Senin, 09 Agustus 2010

Resensi Buku: "AKU, KAU, DAN SEPI," (Kumpulan Puisi)


Judul Buku : Aku, Kau, Dan Sepi
Kategori Buku : Kumpulan Puisi
Penulis : Huruwaty Manengkey
Penerbit : 9 Society Art & Tech bekerja sama dengan Theater Club Manado
Tahun Terbit : 2008
Jumlah Halaman : 67
Harga : Rp. 25.000




Ulasan Buku

Ditulis oleh: Vick Chenorre

PUISI-PUISI dalam buku ini memberikan aku satu pilihan untuk menentukan beberapa jalan untuk dilintasi dalam waktu bersamaan. Hanya satu pilihan, tak lebih. Maka demi “supaya bisa” semua jalan itu dapat terlintasi, aku memilih untuk menukar skenarionya. Pilihan itu menjadi, menentukan beberapa jalan untuk memberikan satu pilihan. Sederhana. Namun begitulah cara saya menilai mana yang bagus dan tidak bagus. Karena ini bukanlah soal benar atau salah, tetapi persoalan bagus atau tidak bagusnya puisi ini ditulis.
Namun kendalanya adalah mampukah saya memberikan predikat pada semua puisi ini dengan mematok nilai “ya“ untuk ini dan “tidak” untuk itu? Mungkin sebaiknya jawaban yang sekiranya adil adalah semua puisi ini indah dan tidak bagus. Dalam hal ini untuk menentukan mana puisi yang baik dan mana puisi yang tidak baik bukan dan tidak harus menjurus pada justifikasi tetapi sebagai pembaca yang baik dianjurkan untuk menilai dari segi suka atau tidak suka, atau cocok dan tidak cocok. Sebab ketika kita disodorkan dengan sebuah pilihan maka yang paling besar berperan dalam proses penilaian itu adalah kadar subjektivitas ketimbang objektivitas. Subjektivitas itu mengidap dalam pikiran, perasaan, intelektual, imajinasi dan pengalaman. Dan saya kasih tahu, di situlah proses penilaian itu dimulai, tergantung dari teropong mana seorang pembaca membidik puisi-puisi tersebut.
Semisal, saya akan mengatakan puisi yang paling kuat dari saudari Huruwaty ini adalah “aku, kau dan sepi” karena kebetulan puisi ini menyentuh sisi paling kronik dalam diri saya. Pengalaman. Mungkin ini sekedar pengantar untuk pembaca agar tidak keliru dalam menilai, maksudnya agar puisi-puisi yang lain tidak menjadi tersepelekan dan tersisih. Dan menurut saya, sebagai pembaca dan penikmat, bukan kritikus, puisi yang ditulis huruwaty ini adalah puisi yang lahir dari sebuah proses, meski tidak semua mampu melewati metamorfosa yang lengkap. Atau mungkin, ada juga beberapa puisi yang sudah mencapai estetikanya tetapi sengaja atau tidak sengaja ditempeli dengan sejumlah kata-kata yang memberikan kesan indah dan eksklusif tapi yang terjadi justru adalah over estetis, yang memberi kesan menor dan melunturkan nilai-nilai kecantikan yang sudah terbentuk.
Aksesoris-aksesoris ini seharusnya dipangkas saja ketimbang menjadi semacam guratan tanpa makna yang justru melecetkan nafas puisi tersebut. Saya berfirasat, Huruwaty mungkin tidak salah dalam melakukan itu dalam puisinya, itulah pembenaran yang diyakininya. Itulah gaun yang dipakainya untuk pesta-pestanya. Kau dan aku tak berhak menggugat apapun. Dan dia, Huruwaty, tentu memiliki sejumlah alasan, bukan hanya alasan tapi bukti, karya ini. Dan dengan penuh rasa syukur kepada Tuhan, saya dengan sangat rendah hati mengaminkan bahwa seorang penyair telah lahir, HURUWATY MANENGKEY. Dan istimewanya lagi, dia adalah seorang perempuan.


Ulasan Buku
Ditulis Oleh: Dean Joe Kalalo

MANUSIA dan kehidupan adalah sepasang kekasih. Kadang romantis, kadang getir, bahkan kadang autis. Ketika dikhianati, ataupun diperdayai kekasihnya, manusia berselingkuh dengan bahasa. Proses perselingkuhan yang indah itu melahirkan bait-bait yang kita namakan puisi. Adapun manusia-manusia yang memilih berselingkuh itu disebut penyair.
Segegar apakah jangkauan puisi?. Pertanyaan ini kerap lebih menjadi sebuah kekhawatiran, meski sesekali diamini melalui berbagai apologi estetis para penikmatnya. Di manakah getar maknanya hingga bisa memamah ketiadaan?. Sombongkah ia karena meski berwarna kerap hanya menjadi bayangan?. Lalu apa gunanya berselingkuh?.
Aroma pesimistik tak henti mengintai di balik nyaringnya gegar sebuah puisi. Jutaan janin lahir, meski utuh, meski cacat, segera ia menjelma haram ketika bersentuhan dengan dunia luar. Keterasingan yang tragisnya menjadi kebanggaan setiap penyair. Dan pencipta sastra, menjadi semakin buas di tengah hutan belantara yang meski entah, tetap dicintainya.
Mungkin sudah waktunya sastrawan dibunuh, puisi menemui ajalnya. Dan tak ada lagi sekat-sekat, selain beranakpinaklah semua rasa dengan segala ketelanjangannya. Biarkan ia lahir tanpa nama, biarkan penamaan menjadi hak terhormat dari setiap individu, biarkan keindahan menjadi hak istimewa setiap hati. Agar kita tidak lagi saling bunuh dalam keterasingan. Dan perbedaan menjadi lebih romantis.
Buku ini adalah kumpulan anakpinak seorang individu yang membuat saya sebagai individu yang lain menanggalkan hiruk pikuk pikiran dan tenggelam dalam hitungan-hitungan rasa. Menjelajahi buku ini, tidak bisa tidak, kita harus lebih dulu mempersiapkan diri menjadi lebih dewasa. Sesaat membongkar keburaman normatif, untuk sejenak menjadi lebih egois dalam keanggunan makna. Sebuah pencarian sungguh-sungguh dari seorang perempuan muda yang berani menanggalkan hak keseragamannya di tengah zaman.
Lewat buku ini penyair mencoba membangun sebuah jembatan yang menjadi penghubung antara kehidupan dengan euforia rasa yang membungkus dirinya. Jembatan tersebut dibangun dengan megahnya, bahkan berkuntum-kuntum bunga berserakan di sekitarnya. Dan sepertinya, dalam ruang-ruang tertentu, ia berhasil. Sebagai seorang muda, yang tengah terapung-apung dalam derasnya arus pencarian makna hidup, kemegahan tersebut niscaya bisa dimaklumi. Sebagian besar puisi memang menyiratkan “kedirian” penyair dalam melewati masa itu. Kita pun dibuai dengan letupan-letupan tak terduga yang meledak di setiap bait di mana ia menemukan klimaks imajinatif yang sempurna. Sebuah hasil renungan kontemplatif yang tak luput dijiwai nilai-nilai estetis bahasa.
Kehadiran kumpulan puisi ini tak pelak kembali memberikan nafas lega bagi kesusastraan Sulawesi Utara yang terus bertumbuh di tengah miskinnya praktisi perempuan. Sekaligus menjadi pukulan keras bagi perempuan-perempuan muda, untuk meninjau kembali eksistensi dirinya di tengah-tengah peradaban.


Tanggapan-tanggapan Untuk buku "Aku, Kau, Dan Sepi"

Analogi-analogi jiwa yang ditata apik dengan diksi ajaib dengan kolaborasi rima dan ritme yang menakjubkan. GORGEOUS AND PASSIONATE POEMS.
OP’S HESTEE.

DAHSYAT…. Saya Seolah-Seolah Menjadi Hati Dari Sang Penyair. Saya jamin andapun akan seperti saya jika membacanya.
HENROLDS TATENGKENG

Gila... belum semua ku baca isi puisinya, namun sebagian karya puisi ini telah membawa aura jiwaku seakan ingin merasakan cengkeraman dan cumbuan kata-kata puisinya. Bagaimana bila kubaca semua, bisa-bisa aku bercinta dengan puisinya. Salut dan selamat untuk kehadirannya.
Ars longa vita brovis&viva makatana.
ALFRITS KENT OROH


Bila 10 tahun lagi kudapati karya-karyanya hidup pada deretan sastra lokal, pasti ia salah satu sastrawati terbaik nasional yang kelak ku buru bukunya.
IE HADI G

Tidak ada komentar:

Posting Komentar