Ketty Lamia*
Berbicara sastra berarti berbicara mengenai kehidupan itu sendiri. Wellek dan Warren ( Theory of Literature, 1982) menyatakan bahwa sastra ‘menyajikan kehidupan’ dan ‘kehidupan’ sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial. Sastra itu setua ujaran, telah lama ada dan lahir dari kebutuhan manusia. Terdiri dari empat tipe besar; prosa (novel, cerita pendek), drama, puisi dan prosa non-fiksi , karya sastra telah menjadi bagian dari sejarah peradaban manusia. Diakui atau pun tidak karya-karya sastra telah merekam kembali perjalanan panjang umat manusia secara universal. Para penulis berhasil menampilkan kembali keaslian karakter manusia dan nilai-nilai sosial yang mengikat manusia itu sendiri. Seorang penulis Amerika, John Steinbeck, menyatakan bahwa sastrawan telah mencuri kekuatan keilahian yang dahulu dipikirkan manusia hanya menjadi milik dewa-dewa. Dapat kita bayangkan begitu besarnya peranan sastra baik pelaku sastra dan juga produk sastra dalam tatanan kehidupan sosial masyarakat.
Bangunan sosial masyarakat telah menempatkan sastra atau pun karya sastra dalam bagian yang tidak terpisahkan dari sebuah proses histori pembentukan pola pikir, ide dan nilai. Dapat kita lihat betapa perkembangan sastra tidak terlepas dari perkembangan sebuah masyarakat dan ide-ide dominan dalam masyarakat itu sendiri. Karya sastra dikatakan lebih lanjut oleh Wellek dan Warren sebagai salah satu institusi sosial. Berkaitan dengan analisis Marxisme mengenai kesusastraan juga menempatkan sastra sebagai bagian dari ‘superstruktur’ masyarakat .Maksud dari superstruktur adalah bentuk-bentuk tertentu kesadaran sosial baik yang bersifat politis, religius, etis, estetis dan sebagainya ( Terry Eagleton; Marxisme dan Kritik Sastra, 2002). Begitu pentingnya kedudukan sastra dalam proses pembentukan pola pikir masyarakat dapat kita lihat pada masa Renaissance dimana dalam pendidikan humaniora (studia humanitatis) menekankan kurikulum gramatika, retorika, sejarah, puisi dan etika sebagai alternatif dari logika, dialektika dan filsafat alam.
Karya-karya sastra terus mengalami perubahan seiring dengan perubahan realitas sosial disekitarnya. ‘Bentuk dan ‘isi’ juga dari sebuah periode ke periode lainnya mengalami pergeseran. Tema-tema dalam karya sastra mewakili sikap penulis terhadap sebuah realita sosial yang dihadapi oleh masyarakat dimana penulis tersebut hidup. Sebut saja persoalan-persoalan kemanusiaan seperti perbudakan, kolonialisme, rasisme, perang, kemiskinan, kekerasan terhadap perempuan, perebutan kekuasaan hingga kediktatoran menjadi tema-tema yang dominan dalam produk karya sastra. Mari kita lihat karya-karya Shakespeare yang diproduksi pada masa Elizabethan di Inggris. ‘Bentuk’ dari karya Shakespeare sebagian besar adalah naskah-naskah pementasan drama atau teater selain puisi (sonnet), perlu kita ingat pada masa itu pementasan-pementasan teater menjadi salah satu kebutuhan masyarakat menengah dan kaum bangsawan di Inggris. Isi dari karya-karya Shakespeare (tema) memperlihatkan kondisi kerajaan dan kaum bangsawan yang syarat dengan konflik perebutan kekuasaan, tragedi, begitu juga dengan semangat kebebasan individual dan semangat revolusi melawan absolutisme. Sebenarnya gagasan yang diangkat Shakespeare mengenai kebebasan individual tidak terlepas dari pengaruh Renaissance yang melanda Eropa. Dalam sebuah referensi, penulis menemukan bahwa Shakespeare dikomentari sebagai seorang penulis drama dengan semangat Renaissance. Semua semangat kebebasan dan individualisme dalam Renaissance selalu ditampilkan Shakespeare. Hal ini memperlihatkan betapa sebuah karya sastra tidak pernah terlepas dari sebuah proses perkembangan ide-ide dalam sebuah tatanan masyarakat dan juga bagaimana karya sastra memiliki fungsi sebagai salah satu alat pembentuk ide dan nilai dalam masyarakat.
. Lalu bagaimana dengan fenomena yang muncul saat ini ketika kita melihat betapa pesat perkembangan media baik cetak atau elektronik yang kemudian menjadi salah satu alat pembentuk ide dalam masyarakat? Porsi karya sastra dalam media cetak dan elektronik saat ini dapat dikatakan ‘cukup besar’ namun sayangnya porsi ini tidak sebanding dengan ukuran kualitas sebuah karya sastra itu sendiri, apalagi mengingat tanggung jawab sosial produk sastra. Coba kita amati tema-tema dalam sinetron-sinetron yang muncul di stasiun-stasiun TV, maka akan kita dapati eksplorasi berlebihan dari sebuah tema dengan alur yang tidak jelas bahkan terkesan dipaksakan. Tetapi mengingat nilai komersialisasi-nya maka rendahnya kualitas penulisan sebuah naskah bukanlah sebuah persoalan. Begitu juga dengan maraknya novel-novel yang terbit saat ini. Jarang kita menemukan sebuah novel yang berkualitas seperti karya-karya Pramoedya yang sarat dengan basis histori dan pesan-pesan sosialnya. Sangat sedikit karya sastra yang mampu merefleksikan kembali situasi sosial yang ada. Kebanyakan hanya menawarkan mimpi-mimpi kosong dan justru membawa audiens jauh dari realitas sosial dimana ia berada.
Lalu apa batasan kita sendiri mengenai sebuah realitas sosial? Apakah dapat kita katakan segala peristiwa yang terjadi dalam sebuah masyarakat adalah sebuah realitas? Atau hanya peristiwa-peristiwa tertentu yang mempengaruhi perilaku masyarakat pada umumnya saja yang kita sebut sebagai sebuah realita dalam masyarakat.
Disinilah tanggung jawab seorang penulis. Ia harus mampu memilah-milah realita seperti apa yang akan direfleksikan kembali dalam karyanya. Tetapi yang harus diingat karya sastra adalah cermin moral atau sosial dimana setiap orang yang menikmatinya dapat mengenali kembali dirinya atau pun masyarakat-nya. Lalu jika kita menawarkan cermin yang rusak atau pun buram maka apalah gunanya cermin itu.
*Pemerhati sastra
Volunteer pada yayasan
Pelita Kasih Manado.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar