Senin, 26 Juli 2010

Kepada Bulan (akupun menangis dibalik kata-kata)

Wawan Ulek


Sebab tak ada senja yang lebih mengerti aku
Selain secarik kertas kusut dan seuntai pena
Yang masih terjaga dalam pelukan jemariku
Untuk melunasi segelas mimpi yang belum diteguk
Dan setangkai rindu yang menggigil lemah
Dibalik kata-kata basah
Engkau tak perlu bertanya
Kemana bunga mawar itu berlari
Aku terlanjur membunuhnya
Sebelum durinya terlalu matang
Untuk menuai airmata kita

Kemarin aku pernah memilih pelukanmu
Menjadi dermaga kata-kata
(mungkin untuk melabuhkan rinduku)
tapi sudah kutuntaskan sembari menguburnya
diatas angin, agar sebilah kenangan beranjak
meredup dari pandangan napasku
sebab dibalik jendela ada selusin kebencian
yang masih setia mengintai pelukan kita

bahkan engkau tak perlu menawarkan
segelas airmata untuk sekedar
melambaikan langkahku
tapi sulangi kepergianku dengan secuil
senyuman yang rekah dari indah bibirmu

(ziarahi aku dengan doa yang sederhana)

Suamiku Seekor Babi

Billy Kalalo



Entah apa yang terjadi dengan diriku. Entah kuman apa yang merecoki otakku. Tiba-tiba saja aku merasa suamiku itu seekor babi. Sudah kuguncang kepalaku. Sudah kukucek mataku. Tetap saja ia seekor babi. Bundar, putih, pendek dan gemuk dengan ekor melengkung dua kali membentuk spiral. Sebenarnya kejadian itu tidak terjadi sekaligus. Mula-mula hidungnya yang memesek bulat dengan dua lubangnya yang pipih. Kemudian telinganya menggelepai lebar bak daun talas. Lalu kedua kaki tangannya mengerucut pendek dengan lengan yang montok. Terakhir di belakangnya muncul buntut yang menyerupai spiral tersebut. Lucu sih, tapi tetap saja ia seekor babi. Dan kalau ia babi, berarti sebagai manusia, aku sudah berbuat dosa. Dosa yang konon tak terampunkan. Karena menikahi seekor binatang.
Aku sangsi dengan perasaanku itu. Untuk menegaskan, kubuka kembali foto-foto perkawinan kami yang dilangsungkan di hotel berbintang lima ternama, hampir dua dekade silam itu. Karena ketika ia kunikahi, ia kutahu seorang pemuda gagah dari keluarga terpandang. Yang terkenal punya santun dan aturan. Pengusaha muda yang mewarisi usaha mertuaku yang kaya raya. Bukan babi yang terseok-seok dengan pantatnya yang bahenol. Dengan degup di rongga, kudekap album itu sejenak ke dada sembari menautkan asa semoga kenyataan itu berbeda. Dan setelah kisi-kisi jiwaku terasa siap, kusibak lembar album tebal itu perlahan-lahan. Dan aku pun sontak terundur dengan tangan di kening. Astaga, ia memanglah seekor babi!! Bedanya cuma pada pakaian pengantin rancangan disainer kondang Italia yang dikenakannya itu. Lengkap dengan seutas dasi kupu-kupu yang melingkari kerah. Dan betapa masygulnya hatiku manakala mendapati di saat yang indah penuh bunga itu, aku nampak begitu bahagia menggandeng tangannya dalam busana serba putih terurai panjang. Menggandeng babi sembari tersenyum bangga. Mengapa tak dari dulu kusadari dia seekor babi! Sesalku tak habis pikir.
Aku tak percaya! Bukti tak cukup bila hanya satu. Dengan jantung berdebar kuambil album foto keluarga kami. Album yang mencantumkan gambar kami berdua, lengkap bersama dua pasang buah hati kami yang gagah dan cantik. Hasil pernikahan kami nan suci. Dan sesudah mengamatinya dengan seksama. Lagi-lagi aku terperangah. Aku kian tak menyangka. Dengan latar belakang pemandangan Tanah Lot yang indah, saat liburan keluarga, ia dan aku sedang mengapit kedua anak kami dengan mesra. Dan dalam pose itu, ia tetaplah seekor babi! Hanya saja kali ini ia sedang tersenyum riang seraya melingkarkan tangannya ke punggung putri kami. Kakinya menyilang gagah bak gaya seorang foto model majalah remaja. Oh, untuk kali itulah aku melihat seekor babi tersenyum dan bersilang kaki. Memamerkan giginya yang tajam. Putih sih, tapi oh, itu kan gigi babi! Sekejab aku merasa menjadi Miss Piggy.
Aku berupaya mengendalikan perasaanku itu. Hari lepas hari kucoba yakini bahwa ia tetaplah seorang manusia. Meski berat hati, kupaksakan melayaninya di tepi meja makan. Duduk sembari menatap ia menyantap hidangan dengan lahapnya. Perutku serasa membelit mual manakala menyaksikan ia menyauk soto ayam itu lalu menyuapnya ke mulutnya. Di makanan basah seperti itu, ia semakin lengkap menjadi seekor babi. Apalagi saat so’un itu bergeliang-geliut di sela bibirnya karena terlalu panjang. Ihh.. Itu seperti cacing yang sudah lama terendam air sehingga pucat dan membengkak. Aku bergidik jijik. Segera kutepis pikiran sesat itu jauh-jauh. Dan di malam harinya, kutemani ia menonton televisi. Atas inisiatifnya sendiri, ia memilih siaran Discovery. Sungguh sial memang diriku ini. Secara kebetulan stasiun itu menayangkan sebuah program tentang kehidupan babi. Mulai dari yang balita sampai dewasa. Mereka makan berebutan. Berlarian di padang dengan langkah dikicik-kicik. Seolah jarak semeter kan ditempuh setahun lamanya. Memperdengarkan nguik-nguiknya yang menyebalkan.
Dan semakin tak kumengerti, ia seakan-akan paham dengan kehidupan hewan itu. Ia kelihatan tak peduli dengan narasi yang mengiringi untuk menjelaskan lika-liku kehidupan hewan itu. Mereka seolah punya bahasa khusus yang berbau pribadi. Sesekali ia tergelak dengan tingkah beberapa babi dalam tayangan itu. Kulirik ia diam-diam. Oh, gusti! Dengan kaki bersilang dan tangan didepangkan di sofa, ia benar-benar babi! Babi yang sedang mengunyah potato chips! Kunyuk! Caciku dalam hati. Segera kutinggalkan ia di sofa itu. Namun derita itu ternyata belum berakhir. Malam tersebut ia menikam-nikamku dengan nafsunya yang terasa tawar. Melelerkan keringatnya yang tiba-tiba berbau basi. Betapa aku ingin muntah dikeloni seekor babi. Usai permainan itu, aku tak tertidur. Gelisah dengan diri sendiri. Mungkinkah aku sudah gila? Gerangku pada diri sendiri. Kalau ia babi, bukankah anak-anak kami tentu rupanya seperti babi jua? Tapi mereka gagah dan cantik. Yang laki mirip Anjasmara sedang yang putri mirip Diana Pungky. Aku mulai merasa miring. Dan manakala dengkurnya yang berat nan nyaring itu terdengar. Paripurnalah sudah perasaanku itu. Aku memang sedang tidur dengan babi!
“Babi itu sebenarnya binatang terbersih lho, Clara.” Kata Eva ketika ia datang ke rumahku siang itu. Dengan hipokrit tingkat tinggi, kuajak ia berbasa-basi perihal hewan itu.
“Maksudmu?” kejarku tak mengerti.
“Secara fisik, ia bersih. Tapi kebiasaannya bermain-main di wilayah basah serta kotor membuat ia dianggap hina dan jorok.” Terang Eva tanpa bisa menebak apa yang sedang mengusik otakku.
“Oooo...” longlongku seolah memahami. Segera kututup diskusi itu agar karibku sejak remaja itu tidak curiga. Mengapa membahas babi? Mengapa tidak kucing atau anjing? Hewan yang lebih dekat dengan naluri perempuan? Dan ketika Eva pulang sore harinya. Aku merasa terganggu dengan pendapatnya tersebut.
Secara fisik suamiku memang bersih dan putih. Sehat dan rupawan. Dan ia memang mencari nafkah di wilayah basah dan mungkin saja kotor. Ia punya perusahaan kayu dan perikanan yang kutahu kerap menempuh cara belakang. Kukenang awalnya sampai perasaan babi itu mulai terbit di benakku. Sebab itu pasti tidak muncul secara tiba-tiba. Aku pun mulai menyadari muasalnya kenapa aku jadi nyeleneh begini. Sebagai pengusaha, suamiku kutahu sering melanglang buana kemana-mana. Mengilang berhari-hari demi menghidupi dapur kami yang sesungguhnya sudah lebih dari sekadar mengepul. Ia pun kutahu dekat dengan beberapa pejabat. Bahkan sejak tahun lalu ia jadi anggota legislatif dari sebuah partai baru yang pelopornya telah sukses menjadi penguasa. Ia menempati nomor urut satu karena menjadi sponsor kuat partai itu. Dan aku masa bodoh. Aku tak peduli sorotan orang tentang cara dia bekerja atau menjalankan usaha. Yang kupeduli adalah nasib rumah-tangga dan masa depan putra-putri kami.
Dan di situlah mungkin titik tolaknya. Lima tahun awal pernikahan kami, aku sangat bahagia dan bangga. Gadis mana yang tak bangga? Ia sangat ideal. Gagah, kaya dan cerdas. Ia memenuhi segala mimpiku. Ia mengabulkan setiap permintaanku. Memanjakanku luar maupun dalam. Keadaan tambah bergairah dengan lahirnya kedua buah hati kami. Namun seiring beringsutnya detak sang waktu, keadaan perlahan berubah. Ia mulai sering kemalaman. Dari sekadar larut berlanjut sampai subuh. Dari sehari tanpa pulang berkembang menjadi dua hari, kemudian seminggu. Dan umumnya tanpa pemberitahuan sebelumnya. Aku mulai tak betah. Sebagai seorang istri aku kerap merasakan kesepian. Dan sebagai seorang wanita yang getas, yang sangat gigih menjaga dan merawat mahligai pernikahannya, wajar bila aku mulai berasa was-was. Pernah ia pulang subuh hari, kutemukan bau alkohol di nafasnya. Tapi meski bau itu kemudian menjadi ritus rutin yang memualkan. Bukan itu yang membuatku teriris. Aku hafal betul semua aroma minyak wangi koleksinya. Aku menemukan aroma lain berpendar dari jasnya. Karena takut dituduh mengada-ada. Kusimpan itu dalam-dalam. Kependam kecurigaan itu rapat-rapat. Namun ironisnya, itu terjadi simultan, hari-hari selanjutnya kucium wangi lembut yang berganti-ganti. Dan parahnya ia mulai “lemah”.
Karena tak tahan, suatu hari kutanya juga tentang aktifitasnya. Kuselidik juga kegiatannya. Dan ia terlihat jengah meladeninya. Esoknya manakala kudesak kembali, ia terlihat mulai marah. Dengan pongah ia berganjak dengan dada menggembung emosi. Aku cuma bisa berdesah. Aku sadar tak berdaya, minyak wangi bukan bukti yang kuat untuk menghakimi. Hari-hariku kian tak tenteram. Selentingan kudengar ia mulai dicaci maki media, dituding menelikung aspirasi pemilihnya. Entah mengapa, diam-diam aku turut mendukung sinyalemen itu.
Semakin lama dadaku semakin sembab dan pengap, dan emosiku meletup juga kala kutemukan merah terukir indah di punggung dan lehernya. Ketika kutanya, ia malah mendamprat dan mencaci-maki. Katanya itu sisa garukan kuku tangannya. Garukan yang bagiku terlihat sangat mesra. Saat itulah kulihat hidungnya berangsur-angsur menjelma menjadi hidung babi. Demi nama baik keluarga dan menjaga citra di mata kedua putra-putriku yang terkasih, kupaksakan juga untuk berbesar hati. Mendampinginya mesra dengan kebaya membalut raga. Menyalami Kolega-koleganya dalam setiap acara dengan senyum bahagia. Tapi usai seremoni-seremoni semu itu, diam-diam aku menyepi. Merenung diri dalam sunyi. Memendam cemas dengan mata basah. Sebab aku masih mencintainya. Tetapi justru anak-anaklah yang sewot.
“Kok Papa jadi begitu sih, Mama!” Protes yang bungsu padaku. Keningku bertaut pura-pura.
“Jadi begitu bagaimana?” tanyaku mencoba bersikap biasa.
“Entahlah, cuma kayaknya Papa jadi lain. Revo sekali-kali ingin jalan-jalan dengan Papa. Tapi Papa selalu tak punya waktu. Papa tak seperti dulu.” Dongkolnya memberut. Aku terkesah dalam dada, ternyata duri itu bukan cuma aku yang rasa. Namun ketika itu kuutarakan padanya, inilah jawabnya.
“Clara. Ngerti dong, Sayang. Sejak jadi anggota legislatif, aku kian sibuk. Mengurus perusahaan dan tugas-tugas legislasi. Ikut rapat-rapat komisi. Tugas-tugas daerah. Urusan partai. Belum lagi kepentingan-kepentingan perusahaan yang tak bisa aku delegasikan.” Ucapnya dengan raut memelas memohon pengertian. Bau wangi yang aneh itu secara bersamaan menyerbak. Dan saat itulah kulihat telinganya lambat-laun melebar menyerupai telinga babi.
Dalam arisan ibu-ibu anggota legislatif yang terpaksa kuikut. Ada selenting gunjingan yang mulai menyebut-nyebut kehidupan suamiku. Menyangsikan kesetiaannya. Meragukan dedikasinya sebagai anggota dewan. Menggugat posisi rangkapnya sebagai pengusaha. Kutebalkan wajah dan dada tuk meladeninya. Kubela ia sepenuh raga. Kudukung aktifitasnya dengan pura-pura. Padahal aku sebenarnya merasa dicerca. Dan dalam kondisi sukma yang remuk berceceran, kutetap bersikap mesra padanya. Dan tanpa peduli dengan siksa yang kurasa, kulihat ia justru kian terlena dengan pengertian yang kuberi. Penampilannya semakin muda, dandanannya pun kian dandy. Dan di suatu ketika, tanpa sengaja kukuping walkman yang belum sempat ia matikan yang terbiar di atas kasur saat ia beranjak mandi. Astaga! Henyakku terheran-heran. Sebuah lagu dari Peterpan! Dan ketika ia keluar dari kamar mandi hanya dengan selembar handuk melilit pinggang, dengan wajah cerah-ceria bak seorang remaja yang tengah dirundung asmara, sembari bersiul-siul meniru lirik lagu “Kukatakan Dengan Indah.” Di saat itulah kulihat kedua tangan dan kaki serta tubuhnya berubah menjadi babi! Ia mencoba menciumku tapi kutolak. Dengan alasan ingin ke dapur. Kutinggalkan ia sendirian.
Suatu waktu ia mengatakan hendak ke Papua selama seminggu untuk mengecek cabang perusahan kami di sana. Saat ia berada di sana, kuputuskan mengambil hati anak-anak dengan mengajak mereka berbelanja sambil jalan-jalan ke mal. Kami berbelanja sepuas-puasnya dan makan di sebuah gerai fast food ternama. Dan betapa syoknya aku tatkala dari balik kaca. Kulihat babi itu ternyata tidak ke Papua. Ia sedang berjalan menjinjing tas belanjaan dalam gandengan seorang gadis belia. Sangat belia, tinggi dan seksi. Mungkin seumur Ariel Peterpan atau Luna Maya. Babi itu menyamarkan penampilannya, tapi aku hafal betul bentuk dan gerik tubuhnya. Hatiku memuai hancur. Kualihkan perhatian dari situ dalam sukma lebur berkeping-keping agar pemandangan itu tidak terbaca oleh kedua anak kami.
Dan meski babi. Ia ternyata bisa berubah wujud pula menjadi merpati. Seperti bualannya, ia memang kembali seminggu sesuai ucapannya. Pura-pura kusambut ia dengan mesra. Seolah tak terjadi apa-apa. Kujemput ia dengan hangat. Peluk cium, tegur sapa kulontarkan dengan lembutnya. Dengan sekepal doa, semoga sekeping jujur kan terlontar dari lidahnya. Dan dengan demikian aku berharap, telinga, tubuh dan hidungnya itu kan kembali berujud manusia. Pulih seiring pengakuannya. Tapi dengan letih yang penuh pura-pura. Ia rebah di peraduan seraya mengajakku bermesra. Sudah poloslah sekujur tubuhnya saat pura-pura kuselisik apa saja yang telah ia lakukan selama di Papua.
“Sibuk!” katanya tanpa rasa berdosa. Cuihh! Hatiku langsung mendecih. Ingin muntah dan benci.
“Benar-benar sibuk!” Gelengnya seakan ia baru menghabiskan satu lomba marathon yang melelahkan.
“Nyaris tak ada waktu bagiku untuk kemana-mana. Aku terpaksa memeriksa sendiri lokasi HPH itu karena orang-orang kita di sana tak kuasa mengatasi mereka. Beberapa LSM di sana masih menuding itu bukan hutan produksi. Brengsek! Cecunguk-cecunguk itu ternyata cuma ingin mencari uang.” Dengkusnya jengkel.
“Tapi syukurlah, semua sudah terselesaikan.” tukasnya lega sembari berupaya mendekatkan bibirnya ke mulutku. Bibir seekor babi yang jorok.
Perasaanku langsung tawar dan hambar. Dalam tubuh polos laksana balita itu. Kulihat seutas ekor babi lambat-lambat terjulur dari sela bongkahan pantatnya lalu melengkung membentuk spiral. Pendek dan mungil. Kutinggalkan ia sendirian di kasur itu dengan jengah tak terkira. Saat itu juga, kularikan mobilku ke rumah Eva. Kutersedu di pangkuannya. Namun aku hanya bungkam ketika ia menanyakan sebabnya. Kubilang aku mulai merasa diabaikan oleh pekerjaan suamiku. Eva pun berceloteh dengan kalimat-kalimat bijaknya, mengutip ungkapan-ungkapan basi. Aku pun berlagak rungu dan netra.
Setelah menyisir semua alasan sehingga perasaan telah menikahi seekor babi itu datang menyambangiku. Aku pun tergegau. Babi itu ada di pikiran dan hatiku. Tumbuh dan tervisualisai secara berangsur-angsur dari sanubari. Bukan di mataku. Demi alasan klise, nama baik dan anak-anak. Kujalani hidup seolah tanpa dosa. Kuretas hari penuh sandiwara. Aku pun mulai rajin berdandan dan keluar rumah. Kucoba menutup hati dengan memelototi para jejaka muda yang sepertinya masih tertarik melirik belahanku yang rendah. Kuingin sampaikan pesan bahwa aku juga bisa berlaku serupa. Meski tak kulakukan sejauh dia, hanya terbatas pada lirik dan cakap. Kususur hari-hariku dengan munafik di dada.
“Tante cantik sekali.” Puji adik lelaki terbontot Eva yang masih remaja dan aku pun sumringah. Tak jarang kusemprotkan minyak wangi pria ke baju dan sengaja memamerkan itu padanya. Ia mencak-mencak tanpa juntrungannya. Aku lega, seolah benci itu terlepas dari sukma.
Sayang, ganjalan itu terus membenam di dada. Karena ia tetap saja seekor babi. Dan ketika anak-anak mulai marah-marah, memprotes segala perubahan perilakuku, aku pun memapangkan wajah di kebeningan kaca. Oh, mengapa hidungku kini mulai terlihat pipih seperti babi? Cemasku gundah. Kukibaskan benak tuk menegur diri. Virus babi itu mulai menular padaku, sebentar lagi aku mirip seperti dia dan aku mesti menghindarinya. Demi menghindari organ-organ lainku turut bermetamorfosis, kuputuskan menjauhi semua aksi balas dendam itu. Kembali mendekam di rumah sebagai wanita berkebaya. Jauh dari tank top atau jins ketat. Sementara di lajunya putaran sang waktu, suamiku semakin lengkap berubah jelma. Bulu-bulu albino yang kasar mulai muncul di pori-pori kulitnya. Dan aku pun tak mau tidur lagi dengannya.
“Tiada babi yang hidup lama, Clara.” Kata Eva suatu waktu ketika kembali kuajak bicara tentang hewan itu. Sebersit kernyitan aneh nampak menggurat di keningnya oleh topik yang kelihatannya sangat antusias kubicarakan itu.
“Babi selalu berakhir di penjagalan. Dipelihara sampai gemuk kemudian disembelih. Disantap oleh orang yang tidak mengharamkannya.” Imbuhnya menjelaskan.
“Masa sih? Apa tidak ada cara lain memperlakukannya? Misalnya dipelihara secara bersih. Kemudian dipajang sebagai tontonan.” Kataku mencoba berbelas asih. Eva pun tergelak.
“Mana ada babi dipelihara di depan rumah-rumah, Clara. Bahkan di kebun binatang pun barangkali tidak.” Tukasnya geli.
“Ah, aku pernah melihat babi dipelihara di kebun binatang.” Tepisku mencoba menghibur diri.
“Clara, Clara. Itu babi hutan yang sudah langka. Bukan babi peternakan yang berkulit albino yang penggemukannya secara sistematis diatur. Kalaupun babi hutan itu belum langka. Pasti ia dibiarkan begitu saja. Ia dikurung agar tidak diburu. Dilindungi agar bisa menjaga populasi. Dan kalau ia terpaksa dipajang di kebun binatang, semata-mata agar anak-anak kita bisa melihatnya. Demi kepentingan ilmu pengetahuan. Sebagai pengingat bahwa ia bagian dari flora dan fauna.” Beber Eva menggeleng-gelengkan kepala.
“Tapi ada juga babi yang terkenal, main di film-film hollywood.” Sangkalku tak mau kalah.
“Lalu apa? Mereka dipelihara sampai tua di rumah jompo yang mahal? Kamu minta tanda-tangan pada mereka? Tidak, Clara! Kalaupun ia tidak disembelih. Ia dibiarkan mati dengan sendirinya. Itu pun dilakukan semata-mata karena ia telah berbuat jasa. Di luar itu, ia tetap babi. Pokoknya apapun jenis babi, ia pasti berakhir di penjagalan. Lagipula, secara kodrati, umur babi memang tidak panjang. Tidak seperti gajah bahkan burung. Ia menempati urutan terendah dalam rantai makanan.” Cetus Eva meringkaskan maksudnya.
Bergidik aku mendengarnya. Namun secarik naluri aneh menyelusup ke dalam relungku. Suamiku bukan berasal dari hutan. Ia kupelihara sampai bersih dan gemuk. Dan babi seperti dia belum langka. Banyak betebaran di kota-kota besar pun kecil. Babi yang gemar merusak semak-semak muda. Sebagai babi, memang layak juga kalau ia disembelih. Posturnya sudah memadai. Dan ditinjau dari aspek babi, ia tidak punya jasa-jasa apa-apa padaku.
“Bagaimana cara mereka menjagalnya?” selisikku dengan desir aneh mengaliri darah.
“Umumnya ditusuk atau digorok dengan belati.” Tandas Eva tanpa sedikit pun rasa ngeri. Ia bicara laksana sarjana yang paham betul ilmu-ilmu peternakan. Aku manggut-manggut mengerti dengan mulut sedikit terlongo dan mata mengambang. Sekeping mengkal yang sekian lama menghuni hati itu seperti lesap diusir sebilah pemikiran.
Dan ketika sebilah pemikiran itu berangsur-angsur menjadi ketetapan, sejak itu pula aku mulai menyimpan belati. Dalam lubuk hati, kuberharap semoga suamiku kembali menjadi manusia. Kembali berempati dan bernurani. Tapi lama-kelamaan tubuhnya justru makin semok. Montok dengan otot-otot yang menggelembung empuk. Kelakuannya pun kian mirip babi. Mengunggis-ngunggis hatiku dengan hidungnya yang pipih. Berbicaranya seperti nguik yang mengemis-ngemis minta disembelih.
Subuh itu ia baru pulang. Dari kamar sebelah kubangun menengok dirinya. Tanpa mencuci tangan dan wajah, ia langsung mengganti pakaian lalu sembunyi di bawah selimut dan segera tertidur. Tanpa tegur dan sapa. Kuraih jasnya. Ugh... Bau dan sapu tangan itu jelas-jelas milik kaum hawa. Tapi aku tidak merasa apa-apa mendapatinya. Kurasa wajar sebab bagiku ia sudah sempurna menjadi babi. Kuperhatikan rautnya yang lelap. Parasnya memburai bahagia. Seolah baru disodori pesona. Kuselusur tubuhnya dari jempol kaki hingga kepala dengan pandangan. Aku menelan ludah. Babi yang montok itu begitu menggiurkan. Begitu pasrah dan rela. Dengkurnya yang teratur membuatnya ia begitu bergairah tuk disembelih. Pelan-pelan kuraih belati itu di laci. Dalam sinar lampu tidur yang temaram kuawasi ia baik-baik. Kucermati wajahnya lekat-lekat. Ia memang bukan suamiku. Ia seekor babi! Simpulku tanpa ragu. Kugenggam belati itu dengan kedua tangan. Kuacungkan tinggi-tinggi. Dan tanpa rasa bersalah apa-apa. Kuhujamkan belati itu ke tubuh si babi dalam beberapa ayunan. Mata yang lelap itu pun mencelat. Menoleh padaku sejenak dengan raut terperanjat. Darah itu muncrat. Babi itu mengejang sesaat lalu tergolek dengan mata membeliak.
Aku pun merasa bebas setelah menemukan babi itu kini tak bergerak. Kuukirkan lega ke belahan bibirku. Kusunggingkan puas ke lembar benakku. Seperti kata Eva, babi itu sudah berakhir di penjagalan. Dan ketika bebas itu selesai menerpa. Ketika merah yang membasahi kedua lenganku itu mulai terasa dingin. Rasa kosong itu seketika menyergap. Kugerayangi bercak yang menodai sekujur piyamaku yang putih. Kutoleh bangkai babi itu. Hewan itu lambat-lambat berubah bentuk. Aku pun tersentak. Terundur kakiku terjejak. Kulempar belati itu dengan pekik. Kutangkup telapak tangan ke mulut. Kuamati kembali seonggok bangkai bermandi darah itu baik-baik. Tungkaiku seketika bergeletar. Berangsur-angsur lunglai. Jatuh menimpa bumi. Oh, Tuhan. Suamiku ternyata bukan seekor babi...

Ika, Thanks neh...
Manado, 08 November 2005

Doa Seorang Anak Di Depan Sebuah Gereja

Ie Hadi G


Bapak Yesus yang mulia
Aku sering dimarahi
Karena mengaku bahwa kau sahabatku

Aku berharap aku tidak salah
Dan izinkan aku terus melakukannya

Bapak Yesus yang terhormat
Bila klak aku bertemu muka dengan muka
Luangkan sedikit waktu untukku
Paling tidak, waktu buat peluk kakimu
Dan kaupun merangkulku
Sehingga yang sering memarahiku itu jadi tau
Ternyata benar
Kita ini sahabat

(15 Juli 2007)

Sahabat Dan Teratai

Ie Hadi G


Tidak ada yang mau menggambar teratai di hatiku
Sekalipun telah hadir sketsa sungai di sana
Memanjang dalam benaman kabut
Yang airnya jadi tirai bagi kedalaman jantungnya

Arus
Dalam
Diam
Menelan

Yang mau menggambar teratai di hatiku ternyata tak ada

Di hadapan riak air telaga
Kupeluk bahu sahabat
Kubri kuas dan seraup tinta
Namun dia lebih memilih pergi
Membakar keringat
Menguapkan semangat
Dan tak mau menggambar di hatiku

Arus
Dalam
Diam
Menerkam
Lalu hilang

Akhirnya tinggal kupotret dalam kenangan
Rautan dari banyak nyanyian, sorak dan peluh
Bukti senyum dan getir bersama
Yang lalu lunglai dalam telaga bening
Tanpa tergambari teratai lagi

(1 Agustus 2007)

Sepercik Deja Vu Yang Nyanda Lunas

Dean Joe Kalalo



Bajalang sandiri di pagi buta, harum hangat tabako
Redakan gigil sepi yang baru klar.
Jalang kita manjae, tanpa benang harap,
cuma dingin yang manyanyi pelang.
Kong kita pun kehilangan
bara yang sempat manyala di dada, kala torang dua
pe jemari berpagutan, di jalang ini.
mar waktu itu nda ada gigil yang basoso
nyanda ada runcing dingin tembusi pori-pori
Cuma kerling torang pe rasa yang sederhana
Getarkan sisa-sisa gelap yang payungi ini jalang

Kong ngana bise pa kita satu kata sederhana:
Tentang riak kenangan yang so klar torang tuntaskan.
Abis itu kita lia ngana pe kening, masih ada sepercik warna, basilau, masih ada ambisi yang amper patah
Mar kita tau, sebuah kecupan nda akan bisa
mengabadikan warna itu
Kita pun kase biar ni bibir membeku, bercinta deng kesendirian abad, bercinta deng hangat wangi tabako.
Kong ngana gandeng kita pe tangan
jambak kita deng senyuman membayang
Mar kita pe hati so terlanjur dirampas ombong
yang rupa cermin pantulkan kekakuan pa kita pe jiwa

Kita trus bajalang, sambil balia tulang-tulang rapuh
talimburang di tenga jalang. nyanda ada sketsa
ato sehelai kartu nama, hanya aroma kekalahan
bagentayangan, memburu tangkapan berikut

Pagi ini ada sepercik Deja Vu yang nyanda lunas
Saat kita mulai belajar bersenggama deng sejuknya
perjalanan sepi, saat ngana pe muka jadi
takdir yang terhalang tembok, terhalang kegilaan zaman.

Februari 2009

Di Ruang Bisu Ini Kita Berpisah

Vick Chenorre


Jendela jendela itu tak pernah luka
meskipun angin menusuknya dari luar dan dalam
di ruangan ini selalu segi empat
bau pisah berkumpul di tiap sudut
menjelaskan kepada kita tentang
tali infuse yang hanya sekedar penghubung
antara kau dan ajal yang tersebar di tiap ubin lantai

cepatlah bersepakat kawan
dalam memilih warna
antara jarum suntik dan pisau bedah
yang semua ujungnya menuju ke sana

atau barangkali kau takut dengan kartu natal
bergambar beringin yang kukirim
setelah tahun telah berganti
beberapa kali memang tak semestinya kita rayakan
pesta sepandang lagu sedendang
lalu kau meninggalkan selendang sebagai tanda
bukan lenggang yang sama ketika kau terpanggang
di atas brankar pemutus kabar

di ruangan ini lidah bersangkar
ucapan tatapan dan berbakar kata
memanas jelas di didih keringat
kita terlibat dalam perjumpaan gawat


kapas pagar pembatas
antara kau dan napas
bersatu sebagai genggam
yang hanya menegaskan cepatlah

kawan

A Letter From Alexa

Op'z Hestee



Tokyo, 19 Februari 2008

Bilamana kah wajah bumi ketika hujan enggan bercinta lagi?
Dan Kau adalah wajah yang akrab dengan hati ini ….
Aku Alexa. Sahabatmu, Seorang perempuan biasa dengan mimpi yang panjang. Bertarung dengan semua mimpi dalam skenario cerita yang tidak pernah berhenti. Berhenti berarti mati-itupun diluar konsekuensi teori bahwa ada kehidupan sesudahnya. Aku hanya Menjalani sesuatu yang bukan kehendak diri tapi kehendak hidup. Dalam pertarungan mencocokan segala macam ego dan emosi diri dengan semua realita kehidupan dan sering aku kalah karena aku masih bernafas.
Nafas adalah sebuah bukti bahwa kehidupan itu yang masih harus dipertarungkan di setiap hitungan waktu. Dan perjalanan waktu itu adalah dimana Tuhan menunjukan KemahakuasaanNya dengan menayangkan sebuah skenario panjang yang mengurai desah berat, derai tangis, gelak tawa dan termaktublah kisah-kisah anak manusia yang dihidup di bawah kaki Langit ini. Seiring dengan perputaran bola bumi pada porosnya, demikian manusia harus tahu bagaimana hidup tetap berpusat pada penciptaNya. Segala sesuatu yang bernafas di muka bumi ini harus memahami arti hidup ini yang sesungguhnya. Hidup hanya sekali dan selebihnya adalah mimpi yang panjang. Suatu misteri mimpi yang tidak pernah kita ketahui dan kita ada di dalamnya. Pemikiran kita belum mampu menerjemahkan maksud Tuhan itu. Sedang manusia hanya mengerti soal dirinya dan memaksakan kemauannya saja.
“ Kita tidak harus merasa kehilangan untuk sesuatu yang bukan punya kita. Merupakan sebuah anugerah ketika kita merasa bahagia dengan kehadirannya tanpa harus merasa memilikinya.” Tegasku dalam sebuah dialog singkat dengan seorang teman lama. Setelah itu sebuah kalimat yang tidak pernah asing bagiku menyelonong menelanjangi pikiranku sesaat. Adalah Sebuah kalimat yang pernah kugunakan ketika menyembuhkan sobekan hati di dada ini hanya karena sebuah pertautan emosi yang keliru. “Cinta itu adalah hanya memberi dan tidak pernah menerima. Memaafkan tanpa pernah menghitung …” ujarnya pelan. “Orang mengklaim bahwa itulah hakikat Cinta yang sebenarnya” tambahnya sedang aku menentangnya dalam batin. Tidak! Sama sekali tidak seperti itu. Cinta itu butuh alasan mengapa dan untuk apa sebenarnya Cinta itu ada. Alasan itu membutuhkan balasan. Siapa di dunia ini yang bisa memberikan segala sesuatu dengan cuma-cuma kecuali Yesus yang menurut Kristiani rela mengganti kematiannya untuk menebus dosa manusia.
Hakikat cinta itu adalah bahwa Cinta akan menuntut balas untuk Kebahagiaan dan Cinta yang tidak menuntut balas adalah Penderitaan Abadi. Apa ada manusia yang tidak mau bahagia di dunia ini? Kita tidak perlu munafik untuk berteriak pada dunia bahwa kita ingin bahagia. Kita ingin dibutuhkan dan kita ingin semua menerima kita dan kita sangat ingin dicintai. Dan semua itu beralasan. Itulah manusia dan Egoisme emosinya yang kekal yang tidak bisa dirubah oleh siapapun. Dia memegang tanganku, menatapku dalam-dalam “Akulah cinta itu! “ Dia diam sedang aku berusaha semampuku meredam detakan jantung yang mulai bergemuruh berlomba dalam dada sedang adrenalinku mulai merancangkan pemikiran-pemikiran aneh untuk membantah idenya yang sempat membuatku terhenyak dan terpaku tak puas. Dia melanjutkan gerakan bibirnya dengan membunyikan beberapa kata dalam sebaris kalimat masih dengan nada yang sama, “Lihat! Hujan tidak pernah menarik air-airnya kembali ke langit! Badai tidak pernah meminta tanah atau alam mengamuk ! Matahari tidak pernah meminta sesuatu sinar apapun dari bumi untuk mengganti sinarnya! Mereka hanya tahu memberi… !!!”
Melepaskan pegangannya, aku melengos dan mematahkan ide filosofisnya itu “ Mereka beremosi tanpa jiwa! Non Organik” Lalu sergahnya, “Alexa! Akulah Hujan dan badai itu! Aku bisa membuktikan padamu!” Dengan mengedipkan mata segera ku berlalu beberapa meter dari tempatku berdiri sebelumya, memutar badan 180 derajat dan melangkah “Be Realistic, Hiro! “. Tak ada jawaban lagi dari sosok yang seperti badai menyambar pikiranku. Hiro dibesarkan dalam keluarga mampu di Tokyo yang penuh cinta walaupun orang-orang yang mencintainya pergi lebih cepat. Dan dia membuktikan dia adalah Badai dan Hujan itu yang menerpa bumi tanpa menuntut balas Sedang aku adalah bumi dan tanah yang telah rusak karena ego manusia yang ada di dalamnya. Keluargaku tidak pernah mengajariku bagaimana cara mencintaii yang baik hanya mereka memberikannya dalam kemasan-kemasan yang berbeda. Seperti Papa yang sering menjajakan cintanya kepada beberapa pelayan warung kecil yang tak jauh dari rumah sementara Mama yang selalu menangis setelah selesai mendoakannya. Sebuah keluarga Nelayan yang miskin kami hidup atas nama hidup itu sendiri dan bukan atas nama cinta. Dan memang Tuhan itu adil, kami semua masih bernafas dan bercinta dengan alasan masing-masing. Kami masih berada di dalam rumah itu dengan ketekunan akan hidup dan peran masing-masing tanpa peduli kesan dan pesan dari beberapa orang yang memperhatikan kami. Kami hanya hidup, bekerja, tertawa di saat sedih dan sedih ketika yang lain tertawa. Dengan alasan bahwa masih banyak orang lain di luar sana yang tidak bisa menikmati semua keindahan yang sudah bisa kita terima secukupnya. Aku ke Tokyo sejak sepuluh tahun yang lalu dan kabar yang kudengar masih sama dari sana. Kita masih menerima semuanya dan bertahan dengan penuh rasa terima kasih pada Tuhan.
“Aku lelah, Hiro! terlibat dengan orang-orang yang selalu memulai dengan emosi dan untuk mengakhiri mereka tiba-tiba bicara soal logika. Sebuah rasionalisasi yang tidak masuk akal. Tidak ada cinta yang tidak beralasan di dunia ini. Bahkan bukan hanya sebagai Badai, mereka adalah Tsunami yang menghancurkan tanpa ampun!” Dia tidak berkata apa-apa hanya sorot matanya sedang melawan menghidupkan sorot mataku yang mulai redup dan berkaca. Dengan raut yang sangat tenang dia mencari- cari pintu hatiku. Aku tak mampu menatap mata itu lama-lama. Kemudian dia menenangkan aku dengan sebuah guyonan cerita-cerita seputar teman dekatnya ”Aku mengenalnya belum lama tapi sepertinya aku telah bercinta berabad-abad yang lalu, dia di depanku, sedang mendengar ceritaku, sedang menatapku, dan dia menganggapku seperti laki-laki kebanyakan yang dia jumpai….” Dia berceloteh tentang aku sampai membuatku tersenyum dan kemudian ku bergegas memotong dan melanjutkan ceritanya dengan topik dirinya. Kami bercerita seperti menceritakan orang lain yang kita kenal, padahal kami sedang membicarakan diri kami sendiri. ”……Saya suka bercerita dengannya, dia temanku paling baik” itulah kalimat penutupku yang bisa meredakan amukan badai di sinar matanya itu. Lalu kami tertawa.. Di pembicaraan berikutnya lama kemudian kami bersentuhan. Bercinta. Dan aku merasakan benar bahwa hujan itu tidak pernah menuntut balasan apapun dan tidak pernah berkehendak menyakiti. Hanya saja ….kita tidak tahu Bahwa suatu saat Hujan itu berhenti. Di bagian ini Hiro lupa meyakinkan padaku sesuatu bahwa suatu ketika dia pergi tiba-tiba persis seperti hujan. “Aku akan tetap menghubungimu! Tapi maaf aku tidak menjamin bahwa kita masih akan tetap bercinta!” artinya dia berhenti menjadi hujan, baru kali itu semua organku terdiam. Semua logika dan ide filosofisku berhenti. Badai itu tiba-tiba berhenti. Setelah aku telah mengakui dan merasakan bahwa benar badai mengamuk dalam emosiku tanpa alasan dan batasan.
“Selesai sudah Cerita tentang Badai dan Hujan milik Hiro Tatsuno. Walau aku masih ingin terus hidup dalam badai besar itu, dan sebenarnya Akulah yang mengamuk dalam badai itu. Dan Hujan itu adalah tangisku hari ini. Aku tidak perlu menanyakan alasannya karena alasan itu hanya milik Hiro. Aku tahu apa arti cinta itu dengan menggeluti emosi yang asing dan dengan sadar melakukan pengkhianatan terhadap realisme logikaku. Aku bergelut dengan emosi itu dan masuk di dalamnya bahkan lebih dari sekedar emosi karena aku lebih mencintai semua apa yang tersembunyi dalam Badai itu, sebuah ketakutan dan kelemahan dibaliknya yang kuubah menjadi ketulusan. Namun benar coba kamu bayangkan apa yang akan terjadi denganku jika Selama-selamanya aku mencintai Hiro Tatsuno! Kita telah beremosi seperti badai dan hujan tapi suatu saat kita harus berhenti supaya tidak menjadi bencana yang panjang. Ada saatnya dia harus menjadi badai dan hujan di tempat lain. Cukup mencintainya sekali dan menyimpannya dengan baik, karena membencinya aku tidak punya alasan. Sebuah Cinta yang sudah kita rasakan itu tidak layak dibandingkan dengan seribu kebencian dengan penyesalan yang tidak beralasan. Dia mengajariku menjadi badai, membentukku menjadi hujan. Setelah itu baru aku mengerti apa yang dimaksud dengan hakikat cinta itu. Untuk bagian ini Logikaku membenarkan semuanya dan setelah itu memang Hiro pun tahu bahwa alasan itu selalu ada. Ketika logika itu ada maka emosi itu beralasan. Dan ketika emosi itu hilang maka logika itu hanya teori!
Sebenarnya kita hanya diajari cara mencintai dan bukan membenci tapi Kita memang sering kalah dalam hal ini karena Nafas ini yang membuktikan bahwa kita masih manusia, dan Waktu selalu menjadi alasan, Sahabatku.
Aku menceritakan semuanya ini padamu dalam sebuah surat yang kutulis dengan tanganku sendiri buatmu seorang sahabat yang paling tahu suka duka dan lukaku menjalani hidup setelah cerita badai dan hujan itu.
For My beloved Friend, HIRO TATSUNO
Sender,
ALEXA

Maaf, Ini Sebenarnya Perkabungan Biasa (Buat Fredy S. Wowor. Maaf, aku telah berimajinasi tentangmu)

Ie Hadi G




13 Juni 2007. 06.25 WITA:

Jasad diperiksa tim kepolisian setempat untuk menyelidiki dan memastikan motif kematian korban. Di paha korban ada tato pulpen berwarna biru bertuliskan ‘WIS, KITA CINTA SKALI PA NGANA’ dan sebuah sketsa LOVE yang ‘pecah’.

Polisi memperkirakan korban meninggal sekitar pukul 04.00 dini hari. Di lokasi kejadian ditemukan sebuah botol bermerek POLARIS, yang diidentifikasi kemudian ternyata berisi cairan beracun. Kemungkinan besar korban menegak cairan tersebut untuk mempercepat kematiannya.



14 Juni 2007. 10.00 WITA :

Suara tangis para kerabat dan sahabat tereda sejenak. Seorang gadis maju ke depan, ke arah pengeras suara. Sambil melipat tangan di depan selangkangannya, ia lalu sejenak mengatur posisi berdiri. Para pelayat memandanginya dengan ekspresi heran. Maklum orang ini tidak termasuk dalam rangkaian acara yang telah dibaca sebelumnya oleh petugas acara.

“Perkabungan yang mulia”, ucapnya, membuka kecurigaan tatapan banyak orang.

“Aku tak punya kesalahan apa-apa dalam hal kematiannya ini. Tolong jangan salahkan saya. Dia menggantung dirinya sampai tewas sesungguhnya karena ikan yang telah menemaninya selama 12 tahun itu dicuri orang”.

Pertanyaan di banyak kepala hadirin agak mencair.

“Tuan-tuan dan Puan-puan, Perkabungan yang mulia ! Aku mencintainya, namun dia ternyata sama sekali tidak tertarik padaku. Semua orang tahu, aku cinta padanya dan berharap bisa menikah dengannya. Aku bahkan pernah dengan sengaja menjebaknya untuk menginap di hotel yang menjadi langganan pemberitaan asusila oleh banyak media. Tapi sungguh sial malam itu, tidak ada polisi yang menggrebek, dan tidak ada media yang meliput. Padahal aku telah siap untuk singkapkan BHku sewaktu polisi datang menggrebek dan moncong-moncong kamera media terarah pada kami. Biar semua orang di kampung sini yang senang menonton berita-berita kriminal akan mengetahui kejadian kami berdua yang ditangkap dan digiring ke kantor polisi karena kedapatan sedang berduaan di dalam kamar hotel dengan kondisiku yang setengah telanjang. Aku malam itu tidak membawa KTP biar polisi makin mendapatkan alasan berlapis untuk menangkap kami. Biar setelah kejadian itu kami bisa menikah untuk menutupi aib, seperti kebiasaan orang-orang di sini”.

Kaum keluarga geram mendengar orasi murahan dan menjijikkan itu. Seorang pelayat menegurnya agar diam, namun perempuan itu memegang dengan kuat stand mike dan meneruskan ocehannya.

“Malam itu sungguh mengesalkan. Rencana tidak berjalan sebagaimana mestinya. Memang, sekalipun kami sempat bercinta, itupun terjadi karena dengan paksa kulucuti pakaiannya dan kuhisap, maaf, anunya sehingga diapun jadi birahi pada keberingasanku”.

“Sekalipun demikian, dia ternyata lebih mencintai ikan, teman sepermainnya sejak masih remaja itu, ketimbang aku. Sebelumnya, Bapak-bapak dan Ibu-ibu sekalian, selagi almarhum masih dalam masa perkabungan ikan, cintanya itu, dia selalu meraung sendirian, mengucapkan kata-kata yang agak sulit dimengerti oleh orang yang tidak atau belum pernah mengetahui cerita sebenarnya”.

“Siapa yang akan mampu menggantikan sedotan mulutnya ?”

“Biadab! Yang memisahkan cinta kami yang telah bersatu itu selayaknya mendapat hukuman eksekusi – seperti Tibo – yang takkan diberi kesempatan untuk membela diri atapun mengajukan eksepsi !”
.
“Itu sebagian kata-kata yang berhasil kudengar. Entah dia telah kawin dengan ikan itu, aku tidak tahu. Yang jelas kematiannya tidak ada sangkut paut denganku. Tolong, jangan salahkan aku. Aku mencintainya”.

Gadis itu lalu menghampiri jasad, mengecupkan satu impian yang tak pernah terwujud di bibir lelaki yang telah terbujur dingin, kaku dan membeku. Beberapa saat kemudian dia mohon diri. Hadirin menjadi ribut. Hampir semua berdesus. Perkabungan jadi gempar. Kaum keluarga berekspresi malu karena cerita gadis itu. Pendeta yang akan memimpin ibadah pelepasan jenasah hanya ternganga.



14 Juni 2007. 10.25 WITA :

Sesuai kesaksian yang salah tempat itu, gadis tersebut digelandang ke kantor polisi untuk melengkapi berita acara hasil investigasi dan olah TKP.
Polisi : Nama lengkap ?

Gadis : Wissye Angreini Putri, pak

Polisi : Nama panggilan ?

Gadis : Wiss

Polisi : Umur ?

Gadis : 28 tahun

Polisi : Hubungan dengan korban ?

Gadis : Pacar. Belum pacaran…ee…mmm…maaf, hanya teman

Polisi : Berapa kali berhubungan badan dengan korban ?

Gadis : Kok, hal seperti itu ditanyakan, pak ?

Polisi : Jawab saja, ini prosedur !

Gadis : Satu kali, pak

Polisi : Nama anda tertulis di paha korban, jelaskan !

Gadis : Itu bukan nama saya, pak. Nama saya dua S, yang di tato Cuma satu S

Polisi : Lalu Wis mana yang di tatonya itu ?

Gadis : Nda tau, pak. Tanya ke korban dong, pak. Jangan tanya saya.

Oo…iiia! Jangan-jangan itu nama ikan, pak

Polisi : Jangan main-main dengan aparat

Gadis : ………………………………………………………………………..

………………………………………………………………………..

Permisi, pak. Saya mau buang air.

Di toilet, gadis itu menuliskan kekesalannya FREDI, WISS MASIH INGIN MEMERKOSAMU tulisan merah Lipstik.***

Ma, apakah Papa layak bertemu Tuhan Yesus ?

Henrolds Tatengkeng



Seperti kata pepatah, "Cinta itu BUTA ! ! " dan itulah yang aku alami,
karena cinta aku diusir dari rumah; orang tuaku tidak mengakuiku lagi
sebagai anaknya! itu semua karena aku "murtad"! aku menjual imanku
hanya karena seorang laki-laki yang saat ini menjadi suamiku !.

Saat Bang Ramadan melamarku, dia berjanji bahwa aku mengikuti
keyakinannya hanya pada saat Ijab Kabul, setelah itu aku bisa kembali
menjadi orang Kristen, aku percaya pada ucapannya, yap .. . . cinta
membuatku BUTA!. Tapi apa yang terjadi, janji hanya tinggal janji,
setelah kami menikah dengan keras dia melarangku untuk pergi kegereja.
Jangankah pergi kegereja mendengar lagu rohani atau membaca Alkitabpun
tidak diperbolehkan, belum lagi Ibu mertuaku sering kali membandingku
dengan menantu-menantunya yang lain, aku dikatakan kafir karena aku
beragama Kristen dan kondisi ini tidak hanya mempengaruhi diriku tapi
aku tau Bang Ramadan juga tertekan dengan gesekan-gesekan dari
keluarganya.

Sekali waktu aku kedapatan membaca Alkitab, tampa berkata apa-apa dia
mengambil Alkitab yang ada ditanganku dan membakarnya didepan mataku !
bahkan dia mengancam akan menceraikanku jika melihatku membaca Alkitab
atau mendengar lagu rohani.

Dalam kondisi seperti ini aku butuh teman untuk mendengar keluh kesahku,
tapi aku tidak punya siapa-siapa. Apa kata mama, papa dan adik-adikku
kalau mereka tau betapa tersiksanya aku.

Sering kali aku menangis jika mengingat kebodohan yang aku lakukan, saat
berpacaran Bang Ramadan begitu baik, pengertian dan sabar, tak jarang dia
mengantarku ke gereja untuk mengikuti kegiatan gereja, tidak hanya itu
terkadang dia ikut masuk dan duduk dikursi paling belakang, karena itulah
aku percaya saat dia melamarku dan berjanji setelah menikah kami
berjalan sesuai keyakinan kami masing-masing.

Satu tahun setelah kami menikah, kami dititipin Tuhan seorang putri,
namanya Siti Aminah. Sebenarnya aku tidak setuju nama yang di berikan
untuk putriku, tapi kembali aku tak mampu merubah keputusan bang Ramadan,
apalagi nama itu pemberian Ibu mertuaku.

Karir bang Ramadan semakin hari semakin meningkat, selama 3 tahun
pernikahan kami sudah berapa kali dia di promosikan dan dikirim ke luar
negri. Rencananya, dalam waktu dekat perusahaan akan mengirimnya
kembali ke Australia selama 2 minggu. Aku percaya ini bagian dari
rencana Tuhan dalam hidupku, karena disaat suamiku selama dua minggu
tidak di rumah, Tuhan menegurku untuk berbalik kepadaNya setelah tiga
tahun hidup dalam kebimbangan.

Walau sikap suamiku sering melukai hatiku, tapi baru ditinggal dua hari
aku merasa kehilangan. Untuk menghilangkan rasa sepi aku dan Siti jalan
ke Plaza, dia sangat senang melihat permainan yang ada di Time Zone.

Ketika di mall, kakiku berhenti tepat di sebuah toko mungil, toko itu
dulu sering aku kunjungi bersama Mama, tapi itu sudah lama berlalu ! !
Aku ingin sekali masuk ke toko itu tapi ada rasa bersalah, aku merasa
tidak pantas masuk kedalam Toko itu. Saat bingung, tiba-tiba aku mendengar
bisikan dihatiku,"masuklah anakKu, kenapa engkau ragu ?" aku sangat yakin
kalau Roh Kuduslah yang berbicara bagiku

Setelah melihat kiri dan kanan, dan aku yakin orang tak ada orang yang
aku kenal disekitarku, perlahan-lahan aku masuk ke Toko Buku & Kaset
Rohani tersebut, walau pramuniaga menyambutku dengan ramah, aku merasa
asing didalam toko tersebut. Sesaat mataku tertuju pada sebuah Alkitab
mungil, dengan ragu-ragu aku ambil dan mulai membukanya.

Aku tidak tau, apa yang membuatku nekat siang ini, aku membeli Alkitab
tersebut dan beberapa buah CD lagu rohani. Aku sadar penuh, kalau
suamiku tau apa yang aku lakukan siang ini, dia pasti akan marah atau
bahkan menceraikanku seperti ancamannya beberapa tahun yang lalu.

Setibanya dirumah, aku memasang CD lagu rohani yang baru aku beli ; ada
rasa damai dihatiku, ada suka cita yang memenuhi relung hatiku, sesuatu
yang sudah lama hilang dalam hidupku. Untuk pertama kalinya setelah 4
tahun menikah, aku kembali memegang Alkitab. Aku gemetar dan tak kuasa
menahan tangis, aku mulai membaca Alkitab baruku dan mencoba
mengingat-ngingat ayat favoritku ketika masih aktif digereja.

Mataku terhenti di ayat ini, tak kuasa aku menahan tangis, rasanya terlalu
lama aku melukai Tuhan Yesus.
Kisah Para Rasul
4:11 Yesus adalah batu yang dibuang oleh tukang-tukang bangunan -- yaitu
kamu sendiri --, namun ia telah menjadi batu penjuru.
4:12 Dan keselamatan tidak ada di dalam siapa pun juga selain di dalam Dia,
sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada
manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan.

Aku tidak ingin kehilangan suamiku dan putriku, jika aku berontak suamiku
tidak hanya marah tapi akan menceraikannku dan mengambil anakku
satu-satunya.

Kemarin malam bang Ramadan telepon dan mengatakan kalau dia pulang
lebih awal dari yang direncanakan, ternyata dalam waktu sepuluh hari
dia bisa menyelesaikan tugas yang diberikan perusahaan padanya.

Satu sisi aku ingin kembali kepada Kristus, tapi satu sisi lagi aku
takut kehilangan orang-orang yang aku cintai, dan seandainya aku di usir
dari rumah, kemana aku harus berlindung karena sampai saat ini papa
masih belum memaafkanku.

Akhirnya suamikupun kembali keIndonesia, untuk menghindari pertengkaran
semua lagu-lagu rohani dan Alkitab yang baru aku beli, terpaksa aku
simpan di gudang, aku tidak mau untuk kedua kalinya suamiku membakar
Firman Tuhan.

Satu minggu pertama setelah suamiku kembali ke tahan air, aku masih
mencoba bertahan untuk tidak mengungkapkan keinginanku untuk menagih
janjinya yang tertunda, aku bebas menjalankan keyakinanku. Yang membuat
aku bingung untuk melangkah, aku melihat dia berubah, menjadi lebih
perhatian dan penyabar sekembalinya dari Australia.

Tapi semakin aku mencoba melawan hasratku untuk mengutarakan
keinginanku, maka semakin besar tingkat stressku ; aku gelisah ! gimana
ngak stress . . . . hampir tiap malam aku mimpi bertemu dengan seseorang
yang mengingatkanku untuk berbalik kepada Kristus.

Satu bulan aku bergumul, aku berdoa dan berpuasa meminta kekuatan dari
Tuhan, dan aku berpegang pada Firman Tuhan yang mengatakan, "Percayalah
kepada Tuhan Yesus Kristus dan engkau akan selamat, engkau dan seisi
rumahmu.". Aku yakin dan percaya suatu saat Tuhan akan menjamah suamiku
dan melunakkan hatinya.

Menjelang malam, sepulang dari kantor suamiku bilang dia mau bicara hal
penting dan usahakan Siti bisa cepat tidur supaya tidak mengganggu.
Aku jadi ketakutan sendiri, pikirku apakah suamiku tau saat dia pergi
aku mendengarkan lagu rohani dan membaca Alkitab ? atau jangan-jangan di
menemukan Alkitab atau CD rohani yang aku simpan digudang ?.

Aku cukup kenal sifat Bang Ramadan, aku bisa membaca dari raut wajahnya
kalau dia sedang ada masalah dikantor, aku tau kalau dia sedang marah tapi
berusaha menahan diri. Sebenarnya bang Ramadan adalah suami yang baik,
kalaupun selama ini dia melarangku ikut ibadah digereja itu karena
tekanan dari keluarganya, karena adik-adiknya semuanya menikah dengan
wanita yang berkerudung, dan sebagai anak lelaki tertua dia malu
istrinya beda dengan istri adik-adiknya.

"Apakah mama bahagia menikah dengan papa ?", ini pertanyaan pertama yang
dilontarkan oleh bang Ramadan setelah kami duduk diruang tamu.
Pertanyaan ini membuat aku bingung dan gugup, kenapa suamiku tiba-tiba
memberiku pertanyaan seperti ini. Aku hanya mengangguk, aku harap
anggukan sudah menjawab pertanyaannya dan pembicaraan selesai.
"Apakah mama tidak dendam karena papa pernah membakar Alkitab dan
lagu-lagu rohani diawal kita menikah dulu ?', kembali bang Ramadan
bertanya padaku.

Aku pikir inilah kesempatan untuk bicara padanya, "Pa, kalau aku mau jujur
aku kecewa saat dilarang mendengar lagu rohani, apalagi saat Alkitab
yang aku baca dirampas dan dibakar didepan mataku, apalagi sebelum
menikah kita sepakat untuk menjalankan keyakinan masing-masing kan ? tapi
aku sangat mengasihi papa dan Siti dan mama tau kalau papa pun sangat
mengasihi mama. Keadaan yang membuat papa bersikap kasar padaku, tekanan
keluarga yang membuat papa mampu melukaiku, padahal aku tau kalau papa
sangat cinta pada mama".

Lidahku kelu, saat aku melihat suamiku bersimpuh, bahkan mencium kakiku !
ups. .. . . bang Ramadan menangis! ! ! , bang Ramadan minta ampun karena
melukai hatiku selama tiga tahun pernikahan kami. Untuk pertama kalinya
aku melihat suamiku menangis, masih dengan tersedu-sedu dia berkata,"Saat
aku di Australia, Ridho menelponku, (Ridho adik bungsu suamiku, dan
istrinya adalah menantu kebanggaan Ibu mertuaku, dia tidak hanya cantik
tapi juga kaya dan selalu pembawaannya lemah lembut dan bertutur kata
sopan), Ridho berniat untuk menceraikan istrinya, karena kedapatan
selingkuh dengan rekan bisnisnya.

Terus terang Papa malu pada mama, selama ini papa selalu
membanding-bandingkan mama dengan istri adik-adikku yang kelihatan
saleh, tunduk pada suami, rajin sholat tapi ternyata kelakuan mereka tidak
sesuai dengan apa yang kelihatan selama ini, belum lagi Ibu sering
membandingkan mama dengan menantu-menantu yang lainnya ! dan ternyata
tidak hanya istri Ridho yang bermasalah, minggu lalu istri Fadli juga
di tangkap polisi karena ketahuan memakai Narkoba bersama teman-temannya."

Setelah agak tenang dan mulai bisa mengendalikan emosi, Bang Ramadan
mengambil sesuatu dari lemari, dan memberikannya padaku. Mataku
terbelalak, ternyata isi dari amplop itu adalah Alkitab yang aku simpan
digudang satu bulan yang lalu.

"Papa menemukan Alkitab ini, saat mencari barang bekas digudang kita,
mama jangan takut karena mulai saat ini mama bebas mendengar lagu rohani
dirumah kita, membaca Alkitab atau kalaupun mama mau pergi ke gereja
dengan Siti, papa tidak akan melarang". Ini rumah mama, jadi berbuatlah
sekehendak mama, papa tidak akan melarang kalau apa yang mama lakukan
membuat mama bahagia".

Aku tidak mampu berkata-kata, apa yang aku alami malam ini seperti mimpi
! ! ! Seperti Firman Tuhan katakan, "Tuhanlah yang berperang bagi orang
yang berharap dan berbalik padaNya".

Aku memeluk suamiku dan kami menangis bersama dan minta maaf karena
selama ini kami ijinkan orang lain mengatur kehidupan rumah tangga kami,
dan tampa kami sadari semua itu melukai hati pasangan kami.

Untuk pertama kali setelah tiga tahun membina rumah tangga, aku pergi
kegereja, tidak hanya aku yang semangat tapi putriku pun kelihatan
suka cita, sepertinya dia tau kalau mamanya sangat bahagia.

Yang membuatku heran Bang Ramadan yang rencananya mengantar kami
kegereja juga berpakaian sangat rapi, tapi aku tidak banyak tanya,
jangan sampai pertanyaanku membuat dia berubah pikiran.

Saat aku hendak turun dari mobil, bang Ramadan memegang tanganku, dengan
tatapan penuh harap dia berkata,"Mama, apakah papa layak bertemu Tuhan
Yesus ?".

Nyanyian Malam

Huruwaty Manengkey


qt batamang bae deng bulan
so itu qt malas bangon fruk
bakudapa deng matahari cuma bekeng pastiu
ngala, skarang dia so laeng
rica mar kalah!
pidis!
panas!
bekeng manucu qta pe kuli
bukang cuma kuli badan, sampe hati le mar pidis
cuma bulan tu baku mangarti
biar dia ja kuras qta pe daya tahan tubuh
mar dia ja se fol qt pe kapala deng imajinasi

Tentang Tadi (buat angin)

Huruwaty Manengkey


Sekian lama aku jatuh cinta pada luka yg berkulit merah muda
Retinaku jadi buta pada cahaya
Apalagi yg kelabu dan tak tentu
Ternyata,
Kerlingan singkat tadi
sanggup bikin hatiku bertekuk lutut
pada sesuatu yang tidak merah muda
tapi tetap jua kan luka kelak
Barangkali..

Manado-ku

Aripank


Aku berdarah bukan Manado
Mama lahir bukan di Manado
Papa tak bersifat Manado
Eh.. istriku juga bukan asli Manado
Tapi airmataku meleleh karena jago
Emosiku selalu lahir lalu parno
Perbuatanku seringkali difeto
Eh.. orang-orang dekatku
Senang menyebutku biongo
Pendo..
Makian itu bikin hati melongo
RUU APP bikin panik kota metro
Karena teman-teman bicaranya porno
Buntutnya demo..
Tak ada Mikro
Apalagi Bemo
Akhirnya.. kongko-kongko
Hanya huangango
Preman Manado mabo
Aku dan istriku bobo
Mengenang akad nikah di Gorontalo

Detik Setelah Pisah

Aripank



Mengais pedih
Janji terkikis
Mengorbankan rindu
Airmata pun bertamu
Tak lelah tapi resah
Berjalan di atas pasir
Mengusik siang sampai menangis
Di udara signal tertegun
Mendengar suara
Yang saling menuntaskan dali
Dan malam tiada lelap

Blues Mariara*

Fredy Sreudeman Wowor



Aku kan kirimkan
Boneka daging tanpa kelamin
Petanda perih luka hatiku
Aku kan cekikkan jari-jari sepi
Dari geliat leher-leher resah ini
Aku kan gigitkan gigi-gigi ngilu pilu
Aku kan cabikkan kuku-kuku risau rindu
Pabila pedih dagingku tak bisa menanah darah
Mengorek ikal usus perut renyai
Ngerayangi nadi passi denyut syahwat urat orok
Menghirup leleran leler perawan ruh
Kau cinta ku ! Kau ! Kaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaau !


Mariara : (bahasa Tontemboan) tukang teluh

Ecce Homo*

Fredy Sreudeman Wowor



Qita tidak lagi mesti
Terpaku pada tatakrama segala
Minta janji ditepati

Qita tidak lagi mesti
Terpesona pada senyum perempuan pingitan
Minta cinta dihargai

Qita tidak lagi mesti
Terpasung pada setiap aturan larangan
Minta sumpah ditaati

Mari,
Ikutkan irama lapar menggelegak
Dan hanguskan desah napas
Memburu pagutan perempuan dursila
Tidak perduli sypilis ngeram dalam nadi
Sedikit lagi bertambah terinfeksi HIV
Mencinta layak tak ada lagi hari esok
Jelajahi lembah-lembah ajaib Venus
Gunung-gunung menjulang dengan kepundan membara
Berlaku segila Nietsche – Gott Ist Tott !!
Belum cukup diri
Tembak-ledakkan dahimu seperti
Laki berkuning rok punya hitam kaca mata
Terkekeh seolah punya sepuluh jiwa –
TERKUTUK

*Inilah Manusia

Pulang Pada Cinta

Inggrid Pangkey



Mengapa gontai jejaki takdir?
Mari pulang..pulang pada cinta
yang wariskan keabadian darah
mahkotahkan kodrat
berhias kemurnian rasa
percuma mengais hidup
di hati yang kerontang.
Mari pulang.. pulang pada cinta
yang melautkan setia
meriak seia
menepi rindu
sauhlah segala rasa
karam di dermaga
karena cinta menanti
kan nikmati senja nanti
maknai usia
dengan karya

Mawalemorfosa

Inggrid Pangkey



Untuk apa mengelana ke selatan
sementara di sini tersedia
cukup tanah yang menghidupi
sinaran jiwa bunda
mencurah tegar bijak sang ayah
menyejuk sukma, memancar ramah
dari mata sedarah
bahwa tanah ini
kan kita bagi bersama.
Untuk apa menjejal takdir ke selatan
ternyata di sini masih cukup
banyak cinta
sebar ketulusan tak hanya ucap
tapi terulur panjang menjamah hati tetap
mendekap erat, supaya tak lepas harap
berseru kekasih
mari membajak di tanah sendiri

Sebuah Pertemuan

Alfrits Ken Oroh


Jangan sembunyikan kecantikanmu
Saat pertemuan itu tercipta
Karena matahari telanjang melihatmu
Dan aku disini terkesima
Melihat elok parasmu

Jangan palingkan wajahmu
Saat pertemuan itu tercipta
Karna hari kemarin kau berhutang rindu
Oleh malam yang tlah hadirkan
Mimpi tidurku

Jangan pergi dariku
Saat pertemuan itu tercipta
Oleh rasa yang sembunyikan dusta
Karna hari ini kau dan aku
Sama-sama tlah menyimpan cinta

Aku dan Puisiku

Alfrits Ken Oroh



Hari ini …
Aku’kan bercinta dengan puisiku
Bercengkrama dengan pena
Kita mengais jalan-jalan rindu

Hari ini …
Aku’kan bercinta dengan puisiku
Berciuman dengan kertas
Kita tinggalkan kesan-kesan indah

Hari ini …
Aku’kan bercinta dengan puisiku
Telanjang dengan bebas
Kita terbuka kepada dunia
Lewat bahasa asmara kita lega !

Lantaran Nyanda Ada Roko Deng Kopi

Henrolds Tatengkeng



Kalo orang boleh tau apa yang tasambunyi di ombong
So pasti nda ada yang bangung pagi,
Ini kita tanya pa ngana pe foto
Yang tagantong so ba lawa-lawa
Di kamar bobou roko

Di jalan, orang-orang yang kita lia
Rupa ba bawa lampu kana
Kita jadi nda mangarti, sebab yang kita kanal
Cuma bangunan, cuma jalang
Deng kota ini pe nama manado

Apakah kita so lahir ulang?
Ato mungkin ini kota yang so gila
Samua so da pa lia satu warna
Tampa yang bisa kita dudu ba lia lao ba lia omba
Deng batunggu maitua, jadi sepi

Ini kota rupa dapa kutuk
Bekeng ontak jadi nda karuan
Sama deng tusa ba cari tampa bera,
Lama sekali kita di kafe sunyi
Ba lia orang, sapa tau ada yang kita kanal

Tak Ada Sajak Untukmu

Henrolds Tatengkeng




Meja kayu yang penuh tuangan rasa
Menjadi ring perkelahian antara pena dan kertas
Jemariku pun gemetar jatuhkan gumpalan tanya
Pertanda apakah itu?
Saat malam indah mengkristal di benak

Oh, malam menjadi gila dalam asbak hitam
Yang diam menunggu usapan air
Dan air itu sudah mengental dalam pena
Kata-kata pun berlarian tanpa arah
Tinggalkan kecut bergelinjang di jidat
Jantung tersentak laju mendayuh
Dada jadi kembang-kempis
Pada rongsokan keindahan malam


Inginku terlantar dalam genangan becek
Semua telah tak berdaya
Walau sunyi malam selepas hujan
Terus dengungkan namamu
Memaksa semua indera menyatukannya
Dalam tatanan agung sebuah bahasa

Mungkin ada yang terlupa ketika hari datang tadi
Hari yang mulai resah oleh rentetan cerita
Sekumpulan kenangan dalam ruang etalase hati
Yang telah ditata apik oleh jalannya waktu
Di sepanjang kesilaman masa
Ketika percintaan itu tak butuh kata-kata
Dan ketika kata-kata menjadi monumen huruf
Yang tak butuh pena dan kertas

Berhutang Jumpa

Billy Kalalo



Aku berhutang,
Waktu…
Aku berhitung,
Saat…
Ternyata 18 tahun tanpa sua.

Aku berhutang
Berjumpa…
Aku berhitung,
Ajal…
Ternyata jumpa dan jodoh bukan seketukan

Jam tiada limit,
Lalu aku tak milik detik,
Untuk canda dan kecup
Atau pelukan gelora sambut
Karena engkau telah berpulang.

Bitung, 19 Agustus 2003
(Untuk Paman Noldy Kambey yang terpanggil pukul 10.00 WIB di Kota Solo saat aku terlelap kelelahan)

Aku Ingin Mati

Billy Kalalo


Aku ingin mati,
Karena pikirku lelah
Bathinku gulana
Sukmaku terpidana.

Aku ingin mati,
Karena jejakku tertatih
Tiada yang mengerti
Selain duka cita.

Aku ingin mati,
Karena imanku goyah
Tanpa pucuk-pucuk daun cinta
Yang menggoda asa ‘tuk tetap berhayat.

Aku ingin mati,
Karena hikayatku kelam
Ciptaan malu dan dosa
Melarakan jiwa.

Aku ingin mati,
Tapi aku takut mati
Karena mati, cumalah mati
Yang tak bisa dimengerti.

Bitung 03 July 2003

Rindu Di Kabut Awu

Andre GB


aku melihat ilalang berdansa di peluk angin
semerbak belerang menghamili ingatku

...

ternyata kabut masih ingat
bagaimana mengeja namamu


(puncak gunung Awu, pulau Sangir, 26 Desember 2009)

Matamu Menunggu?

Andre GB


di lelah debu
yang paksa singgah
di senyum palsu
saat menunggu

kelebat namamu
yang tercecer
jadi serpih
di sisi jalan

tak ada hujan
saat ini
cuma setetes keringat
ciumi aku

penantian ini
seperti matamu
:dulu

(Kerinci-Riau, 16 Juni 2010)

Throne Of Heart

Hans Liberty



I’ve been stuck in the hall of emptiness since I fallen by the feeling of hatred for two winters.
There’s the darkness surrounding all over the hall
And my heart full of lonesome and weakness
Any time my inner voice shouts “I’ve been misleading”, and its echoes surrounded the hall

I know all ‘caused by the feeling of hatred
And I want out from this torture’s hall
I know I can, because I’ve got the strength to fight,
And the Almighty besides me ‘till the eternity

Nothing can take me far from my savior,
Because I believe He will never let me out from His affection
Nothing can take control of my feeling anymore
Because Jesus Christ dwells in the deep inside of my heart forever,
And he leads me into heaven

I’ve found that hatred ever defeated love in my heart,
And I lost my direction since that day
Now, I’m in love, and it’s burning my spirit ‘till the seven phase of sky
Now I am all right, and a hundred percent fine
So, here I am

December 2003

Ritual Perjalanan

Fajran Lamuhu


simpan dulu semua tanya
tentang jalan yang tak berujung
meski umur rasanya tinggal setiang

hendaklah kau bertanya
tentang kerjamu sepanjang jalan
agar nanti ujungnya nampak
kau takkan pernah menyesal

hendaklah pula kau belajar
dari semua hal sepanjang jalan
tentang musim yang silih berganti
tentang bunga yang mekar dan layu
tentang air yang pasang dan surut
tentang dirimu yang melihat semua itu

Genderang Perang Melawan Bisu

Andre GB



Panggung lengang. Keadaan di sekitar panggung gelap. Kecuali sebuah lampu yang berada di tengah dalam keadaan menyala. Lampu menyorot sebuah tubuh di tengah panggung. Orang I berdiri dengan kaki mengangkang dan tangan berada di pinggang. Tegak memandang penonton sambil tersenyum. Pahit. Posisi badan mematung. Hanya leher yang menggerakkan kepala menebarkan pandang ke seantero penonton. Terus memandang tanpa suara.

Beberapa saat kemudian. Dari kegelapan di sudut kanan panggung terdengar tabuhan tambur. Semakin lama semakin keras dan terdengar semakin dekat. Orang II masuk ke atas panggung dengan menenteng tambur yang terus ditabuh dengan ritme tetap. Tidak terlalu cepat, tidak juga terlalu lambat. Terus menabuh sembari mencari posisi duduk yang nyaman di samping kanan orang I. Tabuhan tambur terus berlangsung.

Orang I terkejut dan menunjukkan gelagat tak suka. Menutup telinga rapat-rapat dengan menggunakan kedua tangan.

Orang II terus menabuh tambur.

Orang I tak tahan lagi. Menoleh dengan tajam pada Orang II yang masih terus menabuh tambur. Orang I hilir mudik di belakang Orang II sembari terus menutup telinganya. Orang II terus menabuh tambur. Semakin lama semakin cepat dan semakin keras. Semakin tegang.

Orang I tiba-tiba merampas tongkat pemukul tambur yang digunakan Orang II. Tabuhan berhenti. Tongkat dilemparkan ke arah penonton. Tambur dirampas dari Orang II kemudian dilempar kebelakang. Setelah itu. Orang II diseret keluar dari panggung.

Orang I kembali ketengah panggung dengan posisi awal.

Untuk beberapa menit keadaan sunyi kembali.

Orang II masuk kembali. Menenteng tambur yang baru dengan tongkat pemukul yang baru. Kembali menabuh tambur. Kali ini tabuhannya mulai dengan cepat. Semakin lama semakin cepat sembari mendekati Orang I yang menunjukkan mimik terkejut dan tak suka dengan kedatangan Orang II.

Orang I kembali merampas tongkat pemukul. Kali ini, Orang II melakukan penolakan. Saling tarik menarik terjadi dan kemenangan masih ada di pihak Orang I. Tongkat pemukul di buang lempar ke arah depan. Tambur juga ikut dirampas oleh Orang I. Kemudian diletakkan dibawah kaki kiri sebagai tempat pijakan. Orang II keluar.

Orang I tersenyum bangga dengan kemenangan ini. Senyum lebar. Keadaan sunyi kembali untuk beberapa saat.

Tiba-tiba terdengar tabuhan tambur lagi yang semakin ramai. Orang II masuk kembali ke atas panggung. Tapi tak sendiri. Orang III juga masuk dengan menabuh tambur.

Orang I terkejut dan bingung. Ada dua tambur yang sedang di tabuh. Lalu dengan panik segera melakukan usaha merampas tambur dan tongkat pemukul Orang II agar tabuhan tambur berhenti. Orang II melakukan upaya perlawanan. Tapi tetap kalah. Tambur berhasil dirampas. Sementara itu, tabuhan tambur Orang III terus berlangsung. Orang II keluar setelah tambur dan tongkat pemukul berhasil dirampas. Orang I berusaha merebut tambur dan tongkat pemukul Orang III. Terjadi perlawanan. Tarik menarik dan paksa memaksa sementara berlangsung. Keadaan sedikit imbang.

Orang II masuk lagi. Kali ini menabuh sepotong seng. Tabuhan semakin cepat dan semakin keras. Orang I terkejut. Tambur dan tongkat pemukul belum sempat dirampas dari Orang III.

Dari belakang masuk orang IV, V dan VI. Menabuh berbagai benda. Tabuhan semakin cepat dan keras. Orang I semakin kebingungan. Berusaha mendekati dan merebut benda-benda yang ditabuh. Tapi tak mudak karena orang-orang melawan.

Dari belakang, masuk lagi sekumpulan orang dengan berbagai benda yang juga ditabuh. Semakin keras dan cepat. Semakin ramai.

Orang I semakin panik. Berusaha menutup keras-keras telinganya. Kebingungan. Berusaha merampas tapi tak kuat karena lawan semakin banyak. Suara tabuhan terus terdengar. Semakin keras dan lebih keras lagi.

Akhirnya, Orang I tak tahan dengan suara ribut dari berbagai benda yang ditabuh. Teriakannya menggema panjang sembari berlari keluar dari atas panggung.

Orang-orang yang tersisa terus menabuh tambur dan benda-benda lain. Pesta perayaan atas kemenangan. Kemudian perlahan-lahan keluar dari atas panggung. Tabuhan terus terdengar.

Lampu padam.


Februari 2007

Suatu Waktu Dalam Hidup Seorang Aktor

Fredy Sreudeman Wowor




( Pada bagian TENGAH BELAKANG berdiri ORANG I, ORANG II, dan ORANG III sambil membelakangi penonton. Tubuh mereka dicat dalam motif tembok untuk beberapa waktu lamanya ini berlangsung mereka berfungsi sebagai latar. Pada bagian TENGAH panggung duduk ORANG IV sambil memeluk lutut.
Cahaya perlahan-lahan menyelimuti panggung. Awalnya cahaya tersebut menyinari sosok-sosok yang telah berada diatas panggung. Kemudian menyinari ke arah samping kiri samping kanan yang berfungsi sebagai pintu masuk dari ORANG V dan ORANG VI )

ORANG V
( Masuk dan mengambil tempat disamping orang IV )
Setengah bungkus rokok ? Lumayan, dari pada tidak sama sekali
( Menyalakan sebatang rokok dan dihirup dalam-dalam. Matanya
menerawang jauh kedepan )

ORANG VI
( Masuk dan mendapati ORANG V lagi menghisap rokoknya
dengan pandangan menerawang )
Selamat……!

ORANG V
( Kecut mencoba menawarkan rokok )
Rokok……..?

ORANG VI
( Latah menjawab dalam kegagapan )
Rokok, eh… tidak ! Maaf saya tidak merokok !!
Terima kasih !!!

ORANG V
( Gembira rokoknya tidak berkurang / basa basinya tidak
ditanggapi serius ORANG VI )
Tidak merokok ?!... Selamat !

ORANG VI
Kenalkan, saya Aktor cabutan dari teater KRONIS.

ORANG IV
( Terusik perhatiannya begitu mendengar kata AKTOR…! )

ORANG V
Ooh, Aktor ?! Bagus…! Pasti lagi Observasi ya ?

ORANG IV
( Makin terusik perhatiannya mendengar kata… AKTOR dan
OBSERVASI )

ORANG VI
Kok, tahu ?

ORANG V
Jelas tahu. Saya dulu kan pernah disuruh mengamati bagaimana tingkah prajurit sisa perang yang
bergelandang di jalan raya tanpa sadar bahwa negeri yang diperjuangkannya itu ternyata tidak
merdeka. Bisa kamu bayangkan, hampir tiga bulan lamanya saya kelayapan di jalanan kayak orang
gila.

ORANG VI
Wah, rupanya bung juga seorang Aktor !

ORANG IV
(Kian terusik perhatiannya mendengar kata AKTOR terus disebut)

ORANG V
Tapi…..

ORANG VI
Tapi kenapa ?

ORANG V
Sayang…..

ORANG VI
( Makin ingin tahu)
Sayang bagaimana !?

ORANG V
Pementasan itu dibatalkan.

ORANG VI
Dibatalkan ?! Mengapa !?

ORANG V
Karena naskah yang dipentaskan itu termasuk dalam kategori DILARANG PEMERINTAH. Tiga tahun aku dibui, istriku diperkosa tentara,yang datang menyuluhkan program bersih lingkungan. Dan istriku bunuh diri dihadapanku selepas aku dari penjara.

ORANG VI
( Terpaku tanpa kata lagi )

ORANG V
Oya, bukankah bung datang untuk observasi ?
( Mengarah pandangan ke ORANG IV )

ORANG V
( Mengikuti pandangan ORANG VI )

ORANG IV
( Dalam puncak keterusikannya )
Aktor, hah ?!

ORANG VI
( Melempar pandangan kedepan dengan cepat bersama dengan ORANG V )
Dia tahu…..

ORANG IV
Datang mengamati saya…!

ORANG IV
( Bersama ORANG V )
Dia tahu diamati….

ORANG V
( Bersama ORANG VI )
Dia tahu diamati…..

ORANG IV
Mengapa mesti saya ? Mesti saya ? Mengapa… mengapa !
( Merintih kegeraman )
Mengapa mesti saya !?

ORANG I, II, III
( Sama-sama membalikkan tubuhnya dengan cepat )

ORANG V dan VI
( Tegang dalam kecemasan )
Dia tahu…..

ORANG I, II, III
( Membuka kaca mata hitam bersama-sama )

ORANG IV
( Mengamuk kesetanan )
Mengapa mesti saya… mengapa mesti saya… mesti saya?
Mengapa ?!

ORANG V dan VI
( Sama-sama panik dan saling memeluk )
Dia… dia… dia… !

ORANG IV
( Kaku meradang tanpa kata )
Akh…..

ORANG II dan III
( Berlari kebingungan dan keluar )
Dokter… dokter… dokter… !

ORANG IV
( Terlompat marah )
Biarkan aku… ! Biarkan…Aktor !
( Mencemooh
Aktor kampungan !
( Tidak sanggup meneruskan )
Kampung…. ( Muntah )

ORANG I
( Berlari kebingungan dan keluar )
Gila… gila… gila… ini tidak mungkin !

ORANG V dan VI
( Sama-sama keluar dan berkata )
Gila…

ORANG IV
( Tertinggal sendirian dan berkata )
Gila ?
Aku tidak gila !
Aku hanya memainkan peranku sebagai seorang Aktor !?


***** TAMAT *****

Metamorcrazy (Sebuah Parodi Gelap Terang)

Dean Joe Kalalo




BABAK I

Sesosok lelaki Di tengah panggung. Wajahnya penuh dengan warna kesesatan. Mengarahkan pandangan dengan tatapan hendak menerkam mangsanya. Sebuah meja, di atasnya sebuah kitab, Laptop dan LCD proyektor. Sebuah tempayan di salah satu sudut panggung.

DARKONIA
Telah beribu-ribu purnama cinta terantai oleh dosa. Telah berjuta-juta detak langit terlindas gelimang darah. Dan waktu tercerabut dari sang khalik. Telah berlimpah-limpah airmata memuai menjadi nisan, menjadi monumen kesedihan yang purba. Kematian dan kekalahan memenjarakan detak nafas sang rahim zaman. Dan kemuliaan... kini terpahat dalam jantungku..
(berdiri meraih janin yang berlumuran darah di dalam tempayan) Kebenaran,.. adalah anak haram yang tak akan pernah dilahirkan
Baltasar....

Baltasar memasuki panggung.

DARKONIA
Laporkan hasil kerja para prajurit sepanjang seratus menit terakhir

BALTASAR
baik yang mulia.

Baltasar memasukkan Flash disk ke dalam Laptop. Proyektor menampilkan gambar Seseorang mati terbunuh..

BALTASAR
Di negara kawasan selatan Asisten III komandan Brigade pencabut nyawa berhasil membujuk seorang istri menikam suaminya ketika sedang buang air besar(mengganti gambar proyektor, layar menampilkan dua orang berpakaian rapi sedang transaksi uang) Di negara bagian timur asisten I komandan Brigade keserakahan tanpa perlu bersusah payah berhasil merayu seorang penegak hukum menerima suap dari koruptor. (Mengganti gambar proyektor, layar menampilkan gambar sesosok banci yang tengah melirik sesuatu di balik celananya dengan ekspresi gembira) di negara bagian barat asisten VII komandan brigade kelamin dengan mudahnya membujuk seorang waria untuk menghilangkan alat vitalnya. (Mengganti gambar proyektor, layar menampilkan gambar seorang anak kecil yang menangis sedih) di negara bagian utara asisten V komandan brigade pencabulan berhasil membujuk seorang kakek berusia tujuh puluh tahun memperkosa gadis kecil berumur tujuh tahun..

DARKONIA
Dunia kegelapan,.. bukan milik neraka saja. Perlahan-lahan aku telah berhasil menciptakan dinasti kegelapan kedua di atas bumi. Tanah, air, udara dan cakrawala, semuanya tunduk di bawah telapak kaki ku. Akulah sang penguasa akhir zaman.

BALTASAR
Tidak sesulit yang dibayangkan sebelumnya yang mulia. Ketika zaman beranjak tua manusia semakin mudah disesatkan. Bahkan, tanpa campur tangan kita mereka telah memilih menjadi sesat.

DARKONIA
Bangunlah, bangunlah rumah ibadah semegah dan sebanyak mungkin, bangunlah monumen-monumen kematian itu. Yang pasti hati kalian akan selalu terjebak dalam cengkramanku. Lakukan kembali pengawasan,. Dan segera laporkan padaku bila ada keberhasilan-keberhasilan baru yang mengejutkan.

BALTASAR
Dengan senang hati yang mulia (mengambil Flash disk dan segera berlalu dari panggung)

Sang sesat II memasuki panggung sambil memapah sang sesat I yang lemah sekarat. Mereka berjalan sambil tergopoh.

SANG SESAT I
Yang mulia,.. yang mulia... jantungku... jantungku hangus terpanggang.

SANG SESAT II
Kilatan petir yang dahsyat menghanguskan jantungnya yang mulia

SANG SESAT I
Ampun yang mulia, untuk kabar yang mengejutkan ini. Kabar duka bagi kerajaan kita.

DARKONIA
Apa gerangan kabar yang bisa menggentarkan tahtaku?



SANG SESAT II
Perisai-perisai logam yang memayungi kerajaan jebol yang mulia..

DARKONIA
Kenapa sampai begitu?

SANG SESAT I
Masih simpang siur yang mulia..

SANG SESAT II
Ini bencana,.. ini bencana... kerajaan kita bisa hancur

DARKONIA
Hancur katamu? Baca kembali kitab kegelapan pasal 23 ayat I dan II, laksanakan!!

SANG SESAT II
(membuka kitab di atas meja lalu membacanya)
Pasal 23 ayat I: rezim kegelapan tak akan pernah bisa dikalahkan. Pasal 23 ayat II: Jika terdapat pihak yang coba-coba ingin mengalahkan rezim kegelapan mohon ricek kembali ayat I.

DARKONIA
Jangan mengada-ada, periksa kembali jangan-jangan ada beberapa mantra yang luput difungsikan. Bagaimana dengan mantra empat mata angin?

SANG SESAT I
Tentu yang mulia, mantra itu tak pernah luput kami gumamkan ketika matahari mulai nampak.

DARKONIA
Atau jangan-jangan ada dari kita yang berkhianat dan membocorkan kode password pintu gerbang kepada musuh.

SANG SESAT II
Ampun yang mulia. Tapi menurut saya tidak ada prajurit yang lancang melakukan itu.

DARKONIA
Lalu kenapa perisai bisa sampai jebol?



SANG SESAT I
Saya merasakan ada aura kegelapan yang begitu dahsyat sedang mengintai dan hendak menyerang kerajaan kita.

DARKONIA
Kekuatan yang dahsyat?,, dari mana asalnya aura yang dahsyat itu?.

SANG SESAT II
Indera ke sepuluhku mengatakan kekuatan yang besar itu berasal dari bumi.

DARKONIA
Dari bumi? Planet yang lemah itu? jangan bercanda, dugaanmu itu terlalu berlebihan.

SANG SESAT II
Tidak yang mulia. Indera ke sepuluhku tak pernah gagal membaca segala jenis aura. Kekuatan itu berasal dari penghuni-penghuni bumi. Berasal dari manusia..

DARKONIA
Kurang ajar! Manusia katamu?, jangan sampai kita kecolongan!!, ilmu-ilmu kegelapan yang kita ajarkan kepada mereka, jangan sampai disalah gunakan untuk menyerang balik kerajaan kita. Benar-benar kurangajar, tak tahu malu, tak tahu diuntung!

SANG SESAT I
Maaf yang mulia, dalam kitab kegelapan memang dijelaskan kalau tak ada kode etik dalam praktek kejahatan, jadi kita tak bisa menyalahkan mereka..

DARKONIA
Diam !!! ini tak bisa dibiarkan, aku harus bertemu dengan Jibril. Sampaikan undanganku untuknya..

SANG SESAT I, II
Baik yang mulia..







BABAK II

Djibril memasuki panggung. Sang Cahaya I dan II mengikutinya dari belakang, berjalan pelan mendekati tempayan.

DJIBRIL
Akulah kesucian yang terlahir berabad-abad silam. Akulah anak tunggal keabadian yang terpahat pada dinding kehidupan. Oleh nafasku, kebenaran akan mekar dan terajut di seantero semesta. Atas nama seluruh mahluk bumi, atas nama sang perajut cinta bertumbuhlah dan biarkan kelopakmu menerbitkan pelangi.

SANG CAHAYA I
Tanah yang memutih, hati yang bening
Air yang menyala, nadi yang membara.
Bunga yang mekar, jiwa yang menggema
Bangkitlah wahai penunggu-penunggu nisan
Bangkitlah, bangkitlah dari sang lelap

SANG CAHAYA II
Pulanglah pada matahari, pulanglah pada kerinduan sang bunda, pulanglah.. pulanglah pada cinta. (ketiga perempuan memejamkan mata berdoa, sementara sebatang lilin menyala di tangannya, Sosok Hilang memasuki panggung, seluruh tubuhnya berbalut perban, berjalan tertatih, langkahnya berat)

SOSOK HILANG
Kelahiran, kehidupan, kematian (mengulang berkali-kali) biadab, ini lingkaran setan!, jiwa-jiwa yang luka, hati hati yang patah, iman-iman yang gelisah, doa-doa yang tumbang, aksara-aksara yang menangis (semakin rapuh berkata-kata) memanggang jiwaku, membakar tubuhku, mesias... teteskan,...teteskan.. gerimismu di dalam rahimku.. jika..jika...jika engkau memang ada...

DJIBRIL
Wahai jiwa-jiwa yang luka, hati hati yang patah, iman-iman yang gelisah, doa-doa yang tumbang, aksara-aksara yang menangis, kepadamu kusajikan akad cinta dariNya

SOSOK HILANG
Dari siapa?



DJIBRIL
DariNya

SOSOK HILANG
Siapa dia?

SANG CAHAYA II
Sang Bapa

SANG CAHAYA I
Sang mesias..

DJIBRIL
Terimalah Surat cinta terpanjang dariNya (menyodorkan sebuah kitab, Sosok Hilang menggenggam kitab dengan tangisan yang membahagiakan)



BABAK III
Darkonia duduk di tahtanya dengan perasaan gelisah. Ia mengepulkan rokok dengan gelagat bimbang, geram, tak percaya. Baltasar memasuki panggung.

BALTASAR
Tamunya sudah datang yang mulia

DARKONIA
Suruh masuk (Djibril masuk)

DJIBRIL
Dan akhirnya si sombong itu mau juga mengundangku ke sini

DARKONIA
Dunia selalu berada dalam ketegangan antara kau dan aku. Kita saling membagi dunia. gelap terang, baik buruk, hitam putih, hanya dua sisi mata uang. Yang berhak memperebutkan bumi hanya kita. Mahluk hidup adalah aksesoris yang tak pernah lebih dari serpihan debu. Tapi kini ada pihak lain yang mengancam posisi kita. Ini tidak bisa dibiarkan.


DJIBRIL
Siapa dia?

DARKONIA
Dia,..(ragu mengatakan, namun tak ada pilihan) Dia.. Namanya, Manusia.

DJIBRIL
Takdir tlah mengungkungmu. Sebelum laut bersahabat dengan airmata ketakutan telah secerdik bayangan. Kau selamanya tak akan bisa mengelak pada binasa. Adam, Hawa, bahkan mesias pernah kau cobai. Dan Manusia, mahluk tak berwarna itu, kini membuatmu gelisah.

DARKONIA
Semua ini kubangun dengan susah payah. Dengan keringat dan darah. Tak akan kubiarkan satu mahluk pun merampas tahtaku! Tidak kau,.. tidak juga manusia!

DJIBRIL
Semakin renta, kau semakin lucu saja,..mana mungkin aku berminat dengan kursi tahtamu yang kotor itu. Ingatlah, masa itu telah dekat, setiap bait-bait puisi kan memudar, setiap detak nafas kan berpulang untuk diadili. Ketika jiwa bercampur dengan ketamakan, nafsu menjelma menjadi kebenaran, dan ketika kebenaran tak lagi mempunyai warna. Peperangan, perselisihan, ketakutan, saling bunuh, adalah keniscayaan. Kau, sang sutradara yang licik..

DARKONIA
Dan Manusia, adalah aktor dan aktris yang tak lagi patuh pada sang sutradara,.. Negeri-negeri yang memuja nafsu, telah menjadi nafsu itu sendiri. Aku hanyalah tamu, aku sang penguasa hanyalah tamu, tamu di setiap penjuru negeri..

DJIBRIL
Serahkan tanah kekuasaanmu padaku..

DARKONIA
Sampai langit runtuh, sampai laut menjadi linangan darah, aku tak akan pernah berkompromi denganmu..

DJIBRIL
Serahkan padaku sesuatu yang bukan menjadi hakmu

DARKONIA
(murka)
Jangan pernah berharap!! (Darkonia dan Djibril saling bersahutan dengan kata-kata yang sama)

Sang Manusia, Orang I dan Orang II mendadak masuk.

SANG MANUSIA
Diam!!, Simpan saja omongkosong kalian di dunia omongkosong!! Lumpuhkan mereka!

ORANG I, II
Beres Bos!!
(kedua orang itu menyerang Darkonia dan Djibril dengan buas, mereka terkapar tak berdaya, sang manusia menaiki tahta Darkonia lalu meliuk-liukkan tubuhnya dengan liar, orang I dan Orang II menggumam-gumam dengan buas, Sang manusia meloncat dari atas meja)

SANG MANUSIA
Bawa mereka ke dalam kurungan..(orang I dan II menyeret Darkonia dan Djibril keluar panggung)


BABAK IV

Sang Manusia memasuki panggung. Orang I dan Orang II mengikutinya dari belakang dengan perangai bodoh.

SANG MANUSIA
Hei, kau..merunduk,.. kalian tidak boleh melebihi tinggi tubuhku..mengerti?

ORANG I
Tapi kita kan sama?, sama-sama manusia...

ORANG II
Iya.. sama-sama manusia

SANG MANUSIA
Sekarang aku yang berkuasa. Kalian bawahanku. Mau tahu kenapa? karena koleksi dosa kalian tak sebanding dengan jumlah yang telah berhasil kukoleksi selama ini. Aku pernah membunuh, mencuri, merampok, memerkosa, mengkorupsi uang negara, menghamili istri orang, dan lain sejenisnya. Apa dosa kamu?
ORANG I
Memukul anak kecil sampai menangis..

SANG MANUSIA
Kamu?

ORANG II
Badusta pa Mama

SANG MANUSIA
(tertawa terbahak-bahak) Kau dan kau, CEMEN!!!! (kembali terbahak, ia kemudian duduk di tahta Darkonia, raut wajahnya bengis, orang I dan II memijat-mijat pahanya)
Namaku manusia, lahir sejak dosa masih dalam kandungan, aku, akulah yang melahirkan dosa, apa? Iblis katamu? bukan, samasekali bukan, dosa telah memilih aku sebagai pemegang hak cipta istimewa atas dirinya. Pekerjaanku? Sangat beragam, aku manusia multitalent, tergantung pesanan, dan tergantung mood, kata Darwin aku adalah hewan paling cerdas di muka bumi, aku tersinggung!!,.. apalagi dengan rekayasa murahan yang mengatakan kalau nenek moyangku adalah monyet. Apa aku mirip monyet?

ORANG I
Tidak yang mulia,.. yang mulia sedikit lebih ganteng

SANG MANUSIA
(tertawa terbahak) seret kemari dua mahluk keparat itu (orang I dan orang II menyeret Djibril dan Darkonia yang tampak lusuh dan lemah, mulut mereka tersumpal lakban, mereka terkulai lemah sambil berlutut di tengah panggung, Sang Manusia mendekati lalu mencengkram rambut keduanya) Kau.. sang penguasa kesesatan,. Lihatlah dirimu yang menyedihkan ini, lemah dan tak berdaya, dekil dan kotor, sekarang,.. jabatanmu aku ambil alih, akulah sang kesesatan itu. Dan kau sang pembawa berita kemuliaan, lihatlah dirimu, begitu tolol dan menjijikan. Sekarang citramu aku ambil alih, akulah sang kemuliaan itu. Mulai saat ini tak ada kerajaan surga, tak ada lagi kerajaan neraka, sekarang hanya ada satu kerajaan, kerajaan itu adalah, kerajaan manusia...(tertawa terbahak, orang I dan orang II ikut-ikutan tertawa, Sang Manusia menaiki punggung orang I dan orang II) mari, kita kabarkan ke seluruh penjuru semesta, keperkasaan kerajaan manusia,...

Sang Manusia, Orang I, dan Orang II meninggalkan panggung sambil tertawa bangga.

SELESAI

Erasur (Murkanya Seorang Tuhan)

Greenhill Weol





PROLOG

Sesaat sebelum pentas dimulai, sutradara naik ke panggung untuk membuka pentasnya dengan mengucapkan kata-kata:

“Hidup... apa yang kau tau tentang hidup?

Apa yang kita tau tentang hidup?

Bukan... bukan... (menyangkal dirinya sendiri)

Apa yang AKU tau tentang hidup! (tersenyum dengan pandangan ganjil)

Tuan-tuan dan nyonya-nyonya, Teater .......... (nama teater yang memainkan naskah ini) dengan naskah karya Greenhill Glanvon Weol, ERASUR! (membungkuk kepada penonton kemudian kembali ke belakang panggung. Lampu Padam. Pentas dimulai)

Satu

Panggung gelap. Di depan seorang lelaki muda duduk di kursi dan kemudian memantik korek api kemudian mulai merokok. Disampingnya ada meja dan beberapa benda yang tak jelas terlihat. Hanya nyala bara rokoknya yang kelihatan.


Lelaki satu:

Untuk apa?

Untuk apa?

(menekankan)

Dari bermilyar-milyar sel dalam tubuhku

Dari segenap tarik nafas dan denyut nadiku

Dari dua puluh empat jam, hari, bulan, tahun, milenium

Aku siapa?…

(diam, kembali terus merokok)

Aku siapa?...

(berbisik)


Di bagian depan kanan seorang terlihat memantik korek api, tetapi yang ini sedang memasang sebuah lentera. Lelaki dengan rokok itu kembali berbicara:


Lelaki satu:

Jika cahaya ada agar gelap sirna,

jika bumi ada agar langit punya saudara,

lantas aku untuk apa?

Untuk apa!

(kesal)


Lelaki dua:

Kau ada karena kau ada

(menyela dengan emosional)

Kau ada karena kau memang ada

Kau ada karena kau harus ada!

Begitu! Mudah dan tak usah kau persulit lagi

(kembali sibuk dengan kerjanya)

Seperti cahaya ini, ia ada lantaran ia memang seharusnya ada...

Ada untuk kau, ada untuk aku...

Ada untuk kita!


Lentera mulai menyala, lelaki yang memasangnya kemudian membawa dan meletakkannya di atas meja. Keadaan mejadi remang-remang oeleh cahaya lentera. Lelaki kedua itu juga menyalakan sebatang rokok. Ternyata di atas meja ada papan catur yang siap di mainkan. Mereka mulai bermain. Tempo permainan sangat lambat. Selang beberapa langkah baru mereka mulai berkata-kata:


Lelaki pertama:

Sekarang jam berapa?

(pelan, serius main)


Lelaki kedua:

Siang atau malam apa bedanya?

(menggeser buah catur)


Lelaki pertama:

Sekarang tahun berapa?

(setelah beberapa saat kemudian, berpikir)


Lelaki kedua:

Sesudah lonceng perang besar kedua...

(mulai tak konsen)


Lelaki pertama:

Sekarang kita dimana?...

(gelisah)


Lelaki kedua:

Pada fajar...

(melirik jam tangan)

Skak!

(menggeser buah catur tiba-tiba)


Lelaki pertama:

Apa maksudmu?

(seolah dicurangi, mengangkat kepala menatap lelaki kedua)


Lelaki kedua:

Kau kalah...

Maksud?

Maksud apa?

(bingung dengan arah pembicaraan, saling tatap)


Lelaki pertama:

Kau belum pernah mengalahkanku

(tertahan sejenak)

Aku ini ada dengan maksud...

(sedikit berbisik)


Lelaki kedua:

Maksud?

(kembali memandangi papan catur)

Mengapa harus ada maksud?


Lelaki pertama:

Jantung adalah maksud, matahari adalah maksud, musim adalah maksud!

(menekankan)


Lelaki kedua:

Heh!

(sinis)

Kentut adalah maksud!

(sejenak berhenti)

Kau tau? Tak semua diciptakan dengan maksud

(suara menuding, serius)

Penyakit misalnya…

(menghembus asap panjang)


Lelaki satu:

Penyakit?

(bingung)

Penyakit tidak di ciptakan, ia di lahirkan, menetas dari rahim dosa, muntahan dari jiwa-jiwa durjana! (terdiam sejenak)

Oo…

(sadar, mulai tersinggung)

Jadi aku penyakit? Begitu?

Imsomnia, paranoia, skizofrenia? Begitu?

Cinta, rasa, eulogia? Begitu?

Kitab, surat, mantra? Begitu?

(berhenti bermain, bersuara keras, mulai marah)

Darah, angin, tanah? Begitu?

Siapa penciptanya, hah!

(menggebrak meja, catur berhamburan)


Lelaki dua:

Ha…ha…ha!

(tiba-tiba terbahak, namun tiba-tiba terhenti dan serius)

Bukan! Bukan begitu maksudku!

(melotot pada lelaki satu)

Kau tau, jumlah bintang selalu sama, tetapi tetap saja setiap hari kita menghitung berbeda.

Daun-daun gugur akan menghamili tanah dengan darah untuk memberi nafas buat tunas-tunas muda!

(berhenti sejenak)

Kau harus mencari apa yang akan menjadi maksudmu…

(berjalan menjauh dan menerawang)


Lelaki satu:

Cari?

Cari apa?

(dengan ekspresi tertarik, seolah tertantang)


Lelaki dua:

Cari apa saja…


Lelaki pertama:

Kemana?


Lelaki kedua mulai melangkah keluar panggung. Sebelum keluar, ia terhenti sejenak karena lelaki pertama kembali berseru:


Lelaki pertama:

Kemana!?


Lelaki kedua:

Kemana saja…

(tak menoleh kemudian meneruskan langkahnya keluar panggung)


Lelaki pertama itu tertegun. Ia berpikir sejenak. Tiba tiba ia seperti teringat sesuatu, ia seolah hendak mengejar laki-laki kedua keluar. Ia bergegas membawa lentera itu keluar. Sambil bergegas, ia berseru:


Lelaki pertama:

Kau dan aku?...

Kau dan aku?...

Kau dan aku!

Kau dan aku!

Kau aku!

Kau aku!

Deus!

Rexus!

Deus!

Rexus!

(mengejar)


Panggung kembali gelap.

Dua

Panggung berangsur terang. Di tengah panggung ada sebuah meja dengan sebuah radio yang tengah menyala dengan suara keras dan sekaleng minuman ringan. Disamping meja ada sebuah kursi kosong. Seorang gadis masuk. Langkahnya gemulai, pakaiannya sexy. Ia kemudian duduk dengan anggun, perlahan ia meraih kaleng minuman itu kemudian membukanya dan meminumnya perlahan sambil menerawang ke depan, menikmati siaran radio. Beberapa saat kemudian lelaki pertama masuk, mendekati meja, kemudian duduk di meja dan mulai berbicara:


Lelaki pertama:

Aku lapar...

(sekenanya sambil mengayun-ayunkan kaki)


Gadis:

Kau tak bisa hidup tanpa makan?

(sambil meraih radio untuk mengecilkan volumenya)


Lelaki pertama:

Sekali-sekali bisa...

(lambat)

Sekali-kali tak bisa...

(menunduk)


Gadis:

Makanlah pada saat kau perlu, bukan saat kau mau... (tersenyum)


Lelaki pertama:

Inikah saatnya?

(seolah mendapatkan kesempatan, menoleh dengan tatapan nakal)


Gadis:

Mudah bukan?

(mengerling menggoda)

Kau hanya perlu meminta, lalu segalanya tersedia

(tersenyum sensual)

Ketuk, lalu pintu akan terbuka...

(membisik sensual)


Lelaki pertama:

Tapi aku perlu mencarinya!

(tak puas)


Gadis:

Kau kan tau semua lekuk dunia!

(mengingatkan)


Lelaki pertama:

Akh..

(kembali tenang)

Hanya kau yang mengerti aku...

(merayu)


Gadis:

Aku bukan kau

(saling bertatapan)

Cuma kau yang tau tentang kau


Lelaki pertama:

Kau tak tau tentang aku?

(mendadak kecewa)

Tapi kau bersamanya melalui waktu!


Gadis:

Aku sendiri...

(mulai terisak-isak)

Selalu sendiri...

Aku sendiri sedari dulu...

(menangis)


Lelaki pertama:

Dia pergi?

(mencoba menatap Gadis itu, kemudian berlutut di hadapannya)

Dia pergi...

(seolah menjawab sendiri pertanyaannya)

Mengapa dia pergi?

(heran)


Gadis:

Setidaknya aku punya kau, kan?

(mencoba berhenti terisak, menyeka airmata, membelai kepala lelaki pertama)


Lelaki pertama:

Aku bukan milik siapa-siapa!

(tiba-tiba bangkit berdiri dan menjauh, menerawang)

Aku bahkan bukan milik diriku...

(menunduk)


Sang Gadis menunduk pula, kembali terisak. Lelaki pertama datang kembali mendekat dan mengeluarkan sehelai sapu tangan dan menawarkan itu kepada gadis itu. Gadis itu mengangkat kepala dan menatapnya dalam-dalam sejenak dan berkata:


Gadis:

Aku tak butuh itu...

(memandang dengan penuh kasih sayang)

Kau...

Kau...


Lelaki pertama itu kemudian jatuh tersungkur dan memeluk gadis itu rapat. Sejenak mereka saling berpelukan erat. Lelaki pertama menggumam:


Lelaki pertama:

Sekarang aku kenyang...

(lambat)

Sekarang aku kenyang...


Gadis:

Manusia memang tak hidup dari roti saja...

Kau...

Carilah itu dulu...

(lembut)


Lelaki itu bangkit perlahan. Mereka bertatapan dan saling tersenyum. Lelaki itu meraih radio dan kembali menguatkan volumenya kemudian melangkah keluar. Gadis itu kembali duduk dan menikmati siaran radio. Lampu memudar.

Tiga

Panggung berangsur terang. Dua sosok sedang membaca koran di satu sisi panggung dengan diam. Mereka berkacamata hitam. Ada yang berdiri, ada yang duduk. Di sisi sebelah ada sebuah kursi kosong dan sebuah meja dengan mesin ketik. Pada saat membalik halaman, mereka melakukannya bersamaan. Kemudian mereka mulai bersahut-sahutan dengan suara lantang:


Sosok satu:

Berita hari ini: sebuah pertanyaan!


Sosok dua:

Berita hari ini: sebuah kebimbangan!


Sosok satu:

Berita hari ini: waktu berlalu!


Sosok dua:

Berita hari ini: yang lalu menjadi terdahulu!


Lelaki pertama tadi masuk dan duduk di kursi kosong dan mulai mengetik lambat-lambat. Wajahnya berat, penuh beban. Ia kemudian menoleh perlahan kepada kumpulan sosok itu dan mengerinyitkan kening dan berkata:


Lelaki pertama:

Apa yang kalian tau?

Apa dengan membaca kalian jadi tau segalanya?

(emosional)

Aku juga membaca!

Aku juga membaca apa yang kau baca!

Aku bahkan membaca apa yang tak tau baca!

(ketus)


Sosok satu:

Lantas, kau jadi tau segala-galanya?

(membalas dengan cepat, tetapi pandangan tetap pada bacaannya)


Sosok dua:

Mengerti segala-galanya?


Sosok satu:

Bisa segala-galanya?


Sosok dua:

Menjadi segala galanya?


Lelaki pertama itu menunduk. Ia menyahut pelan:


Lelaki pertama:

Tidak...

(menelan ucapannya)


Sosok-sosok:

Lantas?

(bersamaan)


Lelaki pertama:

Itu semua agar aku bisa menulis...

(menerawang)


Sosok-sosok:

Menulis apa?

(bersamaan, kali ini semuanya menurunkan bacaan mereka lalu menoleh pada lelaki pertama)


Lelaki pertama:

Menulis apa saja!

(bangkit dan marah-marah)

Menulis segala-galanya!

(menatap tajam ke arah sosok-sosok)


Sosok-sosok:

Untuk apa?

(bersamaan, kaget, )


Lelaki pertama:

Untuk diriku sendiri...

(tak perduli, kembali sibuk mengetik)


Sosok satu:

Untuk dirimu?

Untuk dirimu, katamu?

(berdiri, mendekati lelaki pertama)

Siapa dirimu?


Sosok dua:

Siapa?

(berdiri, namun tidak bergerak)

Kau?

Dia?

(menuding)

Dari mana kau tau kalau kau bukan dia, dia bukan kau?


Lelaki pertama:

Diaaam!

(menyela dengan hardikan)

Kalian tak perlu tau siapa aku!

Kalian tak perlu tau siapa dia!

Hari-hari akan berganti, bulan bintang dan matahari!

Tetapi aku dan dia tak akan pernah mati!

Pergi!

Pergi!

Pergiii!


Dari luar bergegas masuk lelaki kedua dan langsung menantang lelaki pertama dengan kata-kata:


Lelaki kedua:

Mengapa harus pergi?

(menatap tajam lelaki pertama)


Lelaki pertama:

Ya... karena... mereka...

(patah-patah, kaget, seolah tak siap dicecari pertanyaan)


Lelaki kedua:

Mengapa harus pergi?!

(meninggi)


Lelaki pertama:

Eee... seharusnya kan...

(gugup menjadi-jadi)


Lelaki kedua:

Mengapa harus pergi?!!!

(menghardik keras)


Lelaki pertama:

Karena mereka bukan aku!!!

(balas menghardik dengan lebih keras)

Karena mereka bukan kau...

(lambat, menunduk, menghela napas dan menghembuskannya dengan berat.)


Suasana hening mencekam sesaat. Tak ada yang bergerak. Lelaki pertama kemudian melangkah kesamping, menjauhi lelaki kedua, kemudian matanya menerawang jauh.


Lelaki pertama:

Kau sudah lupa...

(lambat, pedih)


Lelaki kedua:

Aku... memilih untuk lupa

(lemah, menunduk)


Lelaki pertama:

Jadi kau masih ingat?

(menoleh, menyelidik)


Lelaki kedua:

Aku ingat apa yang kau ingat...

(saling tatap)


Sosok-sosok itu keheranan, saling pandang. Mereka menatapi koran koran yang di pegangnya. Wajah mereka kecewa. Bersamaan kemudian mereka mengambil korek api dan mulai membakar kertas-kertas itu. Sementara api berkobar, lelaki pertama kembali ke kursinya dan mengetik. Sosok-sosok itu memandangi api itu dengan muka tertekan, sampai api itu padam dengan sendirinya. Lelaki kedua berdiri kaku sambil menunduk. Lampu memudar mengikuti nyala api.

Empat

Lampu menyala. Di panggung lelaki pertama dan lelaki kedua sedang duduk berhadap-hadapan di sebuah meja. Di atas meja ada secangkir kopi yang mengepul hangat. Keduanya sedang menatapi cangkir itu dengan serius. Beberapa saat tanpa suara, kemudian lelaki pertama memulai pembicaraan:


Lelaki pertama:

Mengapa kopi?

(tetap menatap cangkir)


Lelaki kedua:

Ini kehidupan

(tetap menatap cangkir)


Lelaki pertama:

Tau apa kau tentang kehidupan?

(mengangkat kepala, menatap lelaki kedua)


Lelaki kedua:

Tak tau apa-apa...

Selain apa yang diajarkannya kepadaku...

(tetap menatap cangkir)


Lelaki pertama:

Apa itu?

(menggeser tubuh kedepan, mengeringitkan dahi)


Lelaki kedua:

Belajarlah sendiri

(mengangkat muka, menatap mata lelaki pertama)


Lelaki pertama:

Kau mau meracuni aku?

(curiga, menggeser tubuh ke belakang)


Lelaki kedua bangkit dari duduknya. Matanya menerawang ke depan. Ia mau melangkah pergi ketika jemari-jemari lelaki pertama itu mulai bergerak sesenti-sesenti mendekati cangkir di depannya. Bagai mereka punya abadi, cangkir itu dibawa mendekati bibir dan menenggelam muka kedalamnya. Wajah lelaki pertama itu tak berubah oleh rasa. Tak ada segerak otot bahkan yang terhalus sekalipun di tubuhnya. Ia melirih perlahan. Hampir terlalu kabur untuk didengar.


Lelaki pertama:

Mengapa pahit?

Lelaki kedua:

Itu kemurnian

(tegas)


Lelaki pertama:

Maksudmu?

(menoleh, bingung)


Lelaki kedua:

Tak ada gula dalamnya


Lelaki pertama:

Jadi?


Lelaki kedua:

Kopi memang pahit…

Jika ingin manis, tambahkan gula


Lelaki pertama:

Gula...?

(bingung)


Lelaki kedua berjalan keluar panggung. Lelaki pertama dengan kebingungannya kembali menatap cangkir itu. Dari ketidak puasannya ia kembali bertanya dengan berseru:


Lelaki pertama:

Bagai mana jiga aku tak memiliki gula?


Sebuah suara menggema dari luar panggung, suara lelaki kedua, menjawab pertanyaannya:


Lelaki kedua:

Tiap orang punya gula!

Tiap orang punya cinta!


Lelaki pertama:

Cinta, katamu?

(memiringkan kepalanya, keningnya berkerut)

Cinta?

Itu tak berbeda dari kutukan pertama!


Lelaki kedua:

Wanita?


Lelaki pertama:

Anak haram itu rusuk kita!

Dia membuatku mencambuki diriku

Jantungku melompat-lompat

Nafasku menyanyi-nyanyi

Lantas lelah menari-nari!

Kau juga, kan?

(tersenyum mengejek)


Lelaki kedua:

Aku tak mencintainya!...


Lelaki pertama terkejut dan bangkit dari duduknya. Ia menoleh ke belakang, kearah suara lelaki kedua. Lampu mati.

Lima

Panggung berangsur terang. Di atas panggung seorang wanita cantik sedang duduk di sebuah kursi dengan pose yang sedikit menantang. Di hadapannya ada sebuah televisi yang menyala, cahaya layarnya membias diwajah gadis itu. Wajahnya anggun, namun sensual. Bibirnya basah merekah. Ia menonton sambil memainkan rambutnya yang terurai. Lelaki pertama masuk dengan mengenakkan helm yang menutupi mukanya, berdiri di samping kursi wanita itu dan langsung menatap televisi dihadapan mereka. Dengan tidak mengalihkan pandangan dari televisi, mereka mulai berbicara:


Gadis:

Kau...

(tertahan)

Mau pergi?

Hhm...

(tersenyum kecil)


Lelaki pertama:

Aku masih disini

(membuka helmnya cepat, kembali menatap televisi dengan wajah dingin)

Kau?...


Gadis:

Aku akan disini

Tapi bukan menunggu...

Aku Cuma menghitung waktu


Lelaki pertama:

Tanpa lelah?


Gadis:

Waktu adalah sahabatku, ketika aku berhenti, ia juga


Lelaki pertama:

Jika ia terbang, kau juga?


Gadis:

Aku pernah terbang bersamamu...

(suaranya tercekat, berduka. Disaat itu ia menoleh ke atas, ke arah lelaki itu)


Lelaki pertama:

Ya...

(tersenyum getir)

Langit dulu sahabat kita, awan-awan juga...


Gadis:

Aneh bukan, betapa kita menjadi lelah dengan kata-kata... (bangkit berdiri, mendekati lelaki itu dan menyentuh wajahnya dengan kedua telapak tangan. Lelaki itu meletakkan helmnya di kursi)

Lalu jari-jari kita beku...

(melepaskan sentuhannya, menatap jari-jarinya. Tiba-tiba ia seperti terhenyak, mundur selangkah menjauhi lelaki itu dan menatapnya tajam)

Kau penyebabnya, bukan?

(suaranya keras, menuduh)

Kau terbang terlalu tinggi, kemudian matahari melehkan sayapmu!

(kecewa)


Lelaki pertama:

Kau yang menyuruhku...

(seperti hendak menyangkal, namun akhirnya tunduk)

Aku sebenarnya tak suka melayang...

(menerawang)

Aku lebih suka berpelukan dengan bumi...

Rumput, kembang...

Bukit hijau...

Laut...

(kembali menunduk)


Gadis:

Laut?

(menoleh)


Lelaki pertama:

Laut tinggal pada tanah...

(menatap tajam kedepan)


Gadis:

Kau tau berapa dalamnya?

(maju selangkah)


Lelaki pertama:

Kau tau jawabnya... aku juga

(maju kearah gadis itu dan merengkuhnya kedalam pelukan, mereka bertatapan dengan sinar mata takjub. Sejenak mereka saling tatap. Musik lembut bermain. Berpelukan, mereka mulai bergerak mengikuti irama lagu, lembut lalu mulai memuncak. Gerakan mereka mencepat, meninggi, hingga akhirnya terhenti mendadak. Mata mereka bertautan. Keduanya kemudian berciuman. Tib-tiba sang gadis memisahkan tubuhnya, membuang pandang jauh, wajahnya berduka)


Gadis:

Pergilah...

(terengah)

Pergi...

Atau aku yang menghempas bumi...

(lemas)


Lelaki pertama itu hendak meraih tubuh gadis itu lagi namun ia berhenti sendiri. Ia memandang gadis itu dengan tajam, tetapi pandangannya itu cepan jatuh ke tanah. Sekejab ia menyambar helm di kursi berkehendak mengenakkannya, namun terhenti. Ia menatap gadis itu kembali dan berkata:


Lelaki pertama:

Aku... mungkin tak kembali...

(lambat, kecewa)


Gadis itu terkesiap. Tangannya mencoba meraih lelaki itu, namun ia telah membalikkan tubuh, mengenakkan helm dan melangkah keluar, tanpa menoleh lagi. Gadis itu kembali ke kursinya dan seolah tak ada yang terjadi, ia kembali duduk menonton dengan wajah dingin. Lampu memudar.

Enam


Lampu panggung menyala. Lelaki pertama sedang duduk di kursi dan memandangi sebuah handphone dalam genggamannya. Wajahnya bimbang. Akhirnya ia mulai memencet nomor. Setelah menunggu sejenak, Ia mulai berbicara:


Lelaki pertama:

Ada waktu kita menunggu

Ada waktu kita ragu!

Kau dimana?

Kita perlu bertemu

(tegas)


Dari luar panggung masuk sesosok dengan handphone yang sedang ditempel ke telinga dan langsung berbicara:


Sosok satu:

Utara, selatan, timur, barat, sama saja

Aku ada dimana-mana


Lelaki pertama:

Terserah...

Tapi aku masih di bumi, kau tau itu!

(menekankan)


Dari luar panggung masuk lagi sesosok dengan handphone dan langsung berbicara:


Sosok dua:

Mars, Jupiter, Merkurius, Venus, Apha Centauri, atau Eden sekalipun!

Sama saja...


Dua sosok yang baru masuk menempati sisi-sisi panggung. Lelaki pertama bangkit dari duduknya, namun tak bergerak ke mana-mana.


Lelaki pertama:

Aku telah terusir dari Eden!

Bagsat ular itu...

(melemah, seolah menyesal)


Sosok satu:

Kau menyesal?

(serius)


Sosok dua:

Kau gagal?

(serius)


Sosok satu:

Dosa itu nikmat, bukan?

(menggoda)

Hahaha...

(tertawa renyah)


Sosok dua:

Telanjang itu indah, bukan?

(menggoda)

Hihihi...

(tertawa terkikik)


Sosok satu:

Kenangan masa silam tak pernah lekang

Hanya sembunyi dalam kelam


Sosok dua:

Untuk kembali menerkam

Dikala t’lah larutlah malam!


Kedua sosok itu kemudian tertawa-tawa. Lelaki pertama kelihatan kalut, ia menghardik:


Lelaki pertama:

Diam!

(marah)

Jarum jam tak bisa diputar ulang!

Aku hanya mau tidur dalam keabadian!

Malam datang dan pergi, siang silih berganti!

Aku hanya melawan lupa!

Aku hanya melawan lupa!!

Halo!

Halo?

Haloo!?


Seolah putus sambungan, pembicaraan terhenti. Lelaki pertama memencet tombol kembali, namun ternyata tak bisa. Sosok-sosok tadi telah keluar panggung. Ini memancing kemarahannya menjadi-jadi, semakin tinggi. Di tatapnya handphone di genggamannya dan berseru:


Lelaki pertama:

Erasur!


Lelaki pertama itu menghempaskan handphonenya ke lantai sehingga hancur berkeping-keping. Lampu mati.

Tujuh

Lampu panggung menyala. Di tengah panggung ada sebuah meja dan kursi. Lelaki kedua sedang duduk di meja dan memainkan sebuah gitar dengan sebuah lagu blues. Sebatang rokok tersisip di bibirnya dan sekali-kali di tarik-hembus tanpa di pegang. Selang beberapa saat kemudian lelaki pertama masuk dan langsung duduk di kursi. Ia menundukkan kepala tetapi tangannya di sandarkan di meja dan mengetuk-ngetuk meja mengikuti irama dari lagu lelaki kedua. Lelaki kedua menyapa:


Lelaki kedua:

Kau tau lagu ini?

(berbicara dengan rokok terselip di bibir, masih terus memainkan gitar)


Lelaki pertama:

Aku yang menciptanya...

(menyesal)


Lelaki kedua:

Bagus...


Lelaki pertama:

Bagus?

(menoleh pada lelaki kedua)


Lelaki kedua:

Bagus

(meyakinkan, juga menoleh)

Aku suka...


Lelaki pertama

Aku juga suka...

(menerawang)

Setidaknya... kita berdua sama


Lelaki kedua:

Setidaknya... kita belum lupa

(menjepit rokok dengan jari tangannya, kembali memainkan gitar)


Keduanya menerawang. Musik tetap dimainkan. Lelaki pertama kemudian menyanyi mengikuti lagu sampai lagi selesai. Lelaki kedua juga ikut menyanyi. Mereka berdua tampak menikmati kebersamaan mereka dalam menyanyikan lagu itu. Lagu kemudian selesai. Mereka terdiam beberapa saat. Lelaki kedua berusaha berbicara dengan kaku:


Lelaki kedua:

Kau temui mereka?

(menunduk, menggaruk kepala)

Semesta logika yang sedari dulu mengaliri nadimu?

(menoleh)


Lelaki pertama:

Selalu seperti itu...

(menerawang, menoleh ke arah lain)


Lelaki kedua:

Ruang, waktu, dimensi, realita, makna!

Seribu kali kecepatan suara!

Mesin waktu yang nirmakna!

Kita Cuma abu kosmis yang melayang di udara!

(tercekat)

Lantas...

Apa yang tersisa?

(emosional)


Lelaki kedua:

Khaos...

(ragu-ragu)


Lelaki kedua:

Epistel siapa?


Lelaki pertama:

Aku...

(lemah)

Kau..


Lelaki kedua:

Kau tau semua itu?

(melompat turun dari meja, menatap tajam lelaki pertama)


Lelaki pertama:

Aku... kau, bukan?

(menerawang)


Lelaki kedua:

Kau... kenal aku?

(antara amarah dan takjub)


Lelaki pertama:

Kematian tak selalu punya nama!

(bangkit, menantang)


Lelaki kedua:

Tuhan!

Tuhan punya nama!

(marah)


Lelaki pertama:

Apalah artinya sebuah nama?!

(profokatif)


Lelaki kedua:

Bahkan sungai kematian punya nama!

(gugup)

Tiap sel tubuh punya nama!

Dendam pun punya nama!


Lelaki pertama:

Hmh!

(mendengus sinis)

Aku tak pernah percaya diriku...

bahkan semenjak aku lahir!

Kelahiran adalah kematian!

ALPHA ADALAH OMEGA!


Lelaki kedua tiba-tiba menghempaskan gitar yang dipegangnya ke samping dan meloloskan sepucuk pistol dari pinggang belakangnya dan langsung menodongkannya kepada lelaki pertama. Lelaki pertama juga bersamaan meloloskan sepucuk pistol dari pinggangnya dan langsung menodongkannya ke arah lelaki kedua. Mereka saling menodongkan pistol, bersilang lengan, tetapi dengan mimik berbeda, lelaki pertama dengan wajah dingin sedang lelaki kedua dengan wajah penuh amarah, napasnya naik-turun. Sementara konflik diantara mereka meninggi, gadis itu masuk dengan langkah santai dan duduk di kursi dengan gaya seronok kemudian menyalakan sebatang rokok dan menghisapnya dalam, seolah ia tak melihat apa pun yang sedang terjadi di hadapannya. Kedua lelaki tadi juga seolah tak memperhatikan kedatangannya dan tetap dengan konflik mereka.


Lelaki pertama:

Berakhir di sini?

(dingin)


Lelaki kedua:

Membunuh atau terbunuh!

Bau mesiu!

Nyawa yang terbang jauh!

Hahaha!

(gembira)


Lelaki pertama:

Aku atau kau!

(meledak dengan amarah)


Lelaki kedua:

Aku kau!

Kau aku!

(emosional, antusias)

Hahaha!

(tertawa aneh)


Lampu panggung tiba-tiba mati. Beberapa letusan pistol menggema.

Delapan

Lampu panggung menyala. Sosok satu dan dua sedang membaca koran di atas panggung. Sosok satu duduk di kursi, sedang sosok dua berdiri menyandar meja. Tiba-tiba dari kiri-kanan panggung, dari kedua pintu masuk panggung, muncul sorotan sinar senter yang menyilaukan. Masing-masing sinar mengarah kepada muka kedua sosok tadi. Keduanya terkejut dan mencoba menghalangi sinar itu dengan telapak tangan. Seolah ingin mencari tau siapa yang menyinari mereka, keduanya lalu bergerak mendekati arah sinar itu perlahan-lahan. Semakin dekat mereka menjadi lebih curiga. Tiba-tiba mereka terhenyak bersamaan dan jatuh terlentang di lantai. Keduanya kemudian dengan ekspresi ketakutan mulai mundur perlahan-lahan menempeli dinding belakang sambil menyeret kaki. Sosok satu dan dua mulai bergumam ketakutan:


Sosok satu:

Kau...

Tak mungkin...

(gemetar)


Sosok dua:

Ini...

Tak mungkin...

(histeris)


Semakin ketakutan, semakin histeris, mereka bergerak mundur. Lampu tiba-tiba mati. Kedua sosok itu menjerit keras. Beberapa letusan pistol menggema. Senyap.

Sembilan

Lampu menyala. Di panggung gadis itu masih duduk di kursi. Pandangannya menerawang ke depan. Sesekali dia menghirup rokok dalam dan menghembuskan asapnya dengan sensual. Tiba-tiba menoleh ke pintu masuk seolah ada orang di sana.


Gadis:

Siapa?

Kau…

Tak seharusnya kau...

(menoleh ke arah pintu masuk dengan wajah curiga)

Terlalu cepat kau kembali!


Gadis:

Mengapa?

Setelah begitu lama...

Kau juga lupa?

(gugup, bangkit dari duduk, rokoknya terjatuh dari jepitan jarinya, masih memandangi pintu)


Gadis:

Jangan!

(takut, mudur menjauhi pintu, namun tertahan pada sisi meja)

Aku…

Kau…

Dia?…

Mereka juga?

Jangan!

Jangan!!

Jangaaaan!!

(histeris)


Lampu mendadak mati. Beberapa ledakan pistol terdengar. Suara-suara seperti ada pergulatan terdengar. Sebuah gelas jatuh pecah. Beberapa saat kemudian lampu kembali menyala. Gadis itu telah menggeletak di atas meja dengan kepala menggelantung terbalik menghadap ke depan panggung. Dari mulutnya mengalir darah segar yang masih menetes-netes, matanya terbelalak. Di depan meja ada dua sosok yang menggeletak berlumuran darah. Yang satu menyandar pada kaki meja. di bajunya, tepat di dadanya, darah membasah. Sosok lainnya terkapar menelungkup di kaki sosok yang pertama. Di belakang, menyandar pada dinding belakang, ada pula dua sosok yang berlumuran darah. Lampu kembali mati.

Sepuluh (Epitaph)

Panggung masih gelap. Sesosok bayangan masuk dengan merokok. Tidak dapat dikenali karena gelap. Hanya bara rokoknya yang menyala. Ia melangkah lambat ke tengah panggung dan berhenti di sana. Diam. Hanya bara rokoknya yang bergerak-gerak. Terdengar kemudian ia pergi duduk di kursi. Rokok habis dan puntungnya dijentikkan. Kembali gelap. Selang beberapa saat kemudian dia menyalakan sebuah korek api dan menjentikkannya ke sebuah kaleng di depannya yang langsung menyala membesar dengan api yang menjilat-jilat. Keadaan tiba-tiba terang oleh api itu. Di atas meja masih ada tubuh gadis itu. Di depan meja masih ada dua sosok yang menggeletak berlumuran darah. Dan.. yang duduk dikursi... Ternyata... sosok itu... aku. Ya, aku. Aku yang duduk di kursi itu. Aku yang memandang tajam ke depan. Di genggamanku ada sepucuk pistol. Perlahan-lahan aku tersenyum, senyum kemenangan. Aku kemudian menggumam:


Aku:

Pertunjukan...

Usai!...


Api mulai mengecil dan padam. Panggung gelap.


S E L E S A I





Keterangan Tambahan


Pengkarakteran:

Lelaki pertama:

Seorang yang muda yang gelisah, lelah, hampir-hampir putus asa.
Lelaki kedua

Seorang lelaki yang pasti, penuh semangat, beradrenalin tinggi. Alter-ego dari lelaki pertama.
Gadis

Seorang gadis sensual yang pantas dicintai oleh tiap lelaki.
Sosok satu
Sosok dua

Tokoh-tokoh absurd, imajiner. Hadir sebagai teaser lelaki pertama.
Aku

Sang mahatau... sang mahabisa, dalam kisah ini. Sebaiknya diperankan oleh sang sutradara sendiri, atau seseorang yang berperan sebagai “sutradara”. Disarankan juga agar sang sutradara berada di atas panggung dan aktif mengarahkan pengaturan panggung beberapa saat sebelum pentas, agar penonton mendapat kesan bahwa ia memang sutradara.



Stage Setting:


Panggung ditata dengan sebuah meja dan sebuah kursi, set properti lainnya seperti televisi, radio, bungkus rokok, cangkir, catur, dsb. akan di tambahkan sewaktu pergantian babak, pada saat lampu panggung dimatikan. Dinding belakang panggung disinari dengan image-image dari sebuah proyektor (LCD atau slide), atau paling tidak menggunakan sinar dari lampu dengan nuansa warna merah dan/atau kuning . Pencahayaan diusahakan menggunakan lampu atas dengan tata warna warna kuning dan merah untuk memperkuat aura misterius.