Witho B.A
Hari itu Pendeta sedang bertai minya dengan lantang. Suaranya berdebar-debar mengkalimbaha telinga-telinga yang haus akan dusta.
“Jemaat yang saya kasihi, dengan sangat menyesal saya memberitahukan bahwa salah seorang dari kita adalah Setan”.
Orang-orang saling berpandangan kaget, terkejut dengan keterkejutan yang sangat mengejutkan.
Jemaat bertanya . . .
“Siapakah orang itu wahai Bapa Pendeta yang mulia?”
“Dia berambut gondrong dan memakai jins robek.”.
Jemaat saling berpandangan kaget sekaget-kagetnya. Tiga orang tewas seketika, dua orang pingsan dan tujuh belas jantung berderiak kencang. Terdengar bisikan-bisikan.
Jemaat bertanya . . .
“Bagaimana Bapa Pendeta yang kami segani bisa memastikan kalau dia adalah Setan?”.
“Dia pemain band. Musiknya musik Setan. Aku mendengarnya sendiri lewat headphone stereo dengan teknologi surround terbaru. Bunyi gitarnya adalah suara Setan.”
Orang-orang saling berpandangan mengangguk.
“Amin Bapa Pendeta yang kami sucikan . . .”
*
Setelah hari itu aku tak bisa lagi hidup seperti biasa. Tatapan kesedihan dari mata orang tuaku terlalu menusuk jiwa. Apa pun yang kulakukan, mereka tak peduli. Mereka merasa tak punya kekuatan untuk berkomunikasi denganku, bahkan obat kuat macam viagra pun tak memporo. Aku di luar jangkauan mereka.
Setiap hari mereka pergi untuk bertai minya dengan Pendeta. Minta saran, nasehat, kata-kata bijak, dan kadang beras, bahkan uang untuk menguatkan hati mereka agar bisa melewati cobaan ini. Semua orang memandangku dengan rasa takut dan benci di wajah. Banyak yang lari terbulut-bulut bila melihatku dan mengintip dari balik pintu. Bahkan orang tua menggunakan namaku untuk menakuti anak-anak bila tak mengikuti kemauan mereka. Contoh : “Makang capat! Kalu nyanda makang ta pangge pa Witho kong suru loku pa ngana!”
Aku mengurung diri di kamar dan meratapi nasib yang harus kuderita ini. Hatiku terasa sangat sakit. Kepedihan terasa merobek-robek seluruh bajuku. Rasanya aku ingin berteriak dan menangis.
. . . dari rumah tetangga sebelah sayup-sayup terdengar alunan lagu
langit mar manangis lia pa kita hidup manahang siksa . . . .
Aku bukan Setan.
Aku harus meyakinkan mereka.
Aku akan membuktikan itu.
Satu-satunya cara adalah pergi menemui Setan. Dia adalah sumber dari kekacauan ini. Dia harus bertanggung jawab atas kekeliruan ini. Dia harus menjelaskan kepada mereka bahwa aku bukan dia.
Benar!!!
Bila mereka bertemu dengan Setan, semua salah paham ini akan selesai.
*
Malam ini aku melakukannya. Aku akan pergi menemui Setan. Aku akan mati dan pergi mencarinya. Tekadku sudah bulat sebulat onde-onde.
Tanpa buang waktu aku segera mati.
Di Radio SIX3X Nato sedang menyiar. Ia memutar lagu dari NyandaAda Band, Haruskah ku mati karena mu . . . . .
*
“HEI PEMALAS, BANGUN!”
Sebuah suara parau menyadarkan aku dari tidur tanpa mimpi. Begitu keras sehingga aku melompat dari ranjang. Seorang laki-laki tua berdiri di samping tempat tidurku. Ia membawa sebuah tas kulit hitam.
“Dasar pemalas. Semasa hidup kau selalu telat bangun. Matipun kau telat bangun.”
Otakku belum tersadar benar akibat keterkejutan yang sangat luar biasa sekali. Setelah 2,05837 detik, perlahan saraf-saraf yang bergelimpuran di otakku mulai menelongko kalimat yang dilontarkan laki-laki tua itu.
Mati ?!!
Ia mengatakan aku mati !
Kuperhatikan hidupku dengan seksama. Tidak ada tanda-tanda kehidupan.
Kucolek.
Kugelitik.
Kucubit.
Tidak ada reaksi.
Aku mengernyitkan kening.
Benar ! Aku telah mati.
Orang itu tertawa.
“Kau sudah mati. Diluar sana mereka sedang merayakan kematianmu dengan pesta yang meriah, dimeriahkan oleh artis-artis dan terkenal.”
Orang itu mengeluarkan sebuah kalkulator kecil dari tasnya dan mengkalimbaha tombol-tombol kecil di mesin yang tak berdaya itu.
“Aku menghitung biaya pesta ini. Semuanya sekitar dua milyar termasuk cap tikus dan tola-tola kapala babi”. Ia tertawa kecil, kemudian memasukkan kalkulator itu kembali ke tempat asalnya.
“Anda ini siapa?” aku bertanya kepada orang itu.
“Aku adalah Setan”. Jawabnya dengan pose yang kuanggap lucu.
Aku kaget bercampur senang dengan kelegaan yang luar biasa. Akhirnya aku bisa bertemu dengan Setan. Dia adalah jawaban dari semua masalahku.
“Benarkah anda Setan?”
Ia menggerakkan alisnya.
“Jadi benar anda adalah Setan?” tanyaku lagi untuk memastikan.
Orang itu diam . . .
Perlahan-lahan musik sountrack pengiring cerita ini mulai dimainkan . . . (semua musik dalam cerita ini diaransemen oleh saya sendiri, menggunakan teknologi Digital Sampling)
Tiba-tiba ia bergerak secepat kilat dengan gerakan seperti tarian kecoa lapar kemudian berhenti dengan pose yang luar biasa mengharukan dan berteriak dengan suara yang lantang “BENAR ! Aku adalah Setan dan aku adalah jawaban dari semua masalahmu.”
Aku memandangnya dengan mata berbinar. Aku terharu. Air mata menetes-netes di pipiku. Hatiku terasa begitu lega seolah sebuah beban yang sangat berat telah terlepas dari pundakku. Kali ini tidak terdengar lagu langit mar manangis dari rumah tetangga karena DVD Playernya telah digadaikan di Pegadaian.
“Kalau begitu tolong selesaikan kesalahpahaman ini.” Aku memohon kepadanya dengan wajah yang sangat memelas. Orang bernama Satan itu tertawa, memamerkan kedua lesung pipitnya.
“Sabar anak muda. Aku memang datang untuk itu”.
Tanpa bicara lagi dia segera menuju ke luar rumah. Aku mengikutinya dari belakang.
Di depan rumah orang-orang berkumpul merayakan kematianku. Di atas panggung yang besar sebuah band bernama Kerispatah sedang membawakan lagu berjudul Tapi Bukan Dia. Sebuah mimbar diletakkan di depan peti mati bewarna hitam berisi tubuhku. Hanya ada satu karangan bunga di sana, bertuliskan “Turut Berduka Cita. Dari Prof. Witho B.A”. Di bawah tulisan itu ada sebuah tulisan kecil “N.B: Sampe di neraka, lia akang pa Oka kalu dia ada di sana. Tanya pa dia tu ampli gitar ada di mana.”
Di mimbar itu Pendeta bertai minya dengan lantang.
“Saudaraku yang seiman, mari kita bersuka ria karena hari ini Setan sudah mati.” Setan menggelengkan kepalanya. Ia mendekati Pendeta dan berkata.
“Maaf, Pendeta. Saya rasa anda keliru”.
Pendeta memandanginya dengan heran.
“Anda siapa?”
“Oh, maaf. Saya lupa memperkenalkan diri”.
Setan mengambil sebuah kartu dari dompetnya dan sebuah buku dari tasnya, kemudian memberikannya pada Pendeta.
“Saya Setan. Ini KTP dan Visa saya. Saya datang kemari dengan Visa turis”.
Pendeta memperhatikan kedua benda tersebut, kemudian tersenyum.
“Baiklah. Saya rasa kita perlu membicarakan beberapa hal. Ayo, kita bicara di dalam saja”. Pendeta mengajak Setan ke dalam rumah dan berbicara di ruang tamu.
Aku hanya memperhatikan mereka dari luar. Tampaknya pembicaraan mereka sangat serius. Raut muka Setan yang tadinya lucu kini terlihat tegang, begitu juga dengan Pendeta. Beberapa kali Pendeta terlihat menggangguk-angguk mendengarkan penjelasan dari Setan. Sayang aku tidak bisa mendengar pembicaraan mereka.
Setelah hampir setengah jam, mereka keluar sambil tertawa. Pendeta menjabat tangan Setan dan mengatakan sesuatu. Sesudah itu Pendeta kembali ke mimbar dan Setan mengajakku pergi dari tempat itu. Ia membawaku ke hotel tempat ia menginap.
“Bagaimana hasil pembicaraan kalian”. Aku bertanya padanya dengan tidak sabar. Sungguh aku ingin segera tahu kelanjutan nasibku.
Setan menghempaskan dirinya di sofa sambil melepas jaketnya.
“Aku dan Pendeta telah mencapai kesepakatan. Ia mengaku telah keliru”.
“Jadi, semuanya telah selesai ?”
Setan tak menjawab. Ia memandangku.
“Dengar nak. Bagaimanapun, ia adalah Pendeta yang harus menjaga wibawa dan kehormatan di hadapan Jemaat”.
“Maksud anda?” aku tak mengerti dengan jawaban yang diberikan Setan.
“Maksudku, tidak mungkin Pendeta menjelaskan kepada Jemaat bahwa ia telah salah. Itu akan membuat ia kehilangan wibawa. Jemaat tidak akan percaya lagi kepadanya. Ingat, bagi Jemaat, semua tai minya Pendeta adalah kebenaran yang sah dan tak dapat dibantah oleh siapapun”.
Tiba-tiba saja aku merasa lemas mendengar penjelasan dari Setan. Sia-sia sudah usaha yang kulakukan. Sia-sia saja aku mati. Tak ada gunanya aku datang mencari Setan. Aku sudah tidak punya tujuan lagi. Hampa.
Air mata mulai menggenang di kedua mataku. Di Radio SIX3X terdengar Nato sedang menyiar. Ia memutar lagu Cuci Luka deng Aer Mata.
Aku merasakan tangan Setan menepuk pundakku. Aku berpaling dan melihatnya sedang tersenyum dengan kedua lesung pipitnya itu.
“Jangan khawatir, aku dan Pendeta sudah menemukan jalan keluar yang tepat untuk kita semua”.
Dia lalu tertawa dan terus tertawa sementara aku memandangnya dengan pandangan penuh tanya.
*
Antrian di TASPEN cukup panjang. Seorang laki-laki tua sedang duduk di kursi tunggu sambil memegang selembar formulir. Dia terkejut ketika seseorang menegurnya dari belakang.
“Hai Maikel. Lama tak jumpa”.
Laki-laki itu berpaling. Ternyata yang menegurnya adalah Setan.
“Setan ?”
Maikel memandang Setan dengan heran.
Setan tersenyum. Ia melirik selembar formulir di tangan Maikel.
“Mengambil uang pensiun ?”
Maikel tersenyum malu. Ia cepat-cepat memasukkan formulir itu ke dalam sakunya.
“Ya. Namanya juga purnawirawan. Darimana lagi aku bisa hidup kalau bukan dari uang pensiun”.
Mereka antri di loket sambil terus bercakap-cakap.
“Aku ingat ketika kau masih Panglima Perang. Berkali-kali kau hampir membunuhku dengan pedang besarmu yang bermata dua itu. Untung saja aku gesit”.
Mereka berdua terkekeh-kekeh.
“Kau itu bukan gesit, kau licik. Jika tidak, pasti kepalamu sudah putus”.
Mereka tampaknya bahagia mengenang masa lalu, tertawa terbahak-bahak sampai mengeluarkan air mata. Maikel tiba-tiba menyadari sesuatu.
“Oh ya, apa yang kau lakukan di sini? Bukankah kau harusnya bekerja?”.
Setan tak menjawab pertanyaan itu. Ia mengeluarkan selembar formulir dari kantongnya dan mengibas-ngibaskannya di depan Maikel yang kaget melihatnya.
“Hei, kenapa kau punya . . . , oh tidak . . . , jangan katakan kalau kau juga sudah pensiun . . .”
Setan tersenyum sangat amat lebar sekali.
“Pokoknya jangan lagi panggil aku setan. Mulai sekarang kau bisa memanggilku dengan namaku saja, Sumianto.”
“Baiklah”
Mereka berpandangan.
Kemudian tersenyum.
Kemudian tertawa sambil membicarakan masa lalu.
*
Di neraka, sebuah pesta besar sedang berlangsung. Semua penghuni neraka menyambut pemimpin baru mereka yang dilantik pada hari ini. Seluruh neraka bersuka ria. Akhirnya pemimpin mereka yang sudah tua renta dan tidak gaul itu digantikan seorang pemuda yang masih segar dengan visi dan inovasi yang jauh lebih maju. Hentakan musik di atas puluhan panggung musik membuat semua orang melompat-lompat. Artis-artis terbesar sepanjang masa tampil secara bersamaan. Kurt Cobain, Freddy Mercury, Jim Morrison, Janis Joplin, Jimmy Hendrix, John Lennon dan banyak lagi! Tak ketinggalan juga artis-artis dari Indonesia macam Gombloh, Chrisye, Ahmad Dani, Ian Kasela dan Moldy Radja serta ribuan artis lainnya, termasuk kolintang dan musik bambu turut ambil bagian dalam acara akbar ini. MURA (Museum Rekor Akheerat) mencatat acara ini sebagai acara terbesar yang pernah digelar di dunia maupun di akheerat.
Di atas singgasana, Pimpinan Neraka yang baru duduk santai dengan senyuman yang teramat sangat manis sekali, dikelilingi wanita-wanita telanjang yang menggoda.
Dari seluruh penghuni neraka, ternyata ada satu orang yang tidak diijinkan menikmati kemegahan ini. Dia dikurung dalam kerangkeng yang sangat sempit sekali dengan tangan terikat di belakang, dan telinga serta mulut yang disumpal dengan gabus. Di depan kerangkeng ada papan bertuliskan :
NO. INDUK : C5çA43D∑6Œ7A‡1F2
NAMA : Greenhill Glanvon Weol
DOSA : PAPANCURI
Di bagian bawah papan itu ada tulisan yang tampaknya baru saja ditambahkan dengan tulisan tangan :
“Kase pulang dulu kita pe VGA baru bole maso pesta”
*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar