Greenhill Weol
PROLOG
Sesaat sebelum pentas dimulai, sutradara naik ke panggung untuk membuka pentasnya dengan mengucapkan kata-kata:
“Hidup... apa yang kau tau tentang hidup?
Apa yang kita tau tentang hidup?
Bukan... bukan... (menyangkal dirinya sendiri)
Apa yang AKU tau tentang hidup! (tersenyum dengan pandangan ganjil)
Tuan-tuan dan nyonya-nyonya, Teater .......... (nama teater yang memainkan naskah ini) dengan naskah karya Greenhill Glanvon Weol, ERASUR! (membungkuk kepada penonton kemudian kembali ke belakang panggung. Lampu Padam. Pentas dimulai)
Satu
Panggung gelap. Di depan seorang lelaki muda duduk di kursi dan kemudian memantik korek api kemudian mulai merokok. Disampingnya ada meja dan beberapa benda yang tak jelas terlihat. Hanya nyala bara rokoknya yang kelihatan.
Lelaki satu:
Untuk apa?
Untuk apa?
(menekankan)
Dari bermilyar-milyar sel dalam tubuhku
Dari segenap tarik nafas dan denyut nadiku
Dari dua puluh empat jam, hari, bulan, tahun, milenium
Aku siapa?…
(diam, kembali terus merokok)
Aku siapa?...
(berbisik)
Di bagian depan kanan seorang terlihat memantik korek api, tetapi yang ini sedang memasang sebuah lentera. Lelaki dengan rokok itu kembali berbicara:
Lelaki satu:
Jika cahaya ada agar gelap sirna,
jika bumi ada agar langit punya saudara,
lantas aku untuk apa?
Untuk apa!
(kesal)
Lelaki dua:
Kau ada karena kau ada
(menyela dengan emosional)
Kau ada karena kau memang ada
Kau ada karena kau harus ada!
Begitu! Mudah dan tak usah kau persulit lagi
(kembali sibuk dengan kerjanya)
Seperti cahaya ini, ia ada lantaran ia memang seharusnya ada...
Ada untuk kau, ada untuk aku...
Ada untuk kita!
Lentera mulai menyala, lelaki yang memasangnya kemudian membawa dan meletakkannya di atas meja. Keadaan mejadi remang-remang oeleh cahaya lentera. Lelaki kedua itu juga menyalakan sebatang rokok. Ternyata di atas meja ada papan catur yang siap di mainkan. Mereka mulai bermain. Tempo permainan sangat lambat. Selang beberapa langkah baru mereka mulai berkata-kata:
Lelaki pertama:
Sekarang jam berapa?
(pelan, serius main)
Lelaki kedua:
Siang atau malam apa bedanya?
(menggeser buah catur)
Lelaki pertama:
Sekarang tahun berapa?
(setelah beberapa saat kemudian, berpikir)
Lelaki kedua:
Sesudah lonceng perang besar kedua...
(mulai tak konsen)
Lelaki pertama:
Sekarang kita dimana?...
(gelisah)
Lelaki kedua:
Pada fajar...
(melirik jam tangan)
Skak!
(menggeser buah catur tiba-tiba)
Lelaki pertama:
Apa maksudmu?
(seolah dicurangi, mengangkat kepala menatap lelaki kedua)
Lelaki kedua:
Kau kalah...
Maksud?
Maksud apa?
(bingung dengan arah pembicaraan, saling tatap)
Lelaki pertama:
Kau belum pernah mengalahkanku
(tertahan sejenak)
Aku ini ada dengan maksud...
(sedikit berbisik)
Lelaki kedua:
Maksud?
(kembali memandangi papan catur)
Mengapa harus ada maksud?
Lelaki pertama:
Jantung adalah maksud, matahari adalah maksud, musim adalah maksud!
(menekankan)
Lelaki kedua:
Heh!
(sinis)
Kentut adalah maksud!
(sejenak berhenti)
Kau tau? Tak semua diciptakan dengan maksud
(suara menuding, serius)
Penyakit misalnya…
(menghembus asap panjang)
Lelaki satu:
Penyakit?
(bingung)
Penyakit tidak di ciptakan, ia di lahirkan, menetas dari rahim dosa, muntahan dari jiwa-jiwa durjana! (terdiam sejenak)
Oo…
(sadar, mulai tersinggung)
Jadi aku penyakit? Begitu?
Imsomnia, paranoia, skizofrenia? Begitu?
Cinta, rasa, eulogia? Begitu?
Kitab, surat, mantra? Begitu?
(berhenti bermain, bersuara keras, mulai marah)
Darah, angin, tanah? Begitu?
Siapa penciptanya, hah!
(menggebrak meja, catur berhamburan)
Lelaki dua:
Ha…ha…ha!
(tiba-tiba terbahak, namun tiba-tiba terhenti dan serius)
Bukan! Bukan begitu maksudku!
(melotot pada lelaki satu)
Kau tau, jumlah bintang selalu sama, tetapi tetap saja setiap hari kita menghitung berbeda.
Daun-daun gugur akan menghamili tanah dengan darah untuk memberi nafas buat tunas-tunas muda!
(berhenti sejenak)
Kau harus mencari apa yang akan menjadi maksudmu…
(berjalan menjauh dan menerawang)
Lelaki satu:
Cari?
Cari apa?
(dengan ekspresi tertarik, seolah tertantang)
Lelaki dua:
Cari apa saja…
Lelaki pertama:
Kemana?
Lelaki kedua mulai melangkah keluar panggung. Sebelum keluar, ia terhenti sejenak karena lelaki pertama kembali berseru:
Lelaki pertama:
Kemana!?
Lelaki kedua:
Kemana saja…
(tak menoleh kemudian meneruskan langkahnya keluar panggung)
Lelaki pertama itu tertegun. Ia berpikir sejenak. Tiba tiba ia seperti teringat sesuatu, ia seolah hendak mengejar laki-laki kedua keluar. Ia bergegas membawa lentera itu keluar. Sambil bergegas, ia berseru:
Lelaki pertama:
Kau dan aku?...
Kau dan aku?...
Kau dan aku!
Kau dan aku!
Kau aku!
Kau aku!
Deus!
Rexus!
Deus!
Rexus!
(mengejar)
Panggung kembali gelap.
Dua
Panggung berangsur terang. Di tengah panggung ada sebuah meja dengan sebuah radio yang tengah menyala dengan suara keras dan sekaleng minuman ringan. Disamping meja ada sebuah kursi kosong. Seorang gadis masuk. Langkahnya gemulai, pakaiannya sexy. Ia kemudian duduk dengan anggun, perlahan ia meraih kaleng minuman itu kemudian membukanya dan meminumnya perlahan sambil menerawang ke depan, menikmati siaran radio. Beberapa saat kemudian lelaki pertama masuk, mendekati meja, kemudian duduk di meja dan mulai berbicara:
Lelaki pertama:
Aku lapar...
(sekenanya sambil mengayun-ayunkan kaki)
Gadis:
Kau tak bisa hidup tanpa makan?
(sambil meraih radio untuk mengecilkan volumenya)
Lelaki pertama:
Sekali-sekali bisa...
(lambat)
Sekali-kali tak bisa...
(menunduk)
Gadis:
Makanlah pada saat kau perlu, bukan saat kau mau... (tersenyum)
Lelaki pertama:
Inikah saatnya?
(seolah mendapatkan kesempatan, menoleh dengan tatapan nakal)
Gadis:
Mudah bukan?
(mengerling menggoda)
Kau hanya perlu meminta, lalu segalanya tersedia
(tersenyum sensual)
Ketuk, lalu pintu akan terbuka...
(membisik sensual)
Lelaki pertama:
Tapi aku perlu mencarinya!
(tak puas)
Gadis:
Kau kan tau semua lekuk dunia!
(mengingatkan)
Lelaki pertama:
Akh..
(kembali tenang)
Hanya kau yang mengerti aku...
(merayu)
Gadis:
Aku bukan kau
(saling bertatapan)
Cuma kau yang tau tentang kau
Lelaki pertama:
Kau tak tau tentang aku?
(mendadak kecewa)
Tapi kau bersamanya melalui waktu!
Gadis:
Aku sendiri...
(mulai terisak-isak)
Selalu sendiri...
Aku sendiri sedari dulu...
(menangis)
Lelaki pertama:
Dia pergi?
(mencoba menatap Gadis itu, kemudian berlutut di hadapannya)
Dia pergi...
(seolah menjawab sendiri pertanyaannya)
Mengapa dia pergi?
(heran)
Gadis:
Setidaknya aku punya kau, kan?
(mencoba berhenti terisak, menyeka airmata, membelai kepala lelaki pertama)
Lelaki pertama:
Aku bukan milik siapa-siapa!
(tiba-tiba bangkit berdiri dan menjauh, menerawang)
Aku bahkan bukan milik diriku...
(menunduk)
Sang Gadis menunduk pula, kembali terisak. Lelaki pertama datang kembali mendekat dan mengeluarkan sehelai sapu tangan dan menawarkan itu kepada gadis itu. Gadis itu mengangkat kepala dan menatapnya dalam-dalam sejenak dan berkata:
Gadis:
Aku tak butuh itu...
(memandang dengan penuh kasih sayang)
Kau...
Kau...
Lelaki pertama itu kemudian jatuh tersungkur dan memeluk gadis itu rapat. Sejenak mereka saling berpelukan erat. Lelaki pertama menggumam:
Lelaki pertama:
Sekarang aku kenyang...
(lambat)
Sekarang aku kenyang...
Gadis:
Manusia memang tak hidup dari roti saja...
Kau...
Carilah itu dulu...
(lembut)
Lelaki itu bangkit perlahan. Mereka bertatapan dan saling tersenyum. Lelaki itu meraih radio dan kembali menguatkan volumenya kemudian melangkah keluar. Gadis itu kembali duduk dan menikmati siaran radio. Lampu memudar.
Tiga
Panggung berangsur terang. Dua sosok sedang membaca koran di satu sisi panggung dengan diam. Mereka berkacamata hitam. Ada yang berdiri, ada yang duduk. Di sisi sebelah ada sebuah kursi kosong dan sebuah meja dengan mesin ketik. Pada saat membalik halaman, mereka melakukannya bersamaan. Kemudian mereka mulai bersahut-sahutan dengan suara lantang:
Sosok satu:
Berita hari ini: sebuah pertanyaan!
Sosok dua:
Berita hari ini: sebuah kebimbangan!
Sosok satu:
Berita hari ini: waktu berlalu!
Sosok dua:
Berita hari ini: yang lalu menjadi terdahulu!
Lelaki pertama tadi masuk dan duduk di kursi kosong dan mulai mengetik lambat-lambat. Wajahnya berat, penuh beban. Ia kemudian menoleh perlahan kepada kumpulan sosok itu dan mengerinyitkan kening dan berkata:
Lelaki pertama:
Apa yang kalian tau?
Apa dengan membaca kalian jadi tau segalanya?
(emosional)
Aku juga membaca!
Aku juga membaca apa yang kau baca!
Aku bahkan membaca apa yang tak tau baca!
(ketus)
Sosok satu:
Lantas, kau jadi tau segala-galanya?
(membalas dengan cepat, tetapi pandangan tetap pada bacaannya)
Sosok dua:
Mengerti segala-galanya?
Sosok satu:
Bisa segala-galanya?
Sosok dua:
Menjadi segala galanya?
Lelaki pertama itu menunduk. Ia menyahut pelan:
Lelaki pertama:
Tidak...
(menelan ucapannya)
Sosok-sosok:
Lantas?
(bersamaan)
Lelaki pertama:
Itu semua agar aku bisa menulis...
(menerawang)
Sosok-sosok:
Menulis apa?
(bersamaan, kali ini semuanya menurunkan bacaan mereka lalu menoleh pada lelaki pertama)
Lelaki pertama:
Menulis apa saja!
(bangkit dan marah-marah)
Menulis segala-galanya!
(menatap tajam ke arah sosok-sosok)
Sosok-sosok:
Untuk apa?
(bersamaan, kaget, )
Lelaki pertama:
Untuk diriku sendiri...
(tak perduli, kembali sibuk mengetik)
Sosok satu:
Untuk dirimu?
Untuk dirimu, katamu?
(berdiri, mendekati lelaki pertama)
Siapa dirimu?
Sosok dua:
Siapa?
(berdiri, namun tidak bergerak)
Kau?
Dia?
(menuding)
Dari mana kau tau kalau kau bukan dia, dia bukan kau?
Lelaki pertama:
Diaaam!
(menyela dengan hardikan)
Kalian tak perlu tau siapa aku!
Kalian tak perlu tau siapa dia!
Hari-hari akan berganti, bulan bintang dan matahari!
Tetapi aku dan dia tak akan pernah mati!
Pergi!
Pergi!
Pergiii!
Dari luar bergegas masuk lelaki kedua dan langsung menantang lelaki pertama dengan kata-kata:
Lelaki kedua:
Mengapa harus pergi?
(menatap tajam lelaki pertama)
Lelaki pertama:
Ya... karena... mereka...
(patah-patah, kaget, seolah tak siap dicecari pertanyaan)
Lelaki kedua:
Mengapa harus pergi?!
(meninggi)
Lelaki pertama:
Eee... seharusnya kan...
(gugup menjadi-jadi)
Lelaki kedua:
Mengapa harus pergi?!!!
(menghardik keras)
Lelaki pertama:
Karena mereka bukan aku!!!
(balas menghardik dengan lebih keras)
Karena mereka bukan kau...
(lambat, menunduk, menghela napas dan menghembuskannya dengan berat.)
Suasana hening mencekam sesaat. Tak ada yang bergerak. Lelaki pertama kemudian melangkah kesamping, menjauhi lelaki kedua, kemudian matanya menerawang jauh.
Lelaki pertama:
Kau sudah lupa...
(lambat, pedih)
Lelaki kedua:
Aku... memilih untuk lupa
(lemah, menunduk)
Lelaki pertama:
Jadi kau masih ingat?
(menoleh, menyelidik)
Lelaki kedua:
Aku ingat apa yang kau ingat...
(saling tatap)
Sosok-sosok itu keheranan, saling pandang. Mereka menatapi koran koran yang di pegangnya. Wajah mereka kecewa. Bersamaan kemudian mereka mengambil korek api dan mulai membakar kertas-kertas itu. Sementara api berkobar, lelaki pertama kembali ke kursinya dan mengetik. Sosok-sosok itu memandangi api itu dengan muka tertekan, sampai api itu padam dengan sendirinya. Lelaki kedua berdiri kaku sambil menunduk. Lampu memudar mengikuti nyala api.
Empat
Lampu menyala. Di panggung lelaki pertama dan lelaki kedua sedang duduk berhadap-hadapan di sebuah meja. Di atas meja ada secangkir kopi yang mengepul hangat. Keduanya sedang menatapi cangkir itu dengan serius. Beberapa saat tanpa suara, kemudian lelaki pertama memulai pembicaraan:
Lelaki pertama:
Mengapa kopi?
(tetap menatap cangkir)
Lelaki kedua:
Ini kehidupan
(tetap menatap cangkir)
Lelaki pertama:
Tau apa kau tentang kehidupan?
(mengangkat kepala, menatap lelaki kedua)
Lelaki kedua:
Tak tau apa-apa...
Selain apa yang diajarkannya kepadaku...
(tetap menatap cangkir)
Lelaki pertama:
Apa itu?
(menggeser tubuh kedepan, mengeringitkan dahi)
Lelaki kedua:
Belajarlah sendiri
(mengangkat muka, menatap mata lelaki pertama)
Lelaki pertama:
Kau mau meracuni aku?
(curiga, menggeser tubuh ke belakang)
Lelaki kedua bangkit dari duduknya. Matanya menerawang ke depan. Ia mau melangkah pergi ketika jemari-jemari lelaki pertama itu mulai bergerak sesenti-sesenti mendekati cangkir di depannya. Bagai mereka punya abadi, cangkir itu dibawa mendekati bibir dan menenggelam muka kedalamnya. Wajah lelaki pertama itu tak berubah oleh rasa. Tak ada segerak otot bahkan yang terhalus sekalipun di tubuhnya. Ia melirih perlahan. Hampir terlalu kabur untuk didengar.
Lelaki pertama:
Mengapa pahit?
Lelaki kedua:
Itu kemurnian
(tegas)
Lelaki pertama:
Maksudmu?
(menoleh, bingung)
Lelaki kedua:
Tak ada gula dalamnya
Lelaki pertama:
Jadi?
Lelaki kedua:
Kopi memang pahit…
Jika ingin manis, tambahkan gula
Lelaki pertama:
Gula...?
(bingung)
Lelaki kedua berjalan keluar panggung. Lelaki pertama dengan kebingungannya kembali menatap cangkir itu. Dari ketidak puasannya ia kembali bertanya dengan berseru:
Lelaki pertama:
Bagai mana jiga aku tak memiliki gula?
Sebuah suara menggema dari luar panggung, suara lelaki kedua, menjawab pertanyaannya:
Lelaki kedua:
Tiap orang punya gula!
Tiap orang punya cinta!
Lelaki pertama:
Cinta, katamu?
(memiringkan kepalanya, keningnya berkerut)
Cinta?
Itu tak berbeda dari kutukan pertama!
Lelaki kedua:
Wanita?
Lelaki pertama:
Anak haram itu rusuk kita!
Dia membuatku mencambuki diriku
Jantungku melompat-lompat
Nafasku menyanyi-nyanyi
Lantas lelah menari-nari!
Kau juga, kan?
(tersenyum mengejek)
Lelaki kedua:
Aku tak mencintainya!...
Lelaki pertama terkejut dan bangkit dari duduknya. Ia menoleh ke belakang, kearah suara lelaki kedua. Lampu mati.
Lima
Panggung berangsur terang. Di atas panggung seorang wanita cantik sedang duduk di sebuah kursi dengan pose yang sedikit menantang. Di hadapannya ada sebuah televisi yang menyala, cahaya layarnya membias diwajah gadis itu. Wajahnya anggun, namun sensual. Bibirnya basah merekah. Ia menonton sambil memainkan rambutnya yang terurai. Lelaki pertama masuk dengan mengenakkan helm yang menutupi mukanya, berdiri di samping kursi wanita itu dan langsung menatap televisi dihadapan mereka. Dengan tidak mengalihkan pandangan dari televisi, mereka mulai berbicara:
Gadis:
Kau...
(tertahan)
Mau pergi?
Hhm...
(tersenyum kecil)
Lelaki pertama:
Aku masih disini
(membuka helmnya cepat, kembali menatap televisi dengan wajah dingin)
Kau?...
Gadis:
Aku akan disini
Tapi bukan menunggu...
Aku Cuma menghitung waktu
Lelaki pertama:
Tanpa lelah?
Gadis:
Waktu adalah sahabatku, ketika aku berhenti, ia juga
Lelaki pertama:
Jika ia terbang, kau juga?
Gadis:
Aku pernah terbang bersamamu...
(suaranya tercekat, berduka. Disaat itu ia menoleh ke atas, ke arah lelaki itu)
Lelaki pertama:
Ya...
(tersenyum getir)
Langit dulu sahabat kita, awan-awan juga...
Gadis:
Aneh bukan, betapa kita menjadi lelah dengan kata-kata... (bangkit berdiri, mendekati lelaki itu dan menyentuh wajahnya dengan kedua telapak tangan. Lelaki itu meletakkan helmnya di kursi)
Lalu jari-jari kita beku...
(melepaskan sentuhannya, menatap jari-jarinya. Tiba-tiba ia seperti terhenyak, mundur selangkah menjauhi lelaki itu dan menatapnya tajam)
Kau penyebabnya, bukan?
(suaranya keras, menuduh)
Kau terbang terlalu tinggi, kemudian matahari melehkan sayapmu!
(kecewa)
Lelaki pertama:
Kau yang menyuruhku...
(seperti hendak menyangkal, namun akhirnya tunduk)
Aku sebenarnya tak suka melayang...
(menerawang)
Aku lebih suka berpelukan dengan bumi...
Rumput, kembang...
Bukit hijau...
Laut...
(kembali menunduk)
Gadis:
Laut?
(menoleh)
Lelaki pertama:
Laut tinggal pada tanah...
(menatap tajam kedepan)
Gadis:
Kau tau berapa dalamnya?
(maju selangkah)
Lelaki pertama:
Kau tau jawabnya... aku juga
(maju kearah gadis itu dan merengkuhnya kedalam pelukan, mereka bertatapan dengan sinar mata takjub. Sejenak mereka saling tatap. Musik lembut bermain. Berpelukan, mereka mulai bergerak mengikuti irama lagu, lembut lalu mulai memuncak. Gerakan mereka mencepat, meninggi, hingga akhirnya terhenti mendadak. Mata mereka bertautan. Keduanya kemudian berciuman. Tib-tiba sang gadis memisahkan tubuhnya, membuang pandang jauh, wajahnya berduka)
Gadis:
Pergilah...
(terengah)
Pergi...
Atau aku yang menghempas bumi...
(lemas)
Lelaki pertama itu hendak meraih tubuh gadis itu lagi namun ia berhenti sendiri. Ia memandang gadis itu dengan tajam, tetapi pandangannya itu cepan jatuh ke tanah. Sekejab ia menyambar helm di kursi berkehendak mengenakkannya, namun terhenti. Ia menatap gadis itu kembali dan berkata:
Lelaki pertama:
Aku... mungkin tak kembali...
(lambat, kecewa)
Gadis itu terkesiap. Tangannya mencoba meraih lelaki itu, namun ia telah membalikkan tubuh, mengenakkan helm dan melangkah keluar, tanpa menoleh lagi. Gadis itu kembali ke kursinya dan seolah tak ada yang terjadi, ia kembali duduk menonton dengan wajah dingin. Lampu memudar.
Enam
Lampu panggung menyala. Lelaki pertama sedang duduk di kursi dan memandangi sebuah handphone dalam genggamannya. Wajahnya bimbang. Akhirnya ia mulai memencet nomor. Setelah menunggu sejenak, Ia mulai berbicara:
Lelaki pertama:
Ada waktu kita menunggu
Ada waktu kita ragu!
Kau dimana?
Kita perlu bertemu
(tegas)
Dari luar panggung masuk sesosok dengan handphone yang sedang ditempel ke telinga dan langsung berbicara:
Sosok satu:
Utara, selatan, timur, barat, sama saja
Aku ada dimana-mana
Lelaki pertama:
Terserah...
Tapi aku masih di bumi, kau tau itu!
(menekankan)
Dari luar panggung masuk lagi sesosok dengan handphone dan langsung berbicara:
Sosok dua:
Mars, Jupiter, Merkurius, Venus, Apha Centauri, atau Eden sekalipun!
Sama saja...
Dua sosok yang baru masuk menempati sisi-sisi panggung. Lelaki pertama bangkit dari duduknya, namun tak bergerak ke mana-mana.
Lelaki pertama:
Aku telah terusir dari Eden!
Bagsat ular itu...
(melemah, seolah menyesal)
Sosok satu:
Kau menyesal?
(serius)
Sosok dua:
Kau gagal?
(serius)
Sosok satu:
Dosa itu nikmat, bukan?
(menggoda)
Hahaha...
(tertawa renyah)
Sosok dua:
Telanjang itu indah, bukan?
(menggoda)
Hihihi...
(tertawa terkikik)
Sosok satu:
Kenangan masa silam tak pernah lekang
Hanya sembunyi dalam kelam
Sosok dua:
Untuk kembali menerkam
Dikala t’lah larutlah malam!
Kedua sosok itu kemudian tertawa-tawa. Lelaki pertama kelihatan kalut, ia menghardik:
Lelaki pertama:
Diam!
(marah)
Jarum jam tak bisa diputar ulang!
Aku hanya mau tidur dalam keabadian!
Malam datang dan pergi, siang silih berganti!
Aku hanya melawan lupa!
Aku hanya melawan lupa!!
Halo!
Halo?
Haloo!?
Seolah putus sambungan, pembicaraan terhenti. Lelaki pertama memencet tombol kembali, namun ternyata tak bisa. Sosok-sosok tadi telah keluar panggung. Ini memancing kemarahannya menjadi-jadi, semakin tinggi. Di tatapnya handphone di genggamannya dan berseru:
Lelaki pertama:
Erasur!
Lelaki pertama itu menghempaskan handphonenya ke lantai sehingga hancur berkeping-keping. Lampu mati.
Tujuh
Lampu panggung menyala. Di tengah panggung ada sebuah meja dan kursi. Lelaki kedua sedang duduk di meja dan memainkan sebuah gitar dengan sebuah lagu blues. Sebatang rokok tersisip di bibirnya dan sekali-kali di tarik-hembus tanpa di pegang. Selang beberapa saat kemudian lelaki pertama masuk dan langsung duduk di kursi. Ia menundukkan kepala tetapi tangannya di sandarkan di meja dan mengetuk-ngetuk meja mengikuti irama dari lagu lelaki kedua. Lelaki kedua menyapa:
Lelaki kedua:
Kau tau lagu ini?
(berbicara dengan rokok terselip di bibir, masih terus memainkan gitar)
Lelaki pertama:
Aku yang menciptanya...
(menyesal)
Lelaki kedua:
Bagus...
Lelaki pertama:
Bagus?
(menoleh pada lelaki kedua)
Lelaki kedua:
Bagus
(meyakinkan, juga menoleh)
Aku suka...
Lelaki pertama
Aku juga suka...
(menerawang)
Setidaknya... kita berdua sama
Lelaki kedua:
Setidaknya... kita belum lupa
(menjepit rokok dengan jari tangannya, kembali memainkan gitar)
Keduanya menerawang. Musik tetap dimainkan. Lelaki pertama kemudian menyanyi mengikuti lagu sampai lagi selesai. Lelaki kedua juga ikut menyanyi. Mereka berdua tampak menikmati kebersamaan mereka dalam menyanyikan lagu itu. Lagu kemudian selesai. Mereka terdiam beberapa saat. Lelaki kedua berusaha berbicara dengan kaku:
Lelaki kedua:
Kau temui mereka?
(menunduk, menggaruk kepala)
Semesta logika yang sedari dulu mengaliri nadimu?
(menoleh)
Lelaki pertama:
Selalu seperti itu...
(menerawang, menoleh ke arah lain)
Lelaki kedua:
Ruang, waktu, dimensi, realita, makna!
Seribu kali kecepatan suara!
Mesin waktu yang nirmakna!
Kita Cuma abu kosmis yang melayang di udara!
(tercekat)
Lantas...
Apa yang tersisa?
(emosional)
Lelaki kedua:
Khaos...
(ragu-ragu)
Lelaki kedua:
Epistel siapa?
Lelaki pertama:
Aku...
(lemah)
Kau..
Lelaki kedua:
Kau tau semua itu?
(melompat turun dari meja, menatap tajam lelaki pertama)
Lelaki pertama:
Aku... kau, bukan?
(menerawang)
Lelaki kedua:
Kau... kenal aku?
(antara amarah dan takjub)
Lelaki pertama:
Kematian tak selalu punya nama!
(bangkit, menantang)
Lelaki kedua:
Tuhan!
Tuhan punya nama!
(marah)
Lelaki pertama:
Apalah artinya sebuah nama?!
(profokatif)
Lelaki kedua:
Bahkan sungai kematian punya nama!
(gugup)
Tiap sel tubuh punya nama!
Dendam pun punya nama!
Lelaki pertama:
Hmh!
(mendengus sinis)
Aku tak pernah percaya diriku...
bahkan semenjak aku lahir!
Kelahiran adalah kematian!
ALPHA ADALAH OMEGA!
Lelaki kedua tiba-tiba menghempaskan gitar yang dipegangnya ke samping dan meloloskan sepucuk pistol dari pinggang belakangnya dan langsung menodongkannya kepada lelaki pertama. Lelaki pertama juga bersamaan meloloskan sepucuk pistol dari pinggangnya dan langsung menodongkannya ke arah lelaki kedua. Mereka saling menodongkan pistol, bersilang lengan, tetapi dengan mimik berbeda, lelaki pertama dengan wajah dingin sedang lelaki kedua dengan wajah penuh amarah, napasnya naik-turun. Sementara konflik diantara mereka meninggi, gadis itu masuk dengan langkah santai dan duduk di kursi dengan gaya seronok kemudian menyalakan sebatang rokok dan menghisapnya dalam, seolah ia tak melihat apa pun yang sedang terjadi di hadapannya. Kedua lelaki tadi juga seolah tak memperhatikan kedatangannya dan tetap dengan konflik mereka.
Lelaki pertama:
Berakhir di sini?
(dingin)
Lelaki kedua:
Membunuh atau terbunuh!
Bau mesiu!
Nyawa yang terbang jauh!
Hahaha!
(gembira)
Lelaki pertama:
Aku atau kau!
(meledak dengan amarah)
Lelaki kedua:
Aku kau!
Kau aku!
(emosional, antusias)
Hahaha!
(tertawa aneh)
Lampu panggung tiba-tiba mati. Beberapa letusan pistol menggema.
Delapan
Lampu panggung menyala. Sosok satu dan dua sedang membaca koran di atas panggung. Sosok satu duduk di kursi, sedang sosok dua berdiri menyandar meja. Tiba-tiba dari kiri-kanan panggung, dari kedua pintu masuk panggung, muncul sorotan sinar senter yang menyilaukan. Masing-masing sinar mengarah kepada muka kedua sosok tadi. Keduanya terkejut dan mencoba menghalangi sinar itu dengan telapak tangan. Seolah ingin mencari tau siapa yang menyinari mereka, keduanya lalu bergerak mendekati arah sinar itu perlahan-lahan. Semakin dekat mereka menjadi lebih curiga. Tiba-tiba mereka terhenyak bersamaan dan jatuh terlentang di lantai. Keduanya kemudian dengan ekspresi ketakutan mulai mundur perlahan-lahan menempeli dinding belakang sambil menyeret kaki. Sosok satu dan dua mulai bergumam ketakutan:
Sosok satu:
Kau...
Tak mungkin...
(gemetar)
Sosok dua:
Ini...
Tak mungkin...
(histeris)
Semakin ketakutan, semakin histeris, mereka bergerak mundur. Lampu tiba-tiba mati. Kedua sosok itu menjerit keras. Beberapa letusan pistol menggema. Senyap.
Sembilan
Lampu menyala. Di panggung gadis itu masih duduk di kursi. Pandangannya menerawang ke depan. Sesekali dia menghirup rokok dalam dan menghembuskan asapnya dengan sensual. Tiba-tiba menoleh ke pintu masuk seolah ada orang di sana.
Gadis:
Siapa?
Kau…
Tak seharusnya kau...
(menoleh ke arah pintu masuk dengan wajah curiga)
Terlalu cepat kau kembali!
Gadis:
Mengapa?
Setelah begitu lama...
Kau juga lupa?
(gugup, bangkit dari duduk, rokoknya terjatuh dari jepitan jarinya, masih memandangi pintu)
Gadis:
Jangan!
(takut, mudur menjauhi pintu, namun tertahan pada sisi meja)
Aku…
Kau…
Dia?…
Mereka juga?
Jangan!
Jangan!!
Jangaaaan!!
(histeris)
Lampu mendadak mati. Beberapa ledakan pistol terdengar. Suara-suara seperti ada pergulatan terdengar. Sebuah gelas jatuh pecah. Beberapa saat kemudian lampu kembali menyala. Gadis itu telah menggeletak di atas meja dengan kepala menggelantung terbalik menghadap ke depan panggung. Dari mulutnya mengalir darah segar yang masih menetes-netes, matanya terbelalak. Di depan meja ada dua sosok yang menggeletak berlumuran darah. Yang satu menyandar pada kaki meja. di bajunya, tepat di dadanya, darah membasah. Sosok lainnya terkapar menelungkup di kaki sosok yang pertama. Di belakang, menyandar pada dinding belakang, ada pula dua sosok yang berlumuran darah. Lampu kembali mati.
Sepuluh (Epitaph)
Panggung masih gelap. Sesosok bayangan masuk dengan merokok. Tidak dapat dikenali karena gelap. Hanya bara rokoknya yang menyala. Ia melangkah lambat ke tengah panggung dan berhenti di sana. Diam. Hanya bara rokoknya yang bergerak-gerak. Terdengar kemudian ia pergi duduk di kursi. Rokok habis dan puntungnya dijentikkan. Kembali gelap. Selang beberapa saat kemudian dia menyalakan sebuah korek api dan menjentikkannya ke sebuah kaleng di depannya yang langsung menyala membesar dengan api yang menjilat-jilat. Keadaan tiba-tiba terang oleh api itu. Di atas meja masih ada tubuh gadis itu. Di depan meja masih ada dua sosok yang menggeletak berlumuran darah. Dan.. yang duduk dikursi... Ternyata... sosok itu... aku. Ya, aku. Aku yang duduk di kursi itu. Aku yang memandang tajam ke depan. Di genggamanku ada sepucuk pistol. Perlahan-lahan aku tersenyum, senyum kemenangan. Aku kemudian menggumam:
Aku:
Pertunjukan...
Usai!...
Api mulai mengecil dan padam. Panggung gelap.
S E L E S A I
Keterangan Tambahan
Pengkarakteran:
Lelaki pertama:
Seorang yang muda yang gelisah, lelah, hampir-hampir putus asa.
Lelaki kedua
Seorang lelaki yang pasti, penuh semangat, beradrenalin tinggi. Alter-ego dari lelaki pertama.
Gadis
Seorang gadis sensual yang pantas dicintai oleh tiap lelaki.
Sosok satu
Sosok dua
Tokoh-tokoh absurd, imajiner. Hadir sebagai teaser lelaki pertama.
Aku
Sang mahatau... sang mahabisa, dalam kisah ini. Sebaiknya diperankan oleh sang sutradara sendiri, atau seseorang yang berperan sebagai “sutradara”. Disarankan juga agar sang sutradara berada di atas panggung dan aktif mengarahkan pengaturan panggung beberapa saat sebelum pentas, agar penonton mendapat kesan bahwa ia memang sutradara.
Stage Setting:
Panggung ditata dengan sebuah meja dan sebuah kursi, set properti lainnya seperti televisi, radio, bungkus rokok, cangkir, catur, dsb. akan di tambahkan sewaktu pergantian babak, pada saat lampu panggung dimatikan. Dinding belakang panggung disinari dengan image-image dari sebuah proyektor (LCD atau slide), atau paling tidak menggunakan sinar dari lampu dengan nuansa warna merah dan/atau kuning . Pencahayaan diusahakan menggunakan lampu atas dengan tata warna warna kuning dan merah untuk memperkuat aura misterius.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar