh jeruji kayu bagian atas dicat merah pekat. Bagian bawahnya dibiarkan tetap putih. Kadang satu ruji dicat merah seluruh. Ruji disebelahnya dicat putih seluruh. Demikian seterusnya secara berselang seling. Suatu kali aku memetik kelopak bugenvil dari pekarangan dan menyarankan Opa agar mengecat pagar kami dengan warna merah serupa kelopak bugenvil itu. Opa menepis tanganku yang menyodorkan kelopak bugenvil di depan wajahnya.

Merah yang itu milik Nippon, bukan merahnya kita, kata Opa. Itu dorang pe merah, bukang torang pe merah.**

Aku belum bersekolah ketika itu, jadi tak paham benar ucapan beliau. Di kemudian hari kutemukan warna merah pastel kelopak bugenvil pada pipi dan bibir orang-orang Jepang yang cenderung kemerahan lantas segera teringat ucapan Opa tempo hari. Ketika jari telunjukku tersundut duri bugenvil, Opa menatap setetes darah yang pelan-pelan menyembul ke luar dari ujung jariku dan berkata bahwa merahnya darah adalah warna kita. Warna keberanian. Adalah berani kalau kamu tak takut mati, tegas Opa. Menggebu. Aku manggut-manggut. Opalah yang paling tahu.

Dengan selembar koran yang tergulung di tanganku kusibak ilalang yang memenuhi pekarangan, bercuatan menghalangi langkah. Aku yakin sedang melangkah di atas tanah yang dahulu adalah jalan setapak. Lumut tebal menyaput anak-anak tangga teras. Aku berdiri di salah satu anak tangga dan memberus lumut dengan sepatuku. Kerikil-kerikil, debu, batang-batang ilalang kering dan bulu unggas, menyeraki ubin teras. Aku berdiri di tengah teras dan menghadap pekarangan. Kulihat Opa dalam balutan singlet sedang membungkuk di depan pagar sambil menyiangi rumput-rumput teki yang tak diharapkan tumbuh di sana, atau memandikan ontelnya di tengah halaman. Angin kencang berhembus, jambul beringin di sudut pekarangan berdesir. Adegan masa lalu itu lesap dari benakku. Kulihat Oma Ema dan anak-anak perempuannya—termasuk Ibuku—mengenakan caping sambil menyeret cangkul melangkah ke luar pintu pagar, menuju rumah hukum tua untuk mendengarkan sebuah pengarahan. Dari palakat telah diumumkan sedari tiga hari sebelumnya bahwa mapalus akan diadakan di halaman balai desa. Ayah tak bisa ikut, kakinya sedang terluka. Aku dan Inggid disuruh menemani Ayah. Aku memijit tungkai Ayah dan sesekali menepis lalat-lalat yang mengerubuti lukanya. Inggid beranjak ke dapur untuk membuatkan kolak kacang ijo. Wajah Ayah tampak muram. Tiga hari belakangan kusadari ia jarang bicara. Aku bertanya mengapa. Ayah sudi bercerita asal aku berjanji dapat menjaga rahasianya. Aku berjanji. Luka pada kaki kirinya disebabkan oleh Om Roy. Om Roy adalah anak sulung Oma dan Opa, kakak Ibuku. Ayah Inggid dan Ridel. Oma dan Opa telah menjatahkan rumah ini untuk anak bungsu mereka. Kata Om Roy rumah seharusnya diberikan kepada anak laki-laki tertua. Ibu diam saja. Ayahlah yang angkat suara untuk mewakili istrinya. Om Roy menuduh Ayah telah menghasut Oma dan Opa untuk mewariskan rumah ini kepada Ibuku. Ayah mengelak tuduhan. Tak pelak mereka bertengkar. Om Roy mengayunkan celuritnya menuju Ayahku. Ayah melompat mundur, luput dari tebasan celurit. Om Roy melontarkan celurit. Ayah kembali menghindar, tapi ia salah perhitungan. Mata celurit menancap pada kakinya. Bujari kaki kiri Ayah hampir putus. Aku menangis mendengar cerita Ayah. Tangannya dengan cepat menyembar lenganku sewaktu aku berniat menyerang Inggid di dapur.

Kurogoh ke luar sebuah anak kunci dari dalam saku. Di lain hari aku gemar mengelus anak kunci itu berlama-lama seraya membayangkan jejak jemari orangtuaku dan orang-orang yang pernah memegang anak kunci ini di masa lalu. Kubayangkan gembok kecil yang menggelantung di antara daun pintu rangkap berdebu itu menangis haru karena hendak bersua pasangannya lagi. Tetapi waktu dan korosi membuat mereka kepam dan asing terhadap satu sama lain. Tembukan pada telinga akan mengatup bila terlalu lama tak dipasangi anting. Aku bertanya-tanya apakah lubang anak kunci di bawah gembok itu juga telah tertutup sebab terlalu lama tak dijejalkan anak kunci. Logam karatan yang berbentuk busur kecil itu terangkat dari badan gembok. Dadaku berdebar. Kami telah meninggalkan rumah itu selama berpuluh tahun. Ayah berpindah-pindah tugas sebagai hakim Pengadilan Negeri di berbagai tempat. Ibu yang tak ingin terus mendapat tekanan dari saudara-saudarannya memutuskan ikut Ayah. Aku tetap di Manado. Bersama suamiku kami tinggal di kompleks perumahan Citra Land. Sebagaimana anak kunci dan gembok karatan itu, aku dan rumah ini telah asing terhadap satu sama lain.

Apakah masa lalu memiliki aroma? Udara kering berisi debu di ruang tamu itu segea menyambut hidungku. Bersinku beberapa kali memecah hening dan menepiskan debu-debu yang mengambang di depan wajah. Satu set kursi rotan berpernis pernah mengisi ruangan seluas 4 x 4 meter itu. Jambangan dari tanah lempung bertengger di tengah meja, dijejali bunga-bunga plastik buatan Inggid. Tangkai-tangkai bunga terbuat dari lidi. Daun-daun dibentuk dari kalender bekas. Kelopak-kelopak bunga yang merah dan hijau terbuat dari kantong plastik kecil. Pada hari-hari tertentu, meja rotan itu akan dihampari taplak meja. Kupu-kupu hijau muda dan kembang sepatu melekat di sudut ujung taplak sebagai hasil sulaman Ibuku. Pada hari-hari biasa permukaan meja dibiarkan terdedah polos.

Aku menghampiri salah satu jendela di seberang pintu. Daun jendela terpentang ke luar. Dahulu, dari ambang jendela ini aku biasa melihat Tanta Irma berkutat mencari kutu dari kepala lima orang anak perempuannya. Kini hanya sebidang tembok berlumut yang menghadang mataku. Tak ada tetangga. Di balik tembok itu berdiri sebuah toko onderdil. Debu menyaput seluruh permukaan kaca jendela persegi panjang di ruang tamu, membuat pemandangan ke pekarangan sabur lemur. Kukatupkan kembali daun jendela dan beralih ke ruangan lain.

Di tembok ruang keluarga itu pernah bertengger sebuah busur kayu bersama enam batang anak panahnya, yang dipajang secara berderet membentuk kipas. Ini bukan barang mainan, kata Opa suatu kali. Temannya dari Papua menghadiahkan senjata berburu itu kepadanya. Tetapi di Minahasa, senjata ini lebih berguna untuk memburu pemerintah pusat yang korup. Dulu Opa membenci orang-orang Jepang dan Belanda. Belakangan kebenciannya menjalar kepada pemerintah negaranya sendiri. Pada suatu masa ia berhenti memajang pigura berisi gambar presiden pertama Indonesia dan menggantinya dengan foto Ventje Sumual, pemimpin gerakan Perjuangan Semesta. Ketika Ridel menikah, Opa menghadiahkan busur beserta ke enam anak panahnya kepada cucu lelakinya itu. Siapa tahu sewaktu-waktu bisa kamu pakai memanah mertuamu yang komuis itu, kata Opa. Anak-anak tertawa mendengar guyonan Opa. Orang-orang dewasa tertawa masam. Seingatku hanya Ayah yang tidak tertawa sama sekali. Apakah Ayah juga komunis? Tanyaku pada Ibu. Kata Ibu, Ayah bukanlah komunis. Tetapi orang-orang komunis juga adalah saudara kami, bukan? Kasihan nasib ke tujuh pahlawan revolusi, kataku. Para komunis juga tak sedikit yang kemudian dibunuh, timpal Ayah. Masih kuingat geram yang melatari suara dan wajahnya sewaktu berbicara. Setiap orang merasa memegang kebenaran tertinggi, kata Ayah kemudian. Siapa yang merasa paling benar mengira berhak melenyapkan nyawa orang lain.

Jadi, siapakah yang paling benar, Ayah?

Yang paling benar adalah hukum, kata Ayah, yang kemudian memutuskan menjadi seorang hakim.

Sebuah lampu teplok bertengger pada tembok di samping kusen pintu yang menghubungkan ruang keluarga dengan ruang makan, satu-satunya perabot yang masih tersisa dari masa lalu. Seingatku lampu itu telah di sana sejak aku lahir dan tumbuh di rumah tua ini. Bila diisi minyak dan sumbuhnya diganti, barangkali lampu teplok itu masih akan berfungsi. Sebuah meja persegi panjang sederhana merapat di sudut terjauh ruang makan. Kuhampiri meja itu, dan menelusuri salah satu sisinya dengan telapak tanganku, seperti hidung yang tengah menghidu jejak suatu bau. Tak berapa lama kutemukan apa yang kucari. Sayatan-sayatan yang membentuk gambar orang-orangan itu kubuat dengan gigi-gigi garpu pada suatu siang ketika menemani Ayah yang terluka kaki. Mendapati permukaan mejanya kurusak dengan gambar orang-oranganku, Opa menegur perbuatanku, lalu memberiku sepotong papan kayu dan batu tulis. Manakala itu kami belum familier dengan kertas dan pensil. Menggambarlah di situ dan jangan lagi merusak perabotan, pesan Opa. Ketika aku beranjak remaja dan beliau semakin ringkih, kupergoki Opa sedang menekuri gambar orang-oranganku begitu lama. Aku menghampiri Opa bersama semangkuk bubur panas. Bulir-bulir air matanya melekat pada permukaan meja. Aku duduk di samping Opa dan menuntun ia memerhatikan sayatan-sayatan berujud orang-orangan itu satu persatu.

Ini Ayah, kata memulai. Telunjukku menyentuh orang-orangan itu secara berganian. Yang pakai rok ini Ibu. Aku menunjuk gambar orang-orangan terpendek yang berdiri di antara kedua orangtuanya. Ini aku. Orang-orangan yang memiliki sanggul dibelakang kepalanya adalah Oma Ema. Dan yang memegangi sebilah parang adalah Opa. Telunjukku berhenti pada gambar dirinya. Opa Andries mulai menangis kembali. Punggungnya bergetar, memendam tangis dan sebuah bayangan masa lalu ke dalam rongga dadanya.

Opa pernah berkata, bahwa sehebat apapun manusia, suatu hari ia pasti kalah oleh waktu. Tak ada satupun senjata yang dapat mengalahkan waktu. Yang kita perlukan hanyalah kebesaran hati menerima. Kata Opa sehari sebelum ajalnya menjemput.

Aku memasuki kamar tidurnya. Tempat tidur kayu yang menopang tubuhnya terakhir kali masih terdapat di sana, merapat pada satu sisi tembok di dekat jendela. Cahaya matahari menyusup masuk melalui ventilasi, menyoroti debu yang mengambang memenuhi udara kamar. Langit-langit dari selembar tripleks tua di salah satu sudut telah terkulai lepas. Tepiannya bergerigi. Air hujan dan lembab udara memudahkan pelapukan kayu itu. Sarang burung bertengger di atas celah sempit di antara tripleks dan tembok. Air hujan yang pernah menetes menyisakan jejak kecoklatan pada permukaan tembok. Noda-noda itu membentuk corak yang menyerupai stalaktit, atau tetesan darah yang telah lama pudar. Aku telah melihat noda-noda yang sama di ruangan yang lain. Kudukku meremang. Aku beranjak ke ruang tamu dan menghadapi artikel itu kembali.

Sebuah Putusan yang Akan Mengubah Segalanya.

Tidak, aku takkan membiarkan sebuah putusan apapun mengubah kehidupan kami. Seorang ayah sangat mungkin berbuat kesalahan. Ayahku sendiri, dan ayah dari anak-anakku. Ayahku telah keliru sejak ia berkata bahwa satu-satunya kebenaran adalah hukum. Tetapi bagaimana dengan kesedihanku dan kekecewaan anak-anak kami terhadap Ayah mereka? Mereka tak pernah mempertimbangkan perasaan kami ketika membuat ketentuan itu. Majelis hakim, mari kita lihat siapa yang harus tunduk kepada siapa.

Handphonku bergetar. Kurogoh ke luar. Nama yang tertera di sana membuatku tersenyum. Kusahuti panggilannya dan meyakinkan penawar pertamaku itu bahwa ia sudah dapat mengunjungi calon rumahnya tiga hari kemudian. Tiga hari yang akan melenyapkan rumput-rumput ilalang dari setiap jengkal tanah halaman dan meniadakan jejak setitik pun debu atau kerak lumut, dan langit-langit tak perlu lagi melendut dan seluruh tembok dicat putih bersih. Aku janji. Aku jamin. Ia adalah seorang rekan dosen yang mengeluh bahwa jaman sekarang sudah sulit menemukan sebuah rumah berasitektur serupa rumah-rumah pada jaman Belanda. Konstruksi rumah-rumah pada jaman itu jauh lebih kokoh daripada rumah jaman sekarang, menurutnya. Lagipula, ia menyukai barang-barang antik. Kepadanya kutunjukan foto diriku yang kanak-kanak sedang duduk di atas undakan teras.

Rumah ini diwariskan kepada Ibuku, yang hanya memiliki satu orang anak—siapa lagi? Kataku.

Ia menatapku diriku, si pemilik rumah terakhir, dan rumah antik itu secara berganti-ganti. Matanya mendelik kagum. Ia mengingini rumah itu. Aku mengingini uangnya. Ia tak keberatan dengan jumlah yang kusebut.

Peluncuran Buku "[Torang Pe] Hidop" karya Christofel W.B Manoppo, 15 November 2010



Bertempat di Fakultas Sastra Unsrat, Theater Club Fakultas Sastra kembali memfasilitasi sebuah peluncuran buku karya penulis lokal. Buku yang terbit kali ini adalah kumpulan puisi [Torang pe] Hidop karya Christofel W.B Manoppo. Acara diisi dengan pembacaan puisi dan diskusi sastra. Praktisi-praktisi sastra yang turut hadir di antaranya, Fredy Wowor, Charlie Samola, Greenhill Weol, Jenry Koraag, Ie Hadi G, Angga Luedfyne, Dean Joe Kalalo, Hence Makalew, dll.










Resensi Buku: "[Torang Pe] Hidop" (Kumpulan Puisi)


Judul Buku : [Torang Pe] Hidop
Kategori Buku : Kumpulan Puisi
Penulis : Christofel W.B Manoppo
Penerbit : Mawale Movement Center Sulawesi Utara
Tahun Terbit : 2010
Jumlah Halaman : 127



Ulasan Buku

Oleh: Dean Joe Kalalo


Menulis puisi adalah bagaimana mengolah sebuah fenomena menjadi suatu bentuk kata-kata yang memiliki ciri dan pola yang khas. Penyair yang cerdik selalu menerjemahkan setiap fenomena itu dengan cara yang tepat, segar, dan tentu saja berkepribadian. Berkepribadian di sini bertolak pada esensi bahwa setiap puisi merupakan anak kandung dari manusia yang menciptanya. Sebagai anak kandung ia harus lahir tepat waktu, tak boleh prematur, dan tentu saja, mencitrakan keunikan pemiliknya. Tidak bolehlah ia menjadi anak tiri. Banyak penyair yang terkesan memaksakan gaya penulisannya layaknya penyair-penyair besar. Sehingga kita bisa dengan mudah mendapati produk-produk epigon beredar di mana-mana. Keterpengaruhan itu memang sah adanya tapi tidak perlu dipaksa-paksakan.

Tak terhitung jumlah cara penyair dalam mengolah fenomena di hadapannya. Semua tergantung pilihan dan gaya masing-masing. Dan sepertinya Billy Manoppo adalah penyair yang tidak menutup diri dengan berbagai pilihan gaya. Hal ini pula yang membuat puisi-puisi dalam buku ini memiliki keragaman bentuk dan cara bertutur. Meski memiliki bentuk yang beragam, setiap puisi selalu menampakkan keutuhan dan kepribadiannya. Inilah poin yang terpenting. Bukan masalah seperti apa bentuk sebuah puisi. Tapi apakah dalam setiap puisi kita mampu lahir secara total dan utuh. Bukan saatnya lagi mengerangkeng penyair pada aliran-aliran tertentu, yang membuat mereka seumur hidup berkutat dengan model karya yang itu-itu saja. Biarkan penyair memetik berbagai kemungkinan yang menggantung di atas pohon imajinasi.

Dan barangkali inilah kelebihan dari seorang penyair muda Sulut yang satu ini. Ia mampu mengangkat hal-hal yang kadang tak terpikirkan oleh kita dalam puisinya. Menikmati satu persatu karya dalam buku ini seperti menggali kembali memori-memori aktual yang ada di sekitar kita. Kadang kita disodorkan dengan kontemplasi keindahan cinta yang menghanyutkan, lalu tiba-tiba diusik oleh ironi-ironi kehidupan yang absurd. Atau masalah-masalah sepele namun menggelitik seperti pada puisi berikut ini:



Kuliah

Di atas kursi…

Duduk.

Di atas kursi…

Tatap.

Di atas kursi

Di depanmu dosen tak lagi menginjak lantai…

Di atas kursi…

Zzzz…



Rasanya kita semua, baik orang yang mengerti sastra ataupun awam sepakat bahwa puisi di atas sangatlah sederhana. Namun apakah maknanya sesederhana yang tampak di permukaan?. Bagi saya inilah kepribadian dari puisi Billy Manoppo. Ia mampu menyentuh relung batin setiap pembaca dengan gamblang. Dan membuat mereka tak bisa tidur bermalam-malam hanya untuk merenungi maknanya. Bagi para pembaca, mungkin perlu menyiapkan obat tidur sebelum mencicipi isi buku ini.

Puisi-puisi karya: Christofel W.B Manoppo

Malam Biru

Kepada yang terindah



malam selalu biru

bila bulan berpendar sendu

sejenak menepi menyatu sunyi

memandangi alam dibelai mimpi

malam selalu biru

bila hati dalam haru

ditiup ruhnya dingin tak bertepi

tak sabar menanti kekasihku kembali

dihantar embun senyuman pagi




Titik

mati adalah titik

hidup adalah titik – titik





Halo?


Sekian lama tak bertemu

Nomornya membeku di HPku

Tiada salahnya kutelpon dia

Sekedar tanya kabar saja

(Dahulu ingin kujadikan dia kekasihku

Sayang kami berdua terlampau pemalu

Diapun lalu dari pandanganku)

Tiit… Tiit…

Wah, masih aktif nomornya

Tiit… Tiit…

Jantung mulai berdegup

Ah, sudah lama tak lagi kurasa begini

Tiit… Tiit…

Kepala mulai kerasukan bayangnya

Lemah gemulai, halus berbisik

Makin melayang, jantungku berpacu makin kencang

Tiit… Tiit… Tii, “Halo?”

(Suara bass dari seberang sana)

Eh???!!?