Minggu, 22 Agustus 2010

Novel "Tete Koneng" Karya Giroth Wuntu

Tete Koneng, seorang yang tampan penuh wibawa, serta anggota masyarakat yang dihormati, yang kukenal sejak masa kanak-kanakku kurang lebih empat puluh tahun yang lampau, dan telah meninggal dunia beberapa tahun sesudah tanah air kita lepas dari penjajahan.

Ada beberapa catatan kecil yang ingin kusajikan pada generasi mendatang, tentang gerak langkah dan tingkah laku manusia unik ini, yang sekalipun ia merupakan pokok yang penuh pertentangan bagi sementara orang, namun ia tetaplah bagaikan sebongkah batu gunung, kalau saja ia belum dapat dijuluki bukit batu dan sekalian mercusuar dalam skala kota kami yang kecil Tondano, terutama penonjolannya pada saat sebagian rakyat Minahasa sedang timbul tenggelam dan linglung, diterpa gejolak perjuangan sekitar Proklamasi 1945 karena adanya Twapro dan Hoofden Bond-nya.

Tete Koneng Sebongkah Batu Gunung.

Orang-orang tua memanggilnya ’Koneng‘ saja, sedangkan yang lebih muda menegurnya dengan ’Oom‘ atau‚ Broer Koneng‘. Dan kami anak-anak biasa menyebutnya ‚Tete‘ atau ‚Opa Koneng‘ ataupun ‚Opo Koneng‘. Seorang tua yang berwibawa, cerdas, rendah hati dan dapat bergaul dengan siapapun saja.

Meskipun ia telah berusia sekitar tujuh puluh tahunan, tetapi dengan perawakannya yang tinggi semampai, berotot, tidak gemuk tetapi bukan pula kerempeng, dengan gerak geriknya yang gagah, roman muka yang tampan, mata yang menyorot tajam, dilengkapi dengan kumis yang dipilin meruncing keatas, salah-salah ia dikira oleh orang-orang muda, sebagai bapak pensiunan marsose atau perwira KNIL bagian Komando, yang biasa disebut, pasukan Baret Merah pimpinan Westerling.

Konon karena hari kelahiran Tete Koneng, bertepatan dengan ulang tahun Ratu Belanda Wilhelmina, maka ia lalu seakan-akan memperoleh hak untuk selain nama keluarga Tawaluyan dan nama kecil lainnya, dapat pula ditambahkan sebutan ‚Koneng‘, yang berarti raja. Karenanya ia lalu lebih dikenal oleh masyarakat dengan sebutan Koneng Tawaluyan.
Tete Koneng, bukan hanya dikenal dan disegani di kampung kami, tetapi dapat dikatakan sebagian besar penduduk di kota kami mengenalnya dengan baik karena luas pergaulannya. Tetapi terutama juga karena keunikannya.

Tete Koneng bukanlah manusia yang biasa-biasa saja. Tentunya dalam artian yang baik. Jelasnya ia bukan orang tua sembarangan. Sebagai manusia, tingkah laku dan cara-caranya, disana-sini wajar-wajar saja dan kalau ada hal-hal yang kurang dapat diterima oleh sementara orang, terutama tentu karena soal kekerasannya, ketegasannya, dengan suaranya yang sewaktu-waktu menggeledak disertai dengan mata yang melotot, kalau sedang terlibat dalam suatu perdebatan yang serius. Tetapi Tete Koneng tetaplah terpandang sebagai seorang bijaksana dan menonjol dalam berbagai bidang yang bermanfaat untuk masyarakat.

Tete Koneng ini, banyak membaca buku. Terutama buku-buku yang menulis dan menerangkan tentang segala sesuatu yang menyangkut soal hidup dan kehidupan masyarakat. Sebab itu ia banyak pengetahuan dan iapun banyak menyimpan tulisan-tulisan tentang kisah-kisah tempo dulu, terutama yang berkaitan dengan cerita kesukaannya yaitu perang perlawanan rakyat Minahasa terhadap Belanda, yang lazim dikenal dengan ‘Perang tondano’. Karena kebetulan pula, orang tua ini adalah salah satu dari buyut-buyut dotu Tawaluyan salah seorang dari mereka-mereka yang paling mencuat dari warisan waranei-waranei para pahlawan Tondano.

Karena adanya catatan-catatan tentang kepribadian yang baik dari Tete Koneng inilah, yang mengharuskan ia layak mendapat penilaian yang menonjol, seperti yang telah diuraikan di atas.
Di rumah Tete Koneng terpampang gambar-gambar dari orang-orang atau tokoh-tokoh yang dinilainya penting dan hebat, dari mana-mana saja. Baik mereka yang berasal dari dalam negeri, maupun yang dari luar Indonesia seperti, Soekarno, Hatta, Ratulangi, Thamrin, Tan Malaka, Syahrir, Hasanudin, Cut Nya’Dien, Walanda Maramis, Kartini, Sisinga Mangaraja, Pattimura, Lincoln, Lenin, Napoleon, Gandhi dan lain-lain yang kesemuanya itu diberinya berbingkai. Ia akan senang sekali, bila ada yang berminat secara sungguh-sungguh untuk mengetahui siapa-siapa saja gambar-gambar itu. Maka satu kuliah singkat akan segera diberikannya.

Pada suatu hari pernah terjadi suatu peristiwa di kantor hukum kedua, dimana emosi Tete Koneng kembali tidak dapat dikendalikannya lagi dalam hubungan dengan kelalaian sang hukum kedua pada tugasnya.

“Hukum-kedua apa kau…! Seorang penguasa atau pengemban tugas untuk kepentingan rakyat bukanlah pertama-tama dan terutama memamerkan kekuasaannya, melainkan yang paling diutamakan yaitu membuktikan kemampuan dalam melaksanakan tugas. Cakap,jujur, berani bertanggung jawab dan tidak hanya untuk menyenangkan atau semata-mata hanya menjadi budak atasan saja, lalu menyusahkan rakyat kecil seperti kami…….Hukum-kedua apa ngana, hukum-kedua gardus…….setang ngana!”.

“Sudahlah Oom Koneng”, demikian petugas kantor hukum-kedua cepat-cepat ingin menentramkan orang tua galak itu dalam suatu peristiwa, tatkala Tete Koneng datang ke kantor hukum-kedua dalam hubungan dengan masalah pelebaran jalan didepan rumahnya.

“Ah, tidak ……, itu hukum-kedua alat mati saja dia. Hanya sebagai boneka dalam tugasnya, dan dia sekalipun seorang Kristen, pastilah ia seorang yang munafik, buruk hati dan bodoh pula. Orang bagitu nyanda waar jadi ukung-kedua. Dan saya dapat pastikan juga, bahwa dia, namun seorang yang percaya dan taat pada injil, mungkin belum pernah atau memang ia tidak mau membaca dan mempelajari hikayat raja Solaiman.

Coba dia baca butul-butul bagaimana raja Solaiman pe hikayat…..berani, jujur, cerdas dan kalau memutuskan suatu perkara dia tidak memihak, artinya ia netral. Bukang rupa itu ukung-kadua biongo itu”.

“Ee….om Koneng basabarjo….ee, Om Koneng…, turaja Solaiman lei barangkali ada saribu dia pe’bini, oom Koneng”. Demikian seorang petugas yang mengenal betul pribadi orang tua itu setengah bergurau berbisik pada Tete Koneng.
„Eee, apa ngana bilang?“
“itu oom, tu raja Solaiman...daang? satu kawang dia pe bini….!
“Ah, Godverdomme...onbeschoft...caparuni ngana ...kita nyanda bicara itu...“.

Demikian keduanya sejenak tertawa terkekeh-kekeh seraya menuruni tangga kantor hukum-kedua, dimana Tete Koneng tidak lupa menyemprotkan teriakannya keras-keras karena kekesanlannya terhadap hukum-kedua.

Kalau dalam uraian di atas dikatakan bahwa Tete Koneng adalah manusia yang penuh dengan pertentangan dalam penilaian kita, itu adalah benar. Karena meskipun ia dikenal sebagai orang tua yang rendah hati dan sopan, dapat bergaul dengan siapa pun saja, tetapi janganlah diartikan bahwa dia mudah saja mendiamkan apalagi dengan membenarkan pikiran-pikiran yang menyeleweng atau gagasan-gagasan bodoh tidak berbobot. Terlebih lagi kalau segala pikiran dan pendapat yang ngawur tidak benar itu, sudah berwujud tindakan yang menyusahkan dan membohongi, menipu rakyat. Maka pada lesempatan yang beginilah, kita akan menyaksikan dan meyakini, bahwa benarlah kalau Tete Koneng ini, bagi yang mengenalnya, ia dianggap sebagai sebongkah batu gunung yang tidak mudah diremukkan.

Bagi Tete Koneng, dengan tidak memperdulikan apakah sesuatu permasalahan itu langsung menyangkut dirinya atau tidak, asal saja itu dianggapnya merugikan masyarakat, akan dilawannya betapapun akibatnya.

Dan tidak jarang memang Tete Koneng mengalami kesulitan karena cara dan tindak tanduknya itu. „Semua permasalahan dalam masyarakat, harus menjadi persoalan tiap orang. Kecuali kanak-kanak yang belum dapat mengemukakan pikirannya, orang-orang tua yang sudah pikun, atau mereka yang kurang waras“. Demikian pendapat Tete Koneng yang selalu dikemukakkannya pada setiap kesempatan bertukar pikiran didalam pergaulan atau perhimpunan dimana pun saja. Baik tentang soal-soal yang menyangkut agama, kegiatan sosial masyarakat, ataupun mengenai pemerintahan. Dan tentu saja Tete Koneng adalah jagoannya dalam bersoal jawab mengulas permasalahan, apalagi berpidato membakar semangat rakyat. Lawan-lawannya atau yang kurang setuju dengan perilaku Tete Koneng akan keok hilang nyali dibuatnya, tetapi yang mengenal benar perilaku Tete Koneng merasa asyik mendengarkannya.

„Orang yang suka memencilkan diri, tidak mau ikut berpikir berbicara dan berbuat sesuatu bersama masyarakat sekitarnya orang yang hanya tahu dirinya sendiri saja, atau keluarganya ataupun golongannya, mereka itulah yang biasanya menjadi biang keladi segala ketimpangan, ketidakadilan, dan kekacauan masyarakat. Orang-orang demikian tidak pernah tenang, dan selalu gelisah memikirkan segala keinginannya yang belum terpenuhi. Dengan tidak memperdulikan apakah nafsu serakahnya itu akan merugikan dan menyusahkan masyarakat banyak. Pada waktu malam mereka juga tidak dapat tidur nyenyak karena pada siang harinya mereka tidak atau belum memperoleh sesuatu keuntungan atau hasil dari orang-orang lain di sekitarnya, tidak perduli dengan akal dan tipu daya apapun saja. Mereka inilah manusia-manusia anak-anak Iblis yang akan menggiring kita ke neraka. Neraka dunia yang berwujud kekacauan masyarakat dan terutama neraka di akhirat sana, apabila kita tidak mampu membuka kedok dan menelanjangi mereka“. Demikian ujarnya.

Salah satu pegangan Tete Koneng yang amat kokoh, apabila menghadapi semua permasalahan, baik itu soal yang paling sepele sampai pada yang dapat berakhir di penjara, katanya: „Bagi manusia yang benar-benar ingin dan berani memperbaiki kepincangan dalam masyarakat, ialah pertama-tama mempelajari keadaan masyarakat itu, termasuk dan bahkan terutama dirinya sendiri, lalu mengambil tindakan. Dan apabila kita sudah mengayunkan langkah, maka patokan kita hanyalah dua: memberikan segala sesuatu yang kita miliki termasuk jiwa raga kita kepada masyarakat itu atau tidak memberikan sama sekali apapun kepada masyarakat itu, sebab katanya, „ mungkin saja pendapat atau kesimpulan masyarakat itu tidak benar dan akan mengakibatkan kesulitan bagi masyarakat itu.“

„E, maaf oom Koneng“, demikian seorang anak muda yang agaknya ingin mengajukan sesuatu pertanyaan pada Tete Koneng dalam suatu pertemuan, „Tetapi mengapa pada setiap persoalan, apakah itu soal kebudayaan, persoalan ekonomi, pokoknya membicarakan masalah apa saja, om Koneng selalu saja suka menghubungkannya dengan agama...?!
„Bagaimana....?“ Tete Koneng balik bertanya. „saudara dari golongan mana? Maksud saya agama saudara....?“
„Saya GMIM oom“
„Saudara bodoh barangkali. Pernahkah kau mendengar sekali saja, saya berbuat demikian? Berbicara tentang pemilihan hukum-tua pinontol sawang, atau masalah koperasi lalu menghubung-hubungkan dengan agama? Bahkan dengan persoalan uang dana untuk pembangunan gereja yang sudah tidak diketahui kemana perginya, saya tidak pernah sangkut-pautkan dengan agama. Yang saya selalu dan akan selamanya kaitkan dengan semua permasalahan kita manusia ialah Firman Tuhan dan bukan agama. Karena kita manusia ini, saudara dengan saya, bahkan segala isi dunia ini, berada karena Firman Tuhan. Kita bukan dijadikan atau dilahirkan oleh agama. Dan saudara harus tahu, betapa bedanya agama dan Firman Tuhan. Saudara mengerti itu? Agama itu dapat kita umpamakan sebagai jalan atau jalur untuk menuju kepada pelaksanaan Firman Tuhan. Adapun agama itu dapat saja saudara dustai bahkan saudara perdagangkan, tetapi Firman Tuhan itu tidak dapat diputar-balikkan. Bahkan bukan munafik. Sebagaimana agama itu dapat tumbuh karena kerja manusia, agama itu pula dapat hancur karena perbuatan manusia juga. Firman Tuhan tidak dapat berubah dahulu sekarang dan sampai selama-lamanya, tetapi agama seperti yang saudara saksikan sendiri....sekarang ini, sudah berapa ratus kalau belum beribu golongan agama di dunia ini. Ini yang di kalangan pengikut Kristus saja, yang kesemuanya membawa-bawa nama Tuhan dan para nabi. Dan makin meningkat jumlah golongan-golongan itu, kian bertambah pula keahlian mereka untuk saling melecehkan, saling mengolok dan menjelek-jelekkan, menghina dan memfitnah. Memanglah sudah seharusnya bagi setiap orang untuk percaya dan yakin seyakin-yakinnya tentang kebenaran agama yang dipeluknya, sebab bagaimana kalau orang tidak bulat keyakinannya terhadap agama yang dipeluknya, orang beragama bagaimana itu....? Tetapi akan lebih besar lagi kesalahan kita, dosa kita, kalau kita berani dan merasa berhak menuduh dalam pikiran terutama dalam hati kita, yang bahwasanya agama si A, dan si B itu salah, tidak sesuai dengan Firman Tuhan. Karena menurut pendapat saya, saudara, bahkan pada seorang pencuri, seorang pembunuh atau seorang sundal yang sedang berada di hadapan kita, kita tidak berhak, karena kita tidak ada kekuasaan sedikitpun untuk dengan membawa-bawa nama Tuhan menghukumnya sebagai seorang yang bersalah apalagi orang berdosa. Hanya Tuhanlah yang maha mengetahui salah benarnya seseorang. Hanya dia sajalah yang dapat menimbang besar kecilnya dosa-dosa kita manusia. Dan saya kira saudara, kesetiaan, ketaatan dan kepercayaan kita terhadap agama yang kita peluk itu, janganlah itu secara mutlak dapat kita samakan dengan keimanan kita kepada Tuhan....kira-kira bagaimana saudara....?“ Demikian Tete Koneng melayani seorang anak muda yang pada suatu pertemuan di pesta Permandian, agaknya ia ingin mencoba-coba Tete Koneng, „Dan saudara tahu......“ demikian Tete Koneng melanjutkan, „Kalau saja saya boleh menambahkan apa sebab saya selalu menghubung-hubungkan persoalan masyarakat dengan Injil, dengan Firman Tuhan, karena kenyataan membuktikan kian banyak saja manusia-manusia yang pandai, yang memanfaatkan bidang penginjilan sebagai lapangan pencarian untuk kepentingan duniawi dan telah lari atau menjauhi segala yang dimaksud oleh Injil atau Firman Tuhan itu sendiri.

Bahkan kian bertambah saja orang-orang yang suka memperalat atau menggunakan agama sebagai topeng untuk mencari bahkan mencuri kedudukan dan kesenangan hidup, yang dengan licik dan tidak ada rasa malu apalagi takut, menonjol-nonjolkan diri sebagai seorang yang taat beragama, setia dan patuh pada perintah Tuhan dan tentu saja mereka mahir pula dalam menghafal ayat-ayat kitab suci. Lalu sebagai akibat dari kekurang-pengertian kita tentang bedanya agama dan Firman Tuhan seperti yang telah saya jelaskan tadi, dan ketidak-mampuan kita untuk mengenal rupa dan tindak-tanduk manusia-manusia yang pada hakekatnya adalah tidak lain dari serigala berbulu domba yang berkeliaran di masyarakat itu, timbullah segala salah pengertian kericuhan dan kekacauan pada masyarakat. Baik itu hanya berupa pertengkaran antar golongan atau kelompok dalam suatu negeri, sampai pada berkobarnya perang-perang yang melanda dunia ini.....Entah sudah berapa menjadi korban. Dikorbankan oleh mereka yang dengan semangat untuk saling membunuh, dengan semboyan demi keadilan dan kemanusiaan, yang dengan tangan satu memegang kitab suci dan tangan lainnya memegang bedil. Lalu bagaimana pula peranan sementara rohaniawan, ulama dan pemuka-pemuka agama selanjutnya? Mereka begitu dingin dan tenang tak ubahnya seperti batu nisan yang berada disampingnya, mereka berdiri berkhotbah dan menyembayangi para korban perang iblis itu. Apakah itu bertentangan dengan Firman Tuhan? Ataukah karena memang dibenarkan oleh hukum agama? Siapakah atau pihak manakah dari mereka yang saling membunuh itu yang benar-benar menghayati dan melaksanakan Firman Tuhan? Harus kiranya kita sadari bahwa pada dasarnya, orang-orang yang kesana-kemari berteriak-teriak atas nama kebenaran dan Tuhan, sambil mengayun-ayunkan pedang dan semboyan lebih banyak musuh yang mati lebih baik, dengan tidak memperdulikan jiwa manusia, anak istri dan keluarga para korban itu, adalah tidak lain karena mereka tengah melaksanakan apa yang diinginkan dan diperintahkan oleh orang-orang mabuk kekuasaan, serakah, segelintir manusia yang sedang dirasuk kegilaan akan kesenangan dunia kesombongan dan bernaluri hewan.“

Tete Koneng seorang Pejuang.

Tete Koneng adalah seorang pejuang teladan. Dan karena pada jamannya Tete Koneng, siapa saja yang berani menentang kekuasaan Belanda langsung dicap Komunis, maka wajarlah kalau orang tua yang galak ini, mendapat julukan „Koneng Merah“, atau Koneng Komunis. Malahan bagi yang kurang mengenalnya ia memang dikira bekas buangan Digul atau Tanah Merah. Padahal Tete Koneng bukanlah seorang komunis penganut paham Marxisme-Leninisme apalagi seorang atheis. Orang tua yang sudah berambut putih ini, hanyalah seorang Nasionalis sejati, yang mendambakan kemerdekaan, bebas dari penjajahan dan karenanya ia sangat mengagumi Bung Karno dan Bung Hatta.....katanya; „Mereka itulah pemimpin-pemimpin bangsa kita yang sejati. Karena selain mereka berotak tajam, dapat melihat jauh kedepan, mereka juga berani masuk bui, dan tidak gentar menghadapi peluru yang setiap saat dapat membunuh mereka. Rupa dorang itu wajar dibilang pemimpin....jago dorang. Orang-orang muda seharusnya rajin membaca buku-buku yang berisi ajaran-ajaran Bung Karno. Saya ada menyimpan surat-surat kabar tua dari beberapa tahun yang lalu antaranya, Tjahaya Siang, Nationale Comentaren, Bintang Timur, Pertimbangan dan lain-lain yang berisi tulisan tentang Bung Karno, dan saya selalu mengajak pemuda-pemuda atau siapa saja supaya datang membacanya di rumah. Dan di rumah pun saya juga ada gambar-gambar dari jago-jago politik dan kemanusiaan di dunia ini seperti Soekarno, Gandhi, Lincoln dan lain-lain banyak lagi“. Demikian antara lain cuplikan-cuplikan dalam ucapannya apabila ia tengah membakar semangat anak-anak muda.

Beberapa surat kabar tua memang sering dibawa-bawa Tete Koneng jika diwaktu senggang dia berkesempatan berjalan-jalan atau mengunjungi warung atau tempat orang-orang yang sedang santai berkumpul-kumpul. Ataupun apabila ia diundang ke pesta hari jadi atau keramaian kampung. Dan dengan sendirinya Tete Koneng mulai mengarahkan obrolan yang tidak ada gunanya, ke pembicaraan tentang persoalan-persoalan yang bermanfaat bagi kehidupan masyarakat. Dengan bersemangat, seakan berpidato diatas mimbar, ia menjelaskan kepada siapa saja yang kurang mengerti uraiannya, tentang arti dari tulisan atau artikel yang mengandung ajakan dan dorongan untuk lebih-lebih menyadari tentang betapa indahnya negeri Indonesia ini dan betapa kayanya tanah air pusaka kita ini. Saudara harus tahu, khusus tentang Minahasa saja, apa pendapat seorang pujangga Belanda, yang menyesal sekali, karena buku itu sudah dirampok tentara Belanda Twapro waktu mereka menggeledah rumah saya. Dengarkan apa yang dikatakan oleh pujangga itu, „Sesungguhnya, Minahasa adalah salah satu dari tempat yang amat subur di bumi sebagai pemberian Tuhan. Saudara mengerti itu? Dan benarlah saudara-saudara kalau Indonesia ini disebut-sebut sebagai untaian permata Zamrud di Khatulistiwa. Betapa saja keuntungan Belanda selama ia menjajah Indonesia ini. Dan betapa akan lebih maju dan mulia tanah air kita ini apabila kita sendirilah yang mengatur dan membangunnya, bukankah begitu saudara.....?

„Benar sekali oom“, Demikian sambutan serentak dari beberapa orang pemuda.
„Makanya kita harus rajin membaca buku-buku, bertukar-tukar pikiran untuk menambah pengetahuan, terutama tentang tanah air dan bangsa kita Indonesia“.
„E, oom! Dulu oom pernah bacirita tentang pengakuan, ya katakanlah pujian seorang penulis bangsa Belanda juga tentang wanita Minahasa.....bagaimana itu oom? Ha....ha....ha....!!!“. Demikian seorang pemuda menyelahi.
„Kiapa.....? Tentang wanita....?
„Iyo, oom......“
„Ah, memang ngoni anak-anak muda, selalu suka bacirita soal perempuan“.
„Biasa kwa itu dia oom....“
„No, dengar bae-bae, Dia bilang tu tuang Graafland bilang, dia tulis pa dia pe buku yang katanya: „Demikian cantiknya wanita-wanita Minahasa dan karenanya mereka tidak perlu menepi, artinya dorang nyanda perlu ba sei, jika mereka berpapasan dengan wanita-wanita bangsa Eropa....so dengar itu?“
„Eh, ..hebat kote torang pe nona-nona“.
„So itu torang musti menghargai torang pe nona-nona. Jangan ngoni karena batamang kasana deng laki-laki, barangkali lapungu, papancuri atau bajingan dari mana, ngoni kase batunangan akang deng torang pe nona-nona........iyo to...? Dan saya anjurkan juga berulang-ulang pada saudara-saudara dan teman-teman yang lain supaya rajin membaca buku dan belajar juga politik“.

Om Koneng sangat menyesalkan orang-orang atau siapapun saja, terutama anak-anak muda yang tidak ada keinginan untuk belajar politik. Dikatakannya sudah sejak beberapa ratus tahun yang silam, dikala bendera merah putih masih terpendam didalam bumi, sudah ada orang-orang bangsa kita yang paham tentang politik dan berjuang melawan penjajah. Ini berarti opo-opo kita sudah ada pengertian dan kesadaran bahwa bangsa lain tidak berhak menjajah bangsa lain. Ingatlah kita tentang waranei-waranei, opo-opo kita dalam perang-perang yang berulang-ulang di Minawanua dan sekitarnya. Coba bayangkan semangat dan keberanian mereka.“ Demikian antara lain nasihat-nasihat Tete Koneng pada pemuda-pemuda menjelang dan sekitar
Proklamasi 1945.

Dalam pergolakan 14 Februari 1946 di Sulawesi Utara, dimana kota Tondano banyak memberikan peranannya, Tete Koneng ikut pula bergiat memberikan petunjuk-petunjuk terutama dalam menggalang persatuan dan kekuatan, menyadarkan rakyat yang kurang atau tidak mengerti dan kebingungan menentukan sikap. Dijelaskan oleh Tete Koneng berulang-ulang bahwa akan salah kita, kalau kita memarahi apalagi memusuhi sebagian rakyat, yang tidak atau belum dapat ikut dalam usaha-usaha mempergencar perjuangan, karena kesanggupan dan kemampuan kita manusia tidaklah sama. Baik itu kemampuan otaknya untuk mengerti keadaan yang sedang terjadi, boleh jadi karena dia kurang berani atau memang manusia penakut, dan ada pula yang terhalang karena gangguan ekonomi, rumah tangga dan lain-lain. Semua ini harus dipikirkan dan dibawa dalam pertimbangan karena jika tidak demikian, artinya kita kurang bijaksana dan tidak dapat menggalang persatuan dan kekuatan. Yang penting kita harus dapat memisahkan siapa kawan, dan siapa yang menentang perjuangan. Artinya dia penentang kemerdekaan, dan sekaligus menelanjangi mereka, penghasut-penghasut dan kaki tangan Belanda yang suka menakut-nakuti, melemah-lemahkan semangat rakyat supaya tidak melawan penjajah.

Dalam situasi demikian, tentu saja Tete Koneng tidak habis-habisnya mengumpat-umpat, menyumpahi orang-orang yang meremehkan atau melecehkan saja segala yang merupakan usaha dan gerakan yang ingin mengakhiri kekuasaan penjajah. Dan terhadap segolongan orang-orang yang terang-terangan ingin mempertahankan kekuasaan Belanda itu, Tete Koneng telah mengambil garis yang tegas pula. Dimana dan kapanpun orang-orang ini ditantangnya untuk bertukar pikiran, berdebat secara terbuka, bahkan sampai mengarah-arah keperkelahian, dimana Tete Koneng yang sudah dalam usia senja itu, sedikitpun tidak menunjukkan rada gentar.

„Dalam usia-ku yang setua ini, saya ingin buktikan bahwa mereka yang hingga saat ini masih menjadi kaki tangan Belanda, apapun yang mereka inginkan, akan saya layani. Memanglah orang-orang ini hanya wujudnya saja yang manusia tetapi mereka berprilaku tidak berbeda dengan binatang penjilat pantat penjajah. Sedari dahulu memang ada saja orang yang demikian. Kita ingat saja siapa itu Urbanus Mateus, Bekasi Pedro Ranty, Bastian Saway, Maondei dan lain-lainnya lagi yang menjadi mata-mata Belanda pada perang terakhir di Tondano ini. Mereka membantu Belanda dalam bentuk sebagai pesuruh, bahkan membantu juga dalam penyebaran penginjilan, tetapi sekaligus mereka juga menjadi mata-mata Belanda. Dan demikian pula dijaman Jepang. Ada saja manusia-manusia yang berbudi pekerti rendah, yang sepertinya belum mengenal peradaban, karena banyak menyusahkan masyarakat. Mereka menawarkan diri untuk bekerja pada Jepang, menajdi mata-mata atau mite-mite, mencari-cari kesalahan orang. Yang tidak bersalah difitnah, hanya karena menginginkan sepotong dua potong sabun atau selembar kain belacu. Ada pula yang kesukaannya dan keahliannya yaitu masak ke kampung-kampung membodohi dan membohongi wanita-wanita untuk dijadikan wanita-wanita penghibur atau istri dari orang-orang Jepang saja, orang-orang sampah masyarakat ini, sudah merasa senang dan gembira. Yang penting mereka sudah menjadi sahabat tentara Jepang. Dan dalam segala kegiatan yang terkutuk ini, mereka tidak memperdulikan siapa saja yang akan menjadi korban, apakah dia temannya atau saudaranya sekalipun. Dan tidak sedikit juga saudara-saudara kita yang dihabisi nyawanya dengan samurainya Jepang karena ulah jahat mereka. Dan coba pula kita perhatikan sekarang, dalam gerakan-gerakan rakyat yang memperjuangkan kemerdekaan ini, tidak sedikit bekas kaki tangan Jepang ini, yang....ya, terimakasihlah kalau mereka benar-benar sudah sadar dan merobah perilaku mereka, lalu sungguh-sungguh ingin bahu-membahu dalam perjuangan sekarang, tetapi kalau itu hanya merupakan siasat untuk menutupi dosa-dosanya dahulu, atau boleh jadi juga karena takut, dikiranya nanti kalau Belanda dapat kembali lalu menghukum mereka, karena pernah bekerja sama dengan Jepang. Jadi kita juga harus berhati-hati terhadap orang-orang semacam ini.
Dalam suatu rapat perayaan peringatan hari Nasional dua tahun sesudah kemerdekaan, Tete Koneng hampir saja mengacau keramaian itu, gara-gara ia mengganggu seorang pejabat pemerintah setempat yang sedang berpidato. Konon agaknya Tete Koneng yang sedari permulaan pidato pejabat itu ia terus mengikutinya dengan teliti, telah dapat menangkap beberapa kelemahan dalam uraian-uraian itu. Sang pembicara rupanya hanya menguraikan atau lebih tepat dikatakan menceritakan saja sejarah perjuangan bangsa Indonesia, sambil membubuhinya dengan sanjungan-sanjungan yang ngawur menjemukan, dan tidak memberikan tekanan khusus pada jerih payah, penderitaan, dan pengorbanan para pejuang, tidak juga tentang pentingnya bagaimana melanjutkan perjuangan dalam mengisi kemerdekaan dan yang tersulit yaitu mempertahankan kemerdekaan itu sendiri.

„Ei......berenti......ngana!“
Tiba-tiba saja orang dikejutkan dengan teriakan Tete Koneng.
„Nyanda butul ngana.......! Para pejuang yang telah gugur untuk kemerdekaan tidak membutuhkan sanjungan-sanjungan dari siapapun, juga dari kamu sendiri....tidak......tidak......! Mereka tidak menuntut pujian atau apapun, sebab pujian dan sanjungan-sanjungan bisa munafik, atau berpura-pura saudara. Yang mereka harapkan, dengan sungguh-sungguh dari kita ini, yang sedang mengeyam hasil perjuangan mereka itu, ialah dengan sungguh-sungguh melanjutkan perjuangan dalam bentuk mengisi kemerdekaan.......sebagai darma-bakti kita yang tinggal ini, dan sebagai kelanjutan dari usaha jerih payah mereka. Karena bagi seorang pengkhianat, mudah saja ia menyembunyikan dan menutup-nutupi kepengkhianatannya dengan seonggok kembang-kembang yang mahal ke makam para pahlawan itu, karena kebetulan dia berkemampuan. Dia juga boleh saja menjadi yang paling rajin dan setia menghadiri hari-hari seperti ini atau hari-hari raya nasional lainnya, tetapi untuk apa? Bukankah selain menutupi dosa-dosanya yang sekalian juga menonjolkan diri untuk cari muka, bukan? Yang sekarang terkenal dengan „pahlawan-pahlawan kesiangan“. Dengan Tete Koneng memang jagoan pidato, pembakar semangat rakyat, sebagian pengunjung perayaan itu telah datang mengerumuninya dan menambah semangat dan emosi orang tua itu.

„Saudara-saudara!“ Demikian Tete Koneng melanjutkan, „Saya tahu kami rakyat kecil ini, yang sudah dengan sekuat kemampuan kami ikut dalam perjuangan, bukanlah lalu merasa sebagai orang-orang yang berjasa dan istimewa, bukan saudara-saudara. Tetapi yang kami tuntut dari mereka yang pernah tidak memperdulikan, yang mencemohkan dan malahan menentang perjuangan kemerdekaan itu, supaya merobah tingkah laku dan jangan munafik......lalu mari tunjukkan bukti kesadaran dan kesungguh-sungguhan kita dalam usaha mengisi kemerdekaan ini. Dan ini berarti kita meneruskan, melanjutkan segala sesuatu yang belum sempat dirampungkan oleh para ksatria, para pejuang, yang telah mendahului kita“.

Demikian Tete Koneng yang baru berhenti setelah ia ditenangkan oleh beberapa teman dekatnya, antaranya seorang pensiunan guru tua sepupunya, yang mengenal betul watak Tete Koneng.
„Tidak ada gunanya mendengarkan badut itu........Landverrader....!“ Demikian Tete Koneng menggerutu sambil berjalan meninggalkan kerumunan orang banyak itu.

(Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar