Sabtu, 14 Agustus 2010

Sastra Dan Kontroversi Gender

Prof. Dr. Gretha Liwoso Carle**


Latar Belakang

Pengamatan terhadap wacana sastra tradisional ataupun sastra modern Minahasa berkaitan dengan transformasi ideologi figur wanita Minahasa, yang berasosiasi ke dalam tiga variasi: (1) figur wanita Minahasa sesuai dengan ideologi wanita itu sendiri; (2) figur wanita Minahasa yang direkayasa berdasarkan ideologi pengarang; (3) figur wanita Minahasa yang direkayasa berdasarkan ideologi masyarakat.

Menyangkut kepengarangan, ada tendensi bahwa ideologi tentang wanita dari dua kubu (gender) yang berbeda akan menghasilkan konsepsi yang berbeda pula.


Dasar Pemikiran

Mengaitkan ideologi dan wacana, berarti melibatkan gagasan-gagasan yang tidak dapat ditelusuri hanya melalui satu disiplin ilmu. Keduanya membutuhkan analisis secara multidisipliner. Namun, di dalam artikel singkat ini pembicaraan hanya akan diarahkan pada keterkaitan sastra, wacana, dan ideologi, tanpa mengabaikan konteks yang bermuatan sistem nilai di dalam masyarakat Minahasa. Karena justru, konteks dan sistem nilai masyarakat memegang peran penting di dalam konstruksi ideologi, “[...] they are the benchmark of social and cultural evaluation” (Van Dijk, 1998).


Wacana Sastra dan Figur Ideologis

Berbicara mengenai figur ideologis yang ditransformasikan ke dalam karya sastra, secara simultan perlu diikuti dengan pemahaman terhadap konsep implisit reader yakni tipe pembaca yang dikonstruksikan pengarang ke dalam karya sastra, yang juga dianalogikan dengan “implisit character”.

Di dalam wacana sastra modern, seorang pengarang memiliki kecenderungan menuangkan ideologinya mengenai suatu objek dengan tujuan tertentu, dan sekaligus menyampaikan ideologi masyarakat yang tidak terlepas kaitannya dengan sistem nilai budaya yang ada di dalam masyarakat itu sendiri.

Pada tahun 20-30 an muncul sastra modern karya pengarang Minahasa, Dajoh, Hersevien Taulu, dan Supit. Ketiga pengarang pria ini merefleksikan wanita idola Minahasa sebagai figur. Karya-karya ini dikategorikan sebagai sastra modern yang bernuansa tradisional, terutama karena tipe wanita ideologis yang direfleksikan ke dalam sejumlah karya tersebut dapat merupakan tipe wanita yang didasarkan pada ideologi masyarakat dan pengarang sendiri dari sudut pandang pria. Sebaliknya, pada akhir tahun 60-an dan awal 70-an muncul pengarang wanita Minahasa, Marianne Katoppo yang pernah meraih hadiah Dewan Kesenian Jakarta (1975), sering menjadikan tokoh wanita Minahasa sebagai figur, antara lain: Raumanen dalam “Raumanen” (1977); Pingkan dalam “Terbangnya Punai”(1978); Swasti dalam “Anggrek Tak Pernah Berdusta”(1979); Anitra dalam “Dunia Tak Bermusim” (1984). Di dalam sejumlah karya Marianne tampak perbedaan yang jelas dengan tokoh-tokoh pengarang sebelumnya sebagai generasi lebih tua. Perbedaannya terutama terletak pada tokoh ideologis yang diciptakan Marianne, yakni tokoh wanita sesuai dengan ideologi wanita itu sendiri. Memang agak mengejutkan dengan semboyan yang pernah dilontarkan Marianne :”Saya ingin melakukan perlawanan budaya”. Dalam hal ini, bukan berarti Marianne mengabaikan budaya. Menurut Marianne: “Sebaiknya manusia tumbuh dan berkembang seperti adanya...”(1982).Hal ini dapat dibuktikan juga melalui tokoh Pingkan (“Terbangnya Punai”,1978) ciptaan Marianne, yang lebih menjatuhkan pilihan pada budaya Minahasa yang dianggap memberikan suatu kepastian terhadap seorang wanita.


Kontrovrsi Kepengarangan Wanita Versus Pria?

Mengapa kepengarangan wanita dan pria perlu diperdebatkan? Terutama karena ada anggapan bahwa ada kontroversi penciptaan karya sastra dari dua jenis kelamin yang berbeda yang membawa nuansa yang berbeda karena dilandasi ideologi yang berbeda. To write as men write is the aim and besetting sin of women; to write as women is the real task they have to perform", demikian pendapat Henry Lewes seorang kritikus sastra Inggris dalam “The Lady Novelist”.

Sastrawan Indonesia, Djoko Damono, memberikan tanggapan dengan nada yang sama, seorang wanita mengarang tentang wanita:[…] tokoh-tokoh perempuan yang diciptakan pengarang perempuan tampak lebih merupakan “manusia perempuan” dan bukan sekadar “konsep” mengenai bagaimana seharusnya menjadi perempuan (Djayanegara, 2000: xii). Dengan demikian, baik Lewes maupun Damono lebih pada argumentasi, bahwa wanita lebih tepat mengungkapkan mengenai wanita sesungguhnya.

Kalau ditinjau dari sudut kepengarangan tampak kecenderungan sebagaimana yang dikemukakan Djoko Damono, mewakili apa yang telah dilakukan Marianne. Memang harus diakui, di dalam “Raumanen”, konsep melawan keampuhan adat yang dilakukan tokoh utama melalui cara yang fatal, dengan bunuh diri. Namun, kalau disimak lebih jauh lagi, di dalam pribadi Marianne ada prinsip ketidakberterimaan terhadap sikap hidup masyarakat, apakah di Asia atau pun di Luar Negeri (Eropa, Korea, Jepang> setting novel), yang dianggap jauh dari aturan-aturan yang tidak dapat disepakati berdasarkan hati nurani seorang wanita. Berdasarkan sejumlah karya yang ditulis Marianne, dapat dikatakan Marianne telah menggunakan wacana sastra untuk mengecam adat. Cara ini termasuk kritik sosial atau kritik politik yang juga disepakati penulis pria, antara lain, Mangun Wijaya, Jassin, dan Asrul Sani, yang menggariskan bahwa yang esensial dalam kritik sosial atau politik, bukan pengabdian terhadap suatu isme, tetapi pada ‘kemanusiaan’ atau sebagaimana juga Pramoedya, yang paling utama pemberian nilai terhadap’harga manusia’.

Dapat dikatakan, apa yang dilakukan Marianne cenderung pada pendirian melawan ideologi pendominasian kaum wanita, dan bahkan pertimbangan harkat dan hak wanita sebagai makhluk hidup yang tidak harus dikekang karena batasan ideologi masyarakat. Di dalam karya-karyanya Marianne secara eksplisit mempertanyakan berbagai persoalan yang menimpa wanita, menyangkut kebebasan versus keterikatan, kebebasan versus religiositas, kebahagiaan versus pengorbanan, dan dilema wanita versus pria, bahkan arti kekeluargaan di tengah kekerasan adat dan ideologi masyarakat.


Penutup

Walaupun pria cenderung memberikan warna tokoh wanita di dalam karyanya sesuai dengan ideologi pengarang dan masyarakat, tetapi tidak dapat diabaikan ada juga pengakuan dari pihak pria bahwa wanitalah yang lebih mengerti tentang wanita bukan sebagai konsep tentang wanita tetapi bagaimana wanita sesungguhnya.


Hamburg, Awal Agustus 2006



**Dosen Fakultas sastra Universitas Sam Ratulangi Manado, guest lecturer Departement Asien Africa Institute, University of Hamburg, Germany

1 komentar:

  1. Makase so muat akang ini artikel singkat. Saya sendiri lupa bahwa pernah menulis.

    Semoga forum ini sebagai wadah tetap berjaya.

    Gretha Liwoso Carle

    BalasHapus