Jumat, 06 Agustus 2010

Karema

Cicilia Oday



MATA Wanus sebulat kelereng. Mata itu selalu memandang penuh damba pada Evita. Adik perempuanku yang berumur tiga tahun. Kadang-kadang kuijinkan Wanus menggendong Evita. Hanya bila Ibu tak melihat. Si bocah wanus dapat mengancam keselamatan Evita. Walau alasan Ibuku sungguh masuk akal, sesekali aku berpihak pada Wanus. Wanus memang ceroboh, tetapi ia sangat menyayangi Evita seperti adiknya sendiri. Tak hanya Wanus, ketiga kakak lelaki Wanus pun menyayangi Evita. Berganti-ganti mereka memeluk adik perempuanku. Mencium, mencubit, menggelitik, bermain-main dengan Evita. Kala adikku menanjak lima tahun, mereka sudi menjadi kuda-kudaan untuk Evita. Jemari adikku yang mungil menjambak rambut mereka. Kuku-kukunya yang tumpul mencakar wajah mereka. Dan keempat anak lelaki tetangga kami itu tetap kembali keesokan hari untuk bercengkerema dengan Evita. Di antara mereka, Wanuslah sahabatku yang paling dekat. Kebetulan kami sebaya dan satu kelas. Sekali waktu kutanyakan kepadanya, mengapa Ibunya tak membikin adik bayi perempuan, mengingat betapa kasihnya mereka terhadap adikku. Mata Wanus sertamerta membeliak.

“Kami kan Pinontoan!” tangannya hampir-hampir menabok kepalaku. Seolah aku begitu bodoh karena berlontar pertanyaan itu. Lantas kenapa bila margamu Pinontoan? Wanus sendiri tak dapat menjelaskan. Ia mengetahui saja bahwa garis keturunan keluarga Pinontoan hanya menghasilkan anak lelaki. Tak pernah kejadian seorang lelaki yang menyandang marga Pinontoan, melahirkan keturunan perempuan. Jadi, jangan berharap mendengarkan gelak tawa merdu putri-putri cantik nan manis di dalam rumah tangga bahagia bersama seorang suami bermarga Pinontoan. Ini tak adil, kataku.

“Iya, tapi memangnya aku bisa apa?”
Kenapa kalian tidak mencari adik perempuan di luar saja?
“Papa tidak mengijinkan. Katanya, keluarga Pinontoan harus selalu membanggakan keturunan laki-laki, alias diri kami sendiri.”

Dengan maksud bercanda kubilang, aku takkan mengijinkan Evita kawin dengan salah satu di antara mereka karena aku mendamba menimang keponakan perempuan.

Ketika itu aku masih bocah kelas lima. Badai penasaran tak henti melanda kepala. Suatu malam kutanyakan kepada ayah perihal keganjilan yang terjadi di keluarga Wanus. Bukan semata terjadi di keluarga Wanus, kata Ayahku, melainkan di seluruh keluarga Pinontoan yang tersebar di Sulawesi Utara. Kata Ibu, fenomena itu adalah baik; sepanjang sejarah keluarga Pinontoan menjadi penyeimbang membludaknya populasi perempuan di negara ini. Menurutku ayah belum menjawab pertanyaanku. Kata ayah, aku tak perlu mempertanyaankan sesuatu hal yang wajar. Entahkah apa yang dimaksud Ayahku dengan wajar. Kenyataan Ibuku yang digauli lelaki bermarga Supit dapat melahirkan anak perempuan sewaktu-waktu, sedang tanta Nelma takkan pernah bisa sampai kapanpun, tentulah adalah sebuah anomali. Mereka kan Pinontoan! Ah, sebuah pembelaan yang dangkal. Dan mereka berasal dari gunung lokon! Pernyataan ini barulah sekali kudengar terlontar dari mulut Ayah. Cerita mulai jadi menarik. Tahukah kau, Nando, kata lokon dalam bahasa Tombulu kuno, mengandung arti, ‘besar’, ‘yang pertama’, ‘atas’, dan juga ‘penis’. Penis! Aku terbahak. Kukira, sampai di situ pikiranku dapat menerima mengapa keluarga Pinontoan yang berasal dari gunung Lokon tak bisa memproduksi keturunan perempuan. Ayah menyela. Jangan gunakan kata produksi, katanya. Keganjilan ini sama sekali tak ada hubungan dengan fenomena biologis tubuh manusia. Keluarga Pinontoan hanya menurunkan jenis lelaki ke dunia karena mereka memang ditakdirkan seperti itu! Ayah mengaum. Aku merinding. Ayahku berlebihan. Sejak saat itu aku mulai gencar meledek Wanus. Kupanggil dirinya lokon. Wanus yang tak mengerti menerima saja kupanggil dengan sebutan apapun. Sekali waktu Pak Elfrits mendengar caraku memanggil putranya. Matanya menghunjamku. Beliau memang memiliki sorot mata elang. Sejak hari itu aku berhenti meledeki Wanus. Seiring usiaku bertambah aku berhenti mempermasalahan fenomena maskulinitas yang merajalela dalam keluarga Wanus dan keluarga Pinontoan manapun. Warga kampung Kali dari generasi setingkat orangtuaku juga tak pernah menganggap apa yang terjadi pada keluarga-keluarga Pinontoan sebagai keanehan.

Selulus SD, Opa Jhonny mengajakku tinggal bersamanya di Manado. Biaya sekolahku ditanggung beliau. Ayah dan Ibu hanya perlu membiayai sekolah Evita. Hampir setiap akhir pekan aku kembali ke kampung halaman. Pada salah satu kesempatan pulang kampung, kulihat Wanus memeluk seorang bayi perempuan di teras rumah mereka. Nus, anak siapa itu? Adikku dong! Aku memandang seraut wajah mungil bayi perempuan gembil itu. Dadaku tersengat. Tenggorokan tercekat. Sejenak kuyakin aku ditipu oleh sepasang mataku sendiri. Anak perempuan pertama dan satu-satunya dalam garis keturunan Pinontoan adalah titisan malaikat!

Belakangan tahulah aku bahwa aku adalah orang terakhir yang mengalami kegemparan ini. Karema, nama anak perempuan separuh malaikat itu. Untuk menyandangkan nama ini, seluruh keluarga besar Pinontoan perlu berembuk. Ah, Karema tak saja menjadi putri Pak Elfrits dan Bu Yeske, melainkan putri seluruh keluarga besar Pinontoan. Putri pertama dan satu-satunya! Nama pertama yang disodorkan adalah Lumimu’ut. Semua orang percaya betapa anak perempuan rupawan itu adalah inkarnasi dari Lumimuut, nenek moyang mitologis tou Minahasa. Tetapi dasar anak-anak muda; keempat kakak si bayi dan para sepupu lelaki mengejek nama Lumimu’ut. Nama yang aneh dan tidak sesuai dengan orangnya. Para dotu menghardik. Hus, jangan menghina nama nenek moyang sukumu sendiri!

Pertimbangan kedua adalah Ambilingan. Tidak, tidak. Pak Elfirt serta merta menolak. “Nasib perempuan itu tragis. Jangan sampai putri saya juga berakhir seperti dia.” Nama Karema belakangan terlontar dari Bu Ema, istri Pak Kepala Desa. Nyaris alternatif ini tak digubris karena dua alasan. Pertama, yang memberi nama bukan orang dalam keluarga. Kedua, nama Karema itu sendiri bermakna, Perempuan atau Ibu tua yang setia mendampingi Lumimu’ut.

“Perempuan sekecil ini sudah menyandang nama dengan makna begitu berat.” Pak Elfrits sangsi.
“Dia takkan selama-lamanya kecil, Pa.” kata Tanta Yeske.

Kali ini pertentangan semata berasal dari Pak Elfrits. Para kaum muda dan kaum tua Pinontoan sepakat dengan nama Karema. Atau Rema, nama sapaannya. Seperti Rima Melati, nama populer seorang aktris senior bernama lengkap Leintje Tambajong. Pak Elfrits menghela napas, bersedia meleburkan pendiriannya dengan nama indah itu: Karema. Nama yang menciptakan geletar lembut di ujung lidah. Bergaung merdu di liang telinga. Meresap dan mengendap begitu saja di lubuk dada. Karema. Siapapun cukup tahu diri untuk tak sembarangan menyebut namanya. Ia tumbuh menjadi kembang desa. Dan diam-diam dikagumi oleh seluruh pemuda. Adapun sosok Karema merupakan kombinasi sempurna dua bangsa yang memiliki hubungan historis dengan negara ini. Dari jauh ia tampak serupa boneka porselen cina. Dari dekat wajahnya serupa Barbie bermata cokelat karamel. Bibirnya merah jambu. Kala jengah, kepanasan atau kepedasan, pipinya akan bersemburat sewarna bibirnya. Bagi yang baru mengalami pengalaman pertama bersua Karema, sulit menebak latarbelakang kesukuannya. Tak banyak yang mengira dirinya adalah peranakan Belanda. Lebih kerap orang mendugai dirinya Tiong Hoa. Dugaan kedua ini beroleh keyakinan dari para dotu yang memercayai Lumimu’ut sebagai putri seorang raja Cina yang diusir oleh sang Ayah karena hamil dengan seorang lelaki kalangan jelata. Lu Min Tang, nama lelaki jelata itu, yang kemudian berganti nama menjadi Su Mi Lang. Adapun Karema, si perempuan tua, adalah seorang abdi kerajaan yang mendampingi Lumimu’ut selama masa pembuangan itu. Lahirlah Toar, putra Lumimu’ut. Tanah Malesung yang luas membentang dengan kekayaan alam melimpah hanya dihuni oleh ketiga manusia. Toar tumbuh menjadi jejaka dewasa dan jatuh cinta pada sang Ibu. Karema memberi mereka masing-masing sebatang tongkat. Kelilingilah tanah Malesung dengan kedua tongkat itu, titah Karema, bila tiada seorang pun wewene dan tatua yang tertemu, maka kalian boleh menikahi.

Lumimuut bertolak menuju Barat. Toar menuju Timur. Sekian waktu berlalu dan bertemulah mereka kembali. Tiada seorang pun perempuan dan lelaki lain di tanah Malesung selain merekalah saja. Tongkat Toar bertambah lebih panjang daripada tongkat sang Ibu. Perbedaan ukuran panjang tu’is yang mereka miliki akhirnya menafikan status Toar sebagai anak Lumimuut. Karema lantas meneguhkan keduanya sebagai suami istri. Beranak pinaklah mereka hingga melahirkan sebuah suku bangsa bernama Minahasa. Dan kini, tepat di sebelah rumah kami, satu dari tokoh mitologis itu hadir kembali sebagai sosok perempuan muda bernama Karema.

Sukar menepis Karema dari ingatan, bahkan bila kau cukup beruntung dapat memandanginya setiap hari. Karema memang tak bosan dipandangi. Entah dekat entah jauh, hati ini mudah saja terenyuh. Sungguh, aku tak sedang melebih-lebihkan. Diriku yang cenderung sukar terkagum-kagum oleh keindahan fisik yang semu, tidaklah sedang membual. Sebanyak pemuda yang mengaguminya, sebanyak itu pula pemudi yang diam-diam mencemburuinya. Cemburu sangatlah manusiawi, bukan? Aku bersyukur terlahir sebagai lelaki yang hanya dapat mangagumi dan tak perlu terintimidasi oleh seorang Karema. Kepopuleran Karema menjalari seluruh usia. Pihak keluarga telah mengantisipasi kemungkinan ini. Sehari setelah Karema lahir, ari-arinya ditanam tak jauh dari Watu Pinawetengan. Bayi Karema dilindungi oleh arwah-arwah para dotu yang pernah mendiami tanah Malesung, terutama arwah nenek moyang Pinontoan yang menghuni gunung Lokon. Santet manapun kebal mengenai dirinya.

Kuncup bunga merekah jadi kembang. Berduyun-duyung kumbang datang menyambang dari segala lapisan umur dan latarbelakang. Dua orang di antaranya didaulat sebagai kandidat terkuat. Seorang pemuda lulusan teologia dan duda pengusaha beranak satu dari Ternate. Si duda mendengar fenomena tentang nona Minahasa titisan Lumimu’ut dan penasaran ingin mencoba peruntungannya di Sulut. Karema menepis kumbang-kumbang itu. Sekali waktu kulihat dirinya meringkuk di antara gerumbul bonsai yang membatasi halaman rumah kami. Kenapa Rema? Aku bertanya. Mereka semua menjijikan! Katanya, semua lelaki menjijikan. Aku tersengat. Ah, maaf, Nando. Rema beranjak dan menggapai tanganku. Katanya, aku dan keempat kakaknya adalah sebuah pengecualian. Semalaman aku tak membasuh tanganku yang masih menyisakan harum bunga dari telapak tangan Karema.

Dan hari itu tibalah. Hari ketika sebuah Kijang berpelat merah parkir di depan rumah tetangga kami. Katanya, si pemuda adalah mantan Nyong Sulut. Belakangan terpilih menjadi anggota dewan tingkat provinsi. Dan Karema jatuh hati padanya. Ventje Rumengan, nama si lelaki beruntung itu. Tunggu apa lagi, seluruh warga Kali menunggu pesta akbar pernikahan kedua sejoli. Tetapi Pak Elfrit menyeringai sinis, jangan harap! Belakangan kepadaku Wanus memberitahukan alasan pertentangan keluarga besar Pinontoan.

Pinontoan dan Rumengan adalah kakak beradik yang kelak saling bermusuhan. Ini adalah legenda tentang kompetisi dan perpecahan:

Pinonto’an dari Gunung Lokon jatuh cinta pada Ambilingan, putri dari Soputan dan Karaanan. Ambilingan dan orangtuanya menyetujui cinta ini. Tetapi pada waktu yang sama Rumengan, saudaranya, juga jatuh cinta pada Ambilingan dan mengusulkan suatu harta kawin yang lebih tinggi sehingga baik orangtua maupun putrinya berada dalam posisi yang sulit. Kedua lelaki ini setuju untuk menyelesaikan masalah ini dengan berperang. Pinonto’an melemparkan bebatuan laut dari arah barat ke Rumengan di Gunung Mahawu. Lalu Rumengan memanggil naga-naga yang kuat untuk membantu menghancurkan Gunung Lokon, rumah dari Pinonto’an. Pada hari yang ke sepuluh bebatuan itu menghancurkan puncak gunung Mahawu dan membuat tiga lubang di tanahnya. Tetapi Rumengan belum kalah; cintanya bagi Ambilinga terlalu kuat. Naga-naganya lalu memotong separuh dari Gunung Lokon, tetapi tak seorang pun yang menang dan perkelahian itu berlanjut.

Lalu muncullah Meiseper sebagai seorang mediator untuk membuat perdamaian. Ambilingan dipotong menjadi dua bagian. Pinonto’an mendapat bagian atas badannya, dan dia menggabungkannya dengan batu dan memberinya nama Ambingan. Rumengan mendapat bagian bawah tubuh itu dan memadukannya dengan bagian depan sapi hutan dan memberinya nama Katiwiei.*

Ventje menawarkan mas kawin dengan jumlah mencengangkan. “Lihat, kelakuannya seperti nenek moyangnya saja. Mereka bersedia mengeluarkan jumlah berapapun untuk merampas sumber kebahagiaan kami,” kata Pak Elfrits. Kata Rema, siapa tahu, Ventje juga bisa menjadi sumber kebahagiaannya. Tangan sang ayah hampir hendak menampar mulut yang lancang berkata. Wanus berjanji, bila saat itu tangan ayahnya sampai menggampar wajah sang adik, mereka berempat ditambah para sepupu akan berkomplot membekuk sang ayah. Ventje melangkah keluar ambang pintu rumah keluarga Pinontoan, untuk pertama dan terakhir kali. Rema bermuram durja, berhari-hari. Suatu malam kupergoki dirinya merokok di bawah pohon mangga belakang rumah. Rema menawariku sebatang. Marlboro. Aku biasa Dji Sam Soe saja. Demi menghargainya, kuterima rokok itu. Uhuk! Aku terbatuk. Busyet, aromanya kuat sekali. Rema menyeringai, dan berdeguk. Kepalanya menunduk. Cairan amis kuning berbusa tumpah dari mulutnya, mengenai pangkuanku. Busyet.

Setahun cukup sebagai jeda. Setahun tanpa seekor kumbang pun. Tepat empat tahun Rema menyelesaikan kuliah dan ikut tes calon pegawai negeri. Tidak lulus. Saat itu yang menjabat wali kota adalah seorang lelaki bermarga Rumengan. Rema terlunta-lunta sebagai pengangguran. CV-nya banyak ditolak, padahal ia lulus sebagai cumm laude. Pak Elfrits mengantar putrinya berziarah di Watu Pinawetengan. “Jangan bercanda Papa,” kata Rema. Tetapi Pak Elfrits tak pernah bercanda seumur hidupnya. Sehari sekembali mereka dari Kinonang, seorang duda berdarah Tiong Hoa datang melamar Rema.

1997. Krisis moneter sedang mengoyak tubuh perekonomian dalam negeri. Harga sandang dan pangan tidak bersahabat. Tapi Kok Leong cukup ideal sebagai sahabat, pikir Rema. Sebulan kemudian mereka menikah. Rema dibonyong ke Jakarta. Aku telah bekerja di Manado Post beberapa tahun terakhir dan tak pernah lagi mendengar kabar tentang dirinya, sampai satu tahun kemudian. Reformasi bergolak. Kerusuhan berlangsung di berbagai kota di pulau Jawa. Rumah-rumah dan pertokoan warga etnis Tiong Hoa dibakar. Tak sedikit yang terbunuh. Perempuan-perempun diperkosa. Sebulan kemudian Kok Leong menceraikan Rema dan mengembalikan perempuan itu pada orangtuanya. Suatu siang warga berkerumun memadati halaman rumah tetangga kami. Seseorang menjerit di dalam rumah. Suara perempuan. Satu-satunya perempuan Pinontoan. Siapa lagi?

Karema disantet, Pak Elfrits menyimpulkan. Kecurigaan kuat tertuju pada Ventje Rumengan. “Baginya lebih baik Rema jadi gila daripada dimiliki oleh lelaki lain.”

Karema mendekam di rumah sakit jiwa. Kabar ini hanya kudengar dari Ibu. Dalam jeda kerja sesekali aku berkunjung ke kampung halamanku. Kudengar Karema telah dipulangkah kembali. Sebelum balik ke Manado lagi, kusempatkan menjenguk dirinya.

“Sebaiknya sebatas pintu saja,” saran Pak Elfrits, lantas beliau mengerang menunjuk pakaianku. “Sebaiknya kamu melongok dari ambang pintu saja. Jangan sampai dia melihat bajumu.” Belakangan Rema sangat membenci hijau lumut.


29 - 30 Juli 2010


*(Matuari wo Tonaas, Mawanua jilid I, Paul Richard Renwarin; Cahaya Pineleng 2007, hal. 47-48)

12 komentar:

  1. ah, mungkinkah masih bisa diedit lg? agak amburadul. sbg penulis saya patut maluuu...

    kalimat2 tumpang tindih.. menyulitkan pembaca. pengelolah blog ini sepertinya tak mau repot membuat space antar paragraf..

    tp, makase neh so posting...

    BalasHapus
  2. makase atas masukannya, kesalahan tsb akan coba diperbaiki.. jika masih ada kesalahan, silakan dikritik lagi, masukan kawan-kawan akan membantu membuat blog ini lebih baik lagi dari waktu ke waktu...

    BalasHapus
  3. saut poltak tambunan7 Agustus 2010 pukul 04.17

    Salam kreatif. Separuh hidup keluarga saya adalah 'Minahasa' (isteri saya orang Tombatu). Saya ingin kenal penulis cerpen dari Manado (sangat jarang). Makaseh. (sp_tambunan@yahoo.com)

    BalasHapus
  4. terimakasih bung Saut sudah mengunjungi blog ini,sebetulnya penulis cerpen Manado sudah banyak jumlahnya, hanya saja keberadaannya kurang terpublikasi secara nasional, kebanyakan penulis cerpen Manado menerbitkan bukunya melalui penerbit-penerbit indipenden di daerah. sejumlah buku cerpen karya penulis manado telah terbit dan dinikmati dlm klangan terbatas,. lewat blog ini diharapkan eksistensi cerpenis manado bisa diketahui oleh semua pecinta sastra..

    BalasHapus
  5. Sebetulnya penulis cerpen Manado sudah lebih banyak jumlahnya, hanya saja banyak yang sudah tidak peduli lagi akibat rasisme Minahasa.

    BalasHapus
  6. Dalam waktu dekat saya akan ke Menado. Mungkin bisa berbincang dengan teman-teman sastra Menado. Juli lalu saya terbitkan kumcer kearifan lokal 'Kolecer & Hari Raya Hantu'. Sebelumnya saya cari komunikasi dengan cepernis Menado, tapi tidak dapat. saya segera akan terbitkan kumcer kedua, mudah-mudahan saya dapat cerpen dari Menado. Salam.

    BalasHapus
  7. Sorry, saya saut poltak tambunan.

    BalasHapus
  8. kalau nanti bung Saut jadi ke Manado Kontak saja dua komunitas yang saat ini sangat giat membangun sastra lokal, "Dewan Sastra Sulawesi Utara" yng berbasis di Manado, atau "Mawale Movement" yang berbasis di Tomohon, dua komunitas ini bisa dikontak di fakultas sastra unsrat, sebagian besar penulis muda Manado bergiat di komunitas ini, nanti kita bisa diskusi & sharing,. atau kita bisa juga saling kontak lewat admin blog ini.. Thanks.

    BalasHapus
  9. saut poltak tambunan24 September 2010 pukul 09.52

    Dulu saya menulis buku 'Ratu Oki', untuk itu saya banyak ngobrol dengan sastrawan HM Taulu, tahun 2008 resensinya dimuat di koran Menado. Tapi saya kok nggak pernah lihat tulisan penggiat sastra Manado tentang HM Taulu. Saya sangat mengagumi dia. (saut pt)

    BalasHapus
  10. HM Taulu, Sejarawan Dan Antropolog Minahasa Yang Tulisan-Tulisannya Banyak menjadi referensi bagi generasi muda dalam mengurai kembali sejarah minahasa, tulisan tentang beliau atau ttg pemikiran beliau sudah lumayan bnyk jg,biasanya dimuat di surat kabar atau majalah budaya "WALETA MINAHASA"..

    BalasHapus
  11. saut poltak tambunan3 Februari 2011 pukul 05.43

    Kalau saya ke Manado, ada nomor telepon yang bisa saya hubungi? -spt

    BalasHapus
  12. bung saut bisa menghubungi: 085240114800, Fredy Wowor (Mawale Movement), 085256040810, Pangky Ponggele (Theater Club Manado)..

    BalasHapus