Kamis, 19 Agustus 2010

Sastra, Globalisasi dan Glokalisasi?

Michael Londa


percakapan di sekitar bilangan pusat perbelanjaan di Manado:

"Sob, cape nih. Elo udah makan belon?"

"Wah.. gw sich tadi baru makan di rumah. Tapi, emangnya kenapa? elo laper ye? kalau gitu kita makan aja di Pizza Hut atau food court di atas"

"Hm...

nanti aja deh. Gak enak klu gw cuma makan sendiri?"

"Ah..gak ap-apa, ntar gw temen’in makan juga deh”

“Lha, katenye udah makan?”

“Akh..kalu gw sich makan lagi kagak ape-ape, elo t’re.."

Globalisasi dan Cengkeramannya

Saat ini, “Globalisasi” sedang melanda secara global. Definisi mendasar globalisasi adalah sebagai “proses penghapusan berbagai kendala yang menghalangi kinerja perdagangan dan model untuk menentang bola dunia.” Dengan kata lain, pengertian globalisasi dapat dikatakan sebagai era neoliberalism atau “liberalisme baru”, dimana terjadi upaya untuk menghapuskan atau melintasi segala batas-batas. Gejala yang ada di dalamnya adalah si cepat memangsa si lambat ataupun dapat dikatakan berlakunya survival of the fittest.

Globalisasi mencakup beragam aspek, seperti misalnya dalam pertanian, ilmu pengetahuan dan teknologi, sistem informasi dan komunikasi, industri, transportasi, dan juga aspek-aspek lainnya. Kebudayaan bangsa Indonesia pada saat ini pun menghadapi proses perubahan dengan adanya globalisasi, hal yang sangat sederhana dapat kita lihat sehari-hari adalah dalam penggunaan bahasa.

Fenomena penuturan bahasa seperti yang ada pada 'provokasi' awal dari tulisan inilah yang saat ini diperhadapkan di dalam masyarakat kita, suatu penuturan bahasa yang mencapai suatu titik dimana telah terjadi suatu proses asimilasi atau akulturasi, atau bahkan bisa dibilang (baca; ironisnya) peng-alienisasian bahasa daerah. Mulai ditinggalkannya penuturan bahasa Melayu-manado, terutama bahasa tana di daerah-daerah tertentu, oleh berbagai pengaruh budaya luar, sesuai dengan kehendak globalisasi. Apakah hal seperti ini yang di bilang 'modernisasi'? supaya jago?? atau supaya gaul lho'???

Seiring dengan globalisasi teknologi informasi semakin progress yang dengan agresifnya 'menyerang' keseluruh penjuru dunia, maka benturan atau gesekan-gesekan antara budaya lokal dengan budaya luar semakin intensif berlaku saat ini.

Sastra Senjata

Hal yang sangat menarik bila kita menilik benturan balik dari suatu era 'globalisasi' yang mana memasok suatu komoditi yang mempunyai kekuatan kapital yang sangat besar untuk diterima ke seluruh penjuru dunia, kemudian menimbulkan kesadaran pada beberapa kalangan bak butir-butir salju dengan 'keasliannya' yang berkumpul kemudian bergulir menuruni lereng dikarenakan terusik oleh permasalahan orisinalitas dan identitasnya.

Sebenarnya, aktivitas sastra-lah yang mempunyai daya tahan terhadap egalitarianisme mekanis, suatu dominasi mayoritas atas minoritas. Tidak diragukan lagi bahwa di bidang inilah jaminan akan ruang gerak yang lebih luas bagi pemikiran dan imajinasi, bagi bentuk dan isi, merupakan sesuatu yang sangat esensial, demikian pemikiran dari salah satu tokoh revolusioner masa lalu. Pemikiran ini meyakinkan bahwa banyak hal yang tidak terdapat dalam buku-buku referensi ilmu pengetahuan, tapi dapat kita temukan dalam suatu bentuk novel, puisi, atau karya sastra lainnya. Ini karena seni dapat mencerminkan realitas sosial, dan harus menggambarkan ciri-cirinya yang khas dalam karya tersebut yang dihasilkan.

Pada beberapa waktu lalu terjadi suatu euphoria di kalangan sastrawan lokal di Manado, -tempat penulis berdomisili dalam kurun waktu ini, untuk membuahkan karya yang menggunakan bahasa daerah. Baik itu puisi, cerpen, ataupun karya sastra yang lainnya (Trilogi puisi bahasa Manado –999, 777, 99; Demikian Sabda Mesiah, Cinco,dan juga yang akan terbit berikut ini He..leh) ditulis dengan rangkaian bahasa melayu- manado (namun, belum ada yang benar-benar menghasilkan suatu karya sastra yang menggunakan bahasa tana seperti, Tontemboan, Tonsea, atau yang lainnya ). Karya-karya ini awalnya beredar hanya pada kalangan terbatas namun kemudian sekarang telah memasuki salah satu toko buku besar yang mempunyai jaringan nasional.

Fenomena semaraknya karya-karya sastra berbahasa daerah, menurut salah satu sastrawan lokal Manado, merupakan salah satu bentuk perlawanan yang menentang globalisasi.

Namun, bila kita menarik garis sejarah jauh ke belakang, terungkap beberapa fakta sejarah yang membuktikan bahwa para kaum muda dan intelektual-intelektual lokal Sulawesi Utara (khususnya Minahasa) di masa 1950an pun telah berusaha menggali dan memperdebatkan permasalahan identitas ini (Wongken Werun). Lalu, mengapa tenggelam dan kemudian timbul lagi di saat ini?

Namun, di era globalisasi ini justru semakin menjalar fragmentasi-fragmentasi ke-lokal-annya, demikian pendapat tokoh revolusioner di Meksiko El Sub’.

Dan, apakah fenomena gerakan budaya yang terjadi belakangan ini dapat di evaluasi untuk menjaga agar tetap konsisten di dalam rel-nya untuk melakukan suatu perlawanan budaya untuk melakukan perubahan ataukah akan termakan atau mengikuti arus kapitalisme? Kemudian, untuk dapat menemukan suatu bentuk yang dapat melakukan perlawanan dari suatu proses dehumanisasi, apakah yang harus dilakukan? Lalu, apakah fenomena ini merupakan bentuk perlawanan budaya di daerah atau hanya merupakan suatu bentuk dari penetrasi kapitalisme yang mencoba untuk mengeksploitasi nilai-nilai lokal demi kepentingan modal?

Kemudian, bagaimana dengan peranan pemerintahan setempat, yang mencanangkan program Manado menuju Kota Pariwisata di tahun 2010, apakah karya-karya sastra lokal, baik dalam bentuk tulisan ataupun performance, dapat didukung dan dijadikan suatu interest object of tourism? Dan juga, infrastruktur dan suprastruktur yang akan dibangun apakah merupakan “caplokan” dari budaya luar ataukah akan digali potensi nilai-nilai lokal untuk diperdayai – eh, maksudnya …diberdayakan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar