Esther Veronica
Indonesia sebagai suatu negara multikultural yang terdiri dari kepulauan dari Sabang sampai merauke yang kita sebut tanah air atau sering pula disebut ibu pertiwi, memiliki sejarah yang sama sebagai negara jajahan selama tiga setengah abad dan juga merupakan negara berkembang yang memegang sistem adat dan kekerabatan yang kental sehingga permasalahan “Gender dan Seksualitas” di Indonesia sudah berlangsung sejak lama dan mengalami proses yang cukup rumit.. Simbolisasi ibu pertiwi dapat kita artikan bahwa Indonesia mengagung-agungkan perempuan. Di masyarakat pedesaan Jawa misalnya, mempunyai mitos-mitos tentang Dewi Sri sebagai lambang kesuburan tanah pertanian, ada pula ungkapan yang mengatakan “Surga berasal dari telapak kaki ibu”, dapat kita artikan disini bahwa sebagian bangsa Indonesia telah menerima watak feminim sebagai image publik.
Tetapi sayangnya oleh pihak laki-laki, simbolisasi ini justru dijadikan alasan untuk melemahkan pihak perempuan. Kehidupan tradisi bangsa Indonesia yang sangat lekat pada sistem Patriarki ini menganggap perempuan harus ‘dilindungi’ dengan berada di rumah untuk melayani kebutuhan mereka. Peran reproduksi perempuan yang harus dijalankan yaitu menstruasi, melahirkan, menyusui, dijadikan alasan bahwa tempat yang cocok perempuan adalah berada di rumah. Simbolisasi lain yang menunjukkan bahwa perempuan termasuk dalam kelas subordinat adalah pada pengungkapan kata wanita, tanpa disadari kata wanita ini berasal dari bahasa jawa wanito yang merupakan akronim dari wani ditoto, yang berarti mau diatur.
Dalam hubungan seksual ataupun dalam kehidupan rumah tangga, seringkali perempuan dijadikan objek oleh suami dan bukan sebagai partner yang memiliki hak dan kewajiban yang sama. Kekerasan seksual (marital rapes) ataupun kekerasan rumah tangga (domestic abuse), seringkali terjadi baik di masyarakat pedesaan ataupun perkotaan, baik dikalangan terdidik maupun yang tidak terdidik. Banyak sekali perempuan menerima perlakuan demikian tetapi tidak dapat berbuat apa-apa karena telah terbentuk konstruksi sosial di masyarakat bahwa seorang istri yang baik adalah istri yang sabar dan manut (mengalah) pada suami.
Sebenarnya dalam segi hukum, Indonesia sudah mengakui keberadaan perempuan sejak masa pemerintahan Soekarno, dalam pemilihan umum 1955, maupun untuk duduk dalam parlemen. Pada masa itu juga sudah ada UU yang bernuansa keadilan gender yaitu UU 80/1958, yang menentukan prinsip pembayaran yang sama untuk pekerjaan yang sama, tetapi pada kenyataanya perempuan tetap saja mengalami diskriminasi dalam pekerjaan (Darwin, 2005:30). Sebagai contoh buruh perempuan misalnya, mereka mendapatkan gaji yang lebih kecil daripada laki-laki, dan mereka tidak mendapatkan cuti haid walaupun itu sudah tertulis dalam Undang-Undang Kesejahteraan Pekerja. Selain itu juga tidak jarang diantara mereka yang mengalami pelecehan seksual di tempat-tempat kerja, baik secara fisik ataupun secara verbal. Tidak hanya di tempat kerja, dalam lingkungan keluarga sering kali mereka dipersalahkan hanya karena permasalahan kecil seperti, tidak menyiapkan sarapan pagi ataupun hanya karena anak yang rewel.
Singkat kata, hukum di Indonesia belum sepenuhnya dijalankan, ataupun perlu adanya perubahan dari segi hukum di Indonesia, yang belum sepenuhnya berpihak pada perempuan, misalnya saja bagi seorang pemerkosa hanya dihukum paling tidak 5 tahun penjara, padahal trauma akibat pemerkosaan itu akan dibawa perempuan seumur hidupnya. Lemahnya sistem hukum di Indonesia semakin menambah korban-korban kekerasan ataupun pelecehan terhadap perempuan. Salah satu contoh kasus lemahnya hukum yang berlaku di Indonesia adalah kasus yang banyak menyita perhatian nasional dan internasional adalah kasus pembunuhan terhadap Marsinah, seorang buruh perempuan, yang ditemukan tewas di areal persawahan dengan kondisi yang sangat mengenaskan, dalam posisi telanjang dan kelamin yang ditusuk kayu. Diduga sebelum dibunuh, Marsinah diperkosa beramai-ramai dan kemudian disiksa sampai mati. Kasus ini belum juga diselesaikan hingga sekarang.
Pada masa Soeharto ada juga perhatian untuk perempuan dalam mencapai kesetaraan, yaitu dengan dibentuknya Kementerian Muda Urusan Peranan Wanita pada Kabinet Pembangunan (1974). Dalam perkembangannya kementerian ini mengalami beberapa kali perubahan nama menjadi Menteri Negara Urusan peranan Wanita, dan terakhir menjadi Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan. Tetapi hal ini tidak didukung oleh pemimpin-pemimpin progresif dan cenderung pasif terhadap isu-isu perempuan yang sensitif. Pada skala Internasional, Indonesia juga mereupakan bagian dari Konvensi Penghapusan Segala bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW). Indonesia meratifikasi konvensi ini melalui UU No 8 Tahun 1984. (Darwin, 2005, hal 30-31). Permasalahan perempuan juga merupakan urusan negara dan sudah seharusnya kita secara bersama-sama bersatu untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial, termasuk juga didalamnya permasalahan perempuan seperti pemerkosaan, kekerasaan rumah tangga, aborsi tidak aman, trafiking, dan lain sebagainya.
Secara umum perempuan Indonesia sekarang sudah mengalami kemajuan, meskipun dibeberapa tingkatan masih mengalami ketimpangan gender, seperti contoh akses pendidikan dan pekerjaan di jaman sekarang ini sudah sangat terbuka bagi perempuan, tetapi penyakit bawaan bahwa perempuan itu lemah, lembut, dan penurut masih dipertahankan. Sangat disayangkan sekali di jaman dimana segalanya serba ada dan canggih, perempuan justru mengalami kemunduran pola pikir, malahan dieksploitasi, dijadikan alat komoditi, seperti halnya di iklan-iklan ataupun produk-produk yang sebenarnya tidak berhubungan dengan tubuh perempuan seperti iklan rokok, mobil, motor, ataupun alat-alat rumah tangga. Digambarkan juga produk-produk dapur yang selalu di isi oleh perempuan, membentuk pola pikir khalayak penikmat media bahwa dapur adalah pekerjaan perempuan. Ibrahim dan Suranto (1998), memberi gambaran yang jelas bagaimana obyektifikasi dan eksploitasi terjadi, yang secara karikaturis dilukiskan pasa kutipan ungkapan Ariel Heryanto: “Di negeri kami tubuh perempuan bukan milik perempuan. Dada dan paha sudah dijatahkan biro iklan dan wartawan. Vagina dan Rahim adalah lahan resmi proyek nasional KB” (Darwin, 2005:26).
Selain dari segi hukum dan pemerintahan, untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi perempuan tidak lepas dari peran masyarakat sipil. Salah satu bentuk organisasi masyarakat sipil adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Di Indonesia sendiri, berbagai LSM-LSM yang berkonsentrasi mengurusi permasalahan perempuan telah tumbuh subur di berbagai daerah di Indonesia. Tetapi dalam aktivitasnya, LSM tidak bekerja sendiri, tetapi juga harus bekerja sama dengan LSM-LSM lainnya yang memiliki perhatian yang sama, selain itu ada juga peran serta masyarakat dan juga dari pemerintahan. Jika sudah demikian maka akan terjadi kolaborasi yang sangat berarti bagi terciptanya suatu iklim sosial yang adil dan setara bagi laki-laki dan perempuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar