Senin, 26 Juli 2010

Suamiku Seekor Babi

Billy Kalalo



Entah apa yang terjadi dengan diriku. Entah kuman apa yang merecoki otakku. Tiba-tiba saja aku merasa suamiku itu seekor babi. Sudah kuguncang kepalaku. Sudah kukucek mataku. Tetap saja ia seekor babi. Bundar, putih, pendek dan gemuk dengan ekor melengkung dua kali membentuk spiral. Sebenarnya kejadian itu tidak terjadi sekaligus. Mula-mula hidungnya yang memesek bulat dengan dua lubangnya yang pipih. Kemudian telinganya menggelepai lebar bak daun talas. Lalu kedua kaki tangannya mengerucut pendek dengan lengan yang montok. Terakhir di belakangnya muncul buntut yang menyerupai spiral tersebut. Lucu sih, tapi tetap saja ia seekor babi. Dan kalau ia babi, berarti sebagai manusia, aku sudah berbuat dosa. Dosa yang konon tak terampunkan. Karena menikahi seekor binatang.
Aku sangsi dengan perasaanku itu. Untuk menegaskan, kubuka kembali foto-foto perkawinan kami yang dilangsungkan di hotel berbintang lima ternama, hampir dua dekade silam itu. Karena ketika ia kunikahi, ia kutahu seorang pemuda gagah dari keluarga terpandang. Yang terkenal punya santun dan aturan. Pengusaha muda yang mewarisi usaha mertuaku yang kaya raya. Bukan babi yang terseok-seok dengan pantatnya yang bahenol. Dengan degup di rongga, kudekap album itu sejenak ke dada sembari menautkan asa semoga kenyataan itu berbeda. Dan setelah kisi-kisi jiwaku terasa siap, kusibak lembar album tebal itu perlahan-lahan. Dan aku pun sontak terundur dengan tangan di kening. Astaga, ia memanglah seekor babi!! Bedanya cuma pada pakaian pengantin rancangan disainer kondang Italia yang dikenakannya itu. Lengkap dengan seutas dasi kupu-kupu yang melingkari kerah. Dan betapa masygulnya hatiku manakala mendapati di saat yang indah penuh bunga itu, aku nampak begitu bahagia menggandeng tangannya dalam busana serba putih terurai panjang. Menggandeng babi sembari tersenyum bangga. Mengapa tak dari dulu kusadari dia seekor babi! Sesalku tak habis pikir.
Aku tak percaya! Bukti tak cukup bila hanya satu. Dengan jantung berdebar kuambil album foto keluarga kami. Album yang mencantumkan gambar kami berdua, lengkap bersama dua pasang buah hati kami yang gagah dan cantik. Hasil pernikahan kami nan suci. Dan sesudah mengamatinya dengan seksama. Lagi-lagi aku terperangah. Aku kian tak menyangka. Dengan latar belakang pemandangan Tanah Lot yang indah, saat liburan keluarga, ia dan aku sedang mengapit kedua anak kami dengan mesra. Dan dalam pose itu, ia tetaplah seekor babi! Hanya saja kali ini ia sedang tersenyum riang seraya melingkarkan tangannya ke punggung putri kami. Kakinya menyilang gagah bak gaya seorang foto model majalah remaja. Oh, untuk kali itulah aku melihat seekor babi tersenyum dan bersilang kaki. Memamerkan giginya yang tajam. Putih sih, tapi oh, itu kan gigi babi! Sekejab aku merasa menjadi Miss Piggy.
Aku berupaya mengendalikan perasaanku itu. Hari lepas hari kucoba yakini bahwa ia tetaplah seorang manusia. Meski berat hati, kupaksakan melayaninya di tepi meja makan. Duduk sembari menatap ia menyantap hidangan dengan lahapnya. Perutku serasa membelit mual manakala menyaksikan ia menyauk soto ayam itu lalu menyuapnya ke mulutnya. Di makanan basah seperti itu, ia semakin lengkap menjadi seekor babi. Apalagi saat so’un itu bergeliang-geliut di sela bibirnya karena terlalu panjang. Ihh.. Itu seperti cacing yang sudah lama terendam air sehingga pucat dan membengkak. Aku bergidik jijik. Segera kutepis pikiran sesat itu jauh-jauh. Dan di malam harinya, kutemani ia menonton televisi. Atas inisiatifnya sendiri, ia memilih siaran Discovery. Sungguh sial memang diriku ini. Secara kebetulan stasiun itu menayangkan sebuah program tentang kehidupan babi. Mulai dari yang balita sampai dewasa. Mereka makan berebutan. Berlarian di padang dengan langkah dikicik-kicik. Seolah jarak semeter kan ditempuh setahun lamanya. Memperdengarkan nguik-nguiknya yang menyebalkan.
Dan semakin tak kumengerti, ia seakan-akan paham dengan kehidupan hewan itu. Ia kelihatan tak peduli dengan narasi yang mengiringi untuk menjelaskan lika-liku kehidupan hewan itu. Mereka seolah punya bahasa khusus yang berbau pribadi. Sesekali ia tergelak dengan tingkah beberapa babi dalam tayangan itu. Kulirik ia diam-diam. Oh, gusti! Dengan kaki bersilang dan tangan didepangkan di sofa, ia benar-benar babi! Babi yang sedang mengunyah potato chips! Kunyuk! Caciku dalam hati. Segera kutinggalkan ia di sofa itu. Namun derita itu ternyata belum berakhir. Malam tersebut ia menikam-nikamku dengan nafsunya yang terasa tawar. Melelerkan keringatnya yang tiba-tiba berbau basi. Betapa aku ingin muntah dikeloni seekor babi. Usai permainan itu, aku tak tertidur. Gelisah dengan diri sendiri. Mungkinkah aku sudah gila? Gerangku pada diri sendiri. Kalau ia babi, bukankah anak-anak kami tentu rupanya seperti babi jua? Tapi mereka gagah dan cantik. Yang laki mirip Anjasmara sedang yang putri mirip Diana Pungky. Aku mulai merasa miring. Dan manakala dengkurnya yang berat nan nyaring itu terdengar. Paripurnalah sudah perasaanku itu. Aku memang sedang tidur dengan babi!
“Babi itu sebenarnya binatang terbersih lho, Clara.” Kata Eva ketika ia datang ke rumahku siang itu. Dengan hipokrit tingkat tinggi, kuajak ia berbasa-basi perihal hewan itu.
“Maksudmu?” kejarku tak mengerti.
“Secara fisik, ia bersih. Tapi kebiasaannya bermain-main di wilayah basah serta kotor membuat ia dianggap hina dan jorok.” Terang Eva tanpa bisa menebak apa yang sedang mengusik otakku.
“Oooo...” longlongku seolah memahami. Segera kututup diskusi itu agar karibku sejak remaja itu tidak curiga. Mengapa membahas babi? Mengapa tidak kucing atau anjing? Hewan yang lebih dekat dengan naluri perempuan? Dan ketika Eva pulang sore harinya. Aku merasa terganggu dengan pendapatnya tersebut.
Secara fisik suamiku memang bersih dan putih. Sehat dan rupawan. Dan ia memang mencari nafkah di wilayah basah dan mungkin saja kotor. Ia punya perusahaan kayu dan perikanan yang kutahu kerap menempuh cara belakang. Kukenang awalnya sampai perasaan babi itu mulai terbit di benakku. Sebab itu pasti tidak muncul secara tiba-tiba. Aku pun mulai menyadari muasalnya kenapa aku jadi nyeleneh begini. Sebagai pengusaha, suamiku kutahu sering melanglang buana kemana-mana. Mengilang berhari-hari demi menghidupi dapur kami yang sesungguhnya sudah lebih dari sekadar mengepul. Ia pun kutahu dekat dengan beberapa pejabat. Bahkan sejak tahun lalu ia jadi anggota legislatif dari sebuah partai baru yang pelopornya telah sukses menjadi penguasa. Ia menempati nomor urut satu karena menjadi sponsor kuat partai itu. Dan aku masa bodoh. Aku tak peduli sorotan orang tentang cara dia bekerja atau menjalankan usaha. Yang kupeduli adalah nasib rumah-tangga dan masa depan putra-putri kami.
Dan di situlah mungkin titik tolaknya. Lima tahun awal pernikahan kami, aku sangat bahagia dan bangga. Gadis mana yang tak bangga? Ia sangat ideal. Gagah, kaya dan cerdas. Ia memenuhi segala mimpiku. Ia mengabulkan setiap permintaanku. Memanjakanku luar maupun dalam. Keadaan tambah bergairah dengan lahirnya kedua buah hati kami. Namun seiring beringsutnya detak sang waktu, keadaan perlahan berubah. Ia mulai sering kemalaman. Dari sekadar larut berlanjut sampai subuh. Dari sehari tanpa pulang berkembang menjadi dua hari, kemudian seminggu. Dan umumnya tanpa pemberitahuan sebelumnya. Aku mulai tak betah. Sebagai seorang istri aku kerap merasakan kesepian. Dan sebagai seorang wanita yang getas, yang sangat gigih menjaga dan merawat mahligai pernikahannya, wajar bila aku mulai berasa was-was. Pernah ia pulang subuh hari, kutemukan bau alkohol di nafasnya. Tapi meski bau itu kemudian menjadi ritus rutin yang memualkan. Bukan itu yang membuatku teriris. Aku hafal betul semua aroma minyak wangi koleksinya. Aku menemukan aroma lain berpendar dari jasnya. Karena takut dituduh mengada-ada. Kusimpan itu dalam-dalam. Kependam kecurigaan itu rapat-rapat. Namun ironisnya, itu terjadi simultan, hari-hari selanjutnya kucium wangi lembut yang berganti-ganti. Dan parahnya ia mulai “lemah”.
Karena tak tahan, suatu hari kutanya juga tentang aktifitasnya. Kuselidik juga kegiatannya. Dan ia terlihat jengah meladeninya. Esoknya manakala kudesak kembali, ia terlihat mulai marah. Dengan pongah ia berganjak dengan dada menggembung emosi. Aku cuma bisa berdesah. Aku sadar tak berdaya, minyak wangi bukan bukti yang kuat untuk menghakimi. Hari-hariku kian tak tenteram. Selentingan kudengar ia mulai dicaci maki media, dituding menelikung aspirasi pemilihnya. Entah mengapa, diam-diam aku turut mendukung sinyalemen itu.
Semakin lama dadaku semakin sembab dan pengap, dan emosiku meletup juga kala kutemukan merah terukir indah di punggung dan lehernya. Ketika kutanya, ia malah mendamprat dan mencaci-maki. Katanya itu sisa garukan kuku tangannya. Garukan yang bagiku terlihat sangat mesra. Saat itulah kulihat hidungnya berangsur-angsur menjelma menjadi hidung babi. Demi nama baik keluarga dan menjaga citra di mata kedua putra-putriku yang terkasih, kupaksakan juga untuk berbesar hati. Mendampinginya mesra dengan kebaya membalut raga. Menyalami Kolega-koleganya dalam setiap acara dengan senyum bahagia. Tapi usai seremoni-seremoni semu itu, diam-diam aku menyepi. Merenung diri dalam sunyi. Memendam cemas dengan mata basah. Sebab aku masih mencintainya. Tetapi justru anak-anaklah yang sewot.
“Kok Papa jadi begitu sih, Mama!” Protes yang bungsu padaku. Keningku bertaut pura-pura.
“Jadi begitu bagaimana?” tanyaku mencoba bersikap biasa.
“Entahlah, cuma kayaknya Papa jadi lain. Revo sekali-kali ingin jalan-jalan dengan Papa. Tapi Papa selalu tak punya waktu. Papa tak seperti dulu.” Dongkolnya memberut. Aku terkesah dalam dada, ternyata duri itu bukan cuma aku yang rasa. Namun ketika itu kuutarakan padanya, inilah jawabnya.
“Clara. Ngerti dong, Sayang. Sejak jadi anggota legislatif, aku kian sibuk. Mengurus perusahaan dan tugas-tugas legislasi. Ikut rapat-rapat komisi. Tugas-tugas daerah. Urusan partai. Belum lagi kepentingan-kepentingan perusahaan yang tak bisa aku delegasikan.” Ucapnya dengan raut memelas memohon pengertian. Bau wangi yang aneh itu secara bersamaan menyerbak. Dan saat itulah kulihat telinganya lambat-laun melebar menyerupai telinga babi.
Dalam arisan ibu-ibu anggota legislatif yang terpaksa kuikut. Ada selenting gunjingan yang mulai menyebut-nyebut kehidupan suamiku. Menyangsikan kesetiaannya. Meragukan dedikasinya sebagai anggota dewan. Menggugat posisi rangkapnya sebagai pengusaha. Kutebalkan wajah dan dada tuk meladeninya. Kubela ia sepenuh raga. Kudukung aktifitasnya dengan pura-pura. Padahal aku sebenarnya merasa dicerca. Dan dalam kondisi sukma yang remuk berceceran, kutetap bersikap mesra padanya. Dan tanpa peduli dengan siksa yang kurasa, kulihat ia justru kian terlena dengan pengertian yang kuberi. Penampilannya semakin muda, dandanannya pun kian dandy. Dan di suatu ketika, tanpa sengaja kukuping walkman yang belum sempat ia matikan yang terbiar di atas kasur saat ia beranjak mandi. Astaga! Henyakku terheran-heran. Sebuah lagu dari Peterpan! Dan ketika ia keluar dari kamar mandi hanya dengan selembar handuk melilit pinggang, dengan wajah cerah-ceria bak seorang remaja yang tengah dirundung asmara, sembari bersiul-siul meniru lirik lagu “Kukatakan Dengan Indah.” Di saat itulah kulihat kedua tangan dan kaki serta tubuhnya berubah menjadi babi! Ia mencoba menciumku tapi kutolak. Dengan alasan ingin ke dapur. Kutinggalkan ia sendirian.
Suatu waktu ia mengatakan hendak ke Papua selama seminggu untuk mengecek cabang perusahan kami di sana. Saat ia berada di sana, kuputuskan mengambil hati anak-anak dengan mengajak mereka berbelanja sambil jalan-jalan ke mal. Kami berbelanja sepuas-puasnya dan makan di sebuah gerai fast food ternama. Dan betapa syoknya aku tatkala dari balik kaca. Kulihat babi itu ternyata tidak ke Papua. Ia sedang berjalan menjinjing tas belanjaan dalam gandengan seorang gadis belia. Sangat belia, tinggi dan seksi. Mungkin seumur Ariel Peterpan atau Luna Maya. Babi itu menyamarkan penampilannya, tapi aku hafal betul bentuk dan gerik tubuhnya. Hatiku memuai hancur. Kualihkan perhatian dari situ dalam sukma lebur berkeping-keping agar pemandangan itu tidak terbaca oleh kedua anak kami.
Dan meski babi. Ia ternyata bisa berubah wujud pula menjadi merpati. Seperti bualannya, ia memang kembali seminggu sesuai ucapannya. Pura-pura kusambut ia dengan mesra. Seolah tak terjadi apa-apa. Kujemput ia dengan hangat. Peluk cium, tegur sapa kulontarkan dengan lembutnya. Dengan sekepal doa, semoga sekeping jujur kan terlontar dari lidahnya. Dan dengan demikian aku berharap, telinga, tubuh dan hidungnya itu kan kembali berujud manusia. Pulih seiring pengakuannya. Tapi dengan letih yang penuh pura-pura. Ia rebah di peraduan seraya mengajakku bermesra. Sudah poloslah sekujur tubuhnya saat pura-pura kuselisik apa saja yang telah ia lakukan selama di Papua.
“Sibuk!” katanya tanpa rasa berdosa. Cuihh! Hatiku langsung mendecih. Ingin muntah dan benci.
“Benar-benar sibuk!” Gelengnya seakan ia baru menghabiskan satu lomba marathon yang melelahkan.
“Nyaris tak ada waktu bagiku untuk kemana-mana. Aku terpaksa memeriksa sendiri lokasi HPH itu karena orang-orang kita di sana tak kuasa mengatasi mereka. Beberapa LSM di sana masih menuding itu bukan hutan produksi. Brengsek! Cecunguk-cecunguk itu ternyata cuma ingin mencari uang.” Dengkusnya jengkel.
“Tapi syukurlah, semua sudah terselesaikan.” tukasnya lega sembari berupaya mendekatkan bibirnya ke mulutku. Bibir seekor babi yang jorok.
Perasaanku langsung tawar dan hambar. Dalam tubuh polos laksana balita itu. Kulihat seutas ekor babi lambat-lambat terjulur dari sela bongkahan pantatnya lalu melengkung membentuk spiral. Pendek dan mungil. Kutinggalkan ia sendirian di kasur itu dengan jengah tak terkira. Saat itu juga, kularikan mobilku ke rumah Eva. Kutersedu di pangkuannya. Namun aku hanya bungkam ketika ia menanyakan sebabnya. Kubilang aku mulai merasa diabaikan oleh pekerjaan suamiku. Eva pun berceloteh dengan kalimat-kalimat bijaknya, mengutip ungkapan-ungkapan basi. Aku pun berlagak rungu dan netra.
Setelah menyisir semua alasan sehingga perasaan telah menikahi seekor babi itu datang menyambangiku. Aku pun tergegau. Babi itu ada di pikiran dan hatiku. Tumbuh dan tervisualisai secara berangsur-angsur dari sanubari. Bukan di mataku. Demi alasan klise, nama baik dan anak-anak. Kujalani hidup seolah tanpa dosa. Kuretas hari penuh sandiwara. Aku pun mulai rajin berdandan dan keluar rumah. Kucoba menutup hati dengan memelototi para jejaka muda yang sepertinya masih tertarik melirik belahanku yang rendah. Kuingin sampaikan pesan bahwa aku juga bisa berlaku serupa. Meski tak kulakukan sejauh dia, hanya terbatas pada lirik dan cakap. Kususur hari-hariku dengan munafik di dada.
“Tante cantik sekali.” Puji adik lelaki terbontot Eva yang masih remaja dan aku pun sumringah. Tak jarang kusemprotkan minyak wangi pria ke baju dan sengaja memamerkan itu padanya. Ia mencak-mencak tanpa juntrungannya. Aku lega, seolah benci itu terlepas dari sukma.
Sayang, ganjalan itu terus membenam di dada. Karena ia tetap saja seekor babi. Dan ketika anak-anak mulai marah-marah, memprotes segala perubahan perilakuku, aku pun memapangkan wajah di kebeningan kaca. Oh, mengapa hidungku kini mulai terlihat pipih seperti babi? Cemasku gundah. Kukibaskan benak tuk menegur diri. Virus babi itu mulai menular padaku, sebentar lagi aku mirip seperti dia dan aku mesti menghindarinya. Demi menghindari organ-organ lainku turut bermetamorfosis, kuputuskan menjauhi semua aksi balas dendam itu. Kembali mendekam di rumah sebagai wanita berkebaya. Jauh dari tank top atau jins ketat. Sementara di lajunya putaran sang waktu, suamiku semakin lengkap berubah jelma. Bulu-bulu albino yang kasar mulai muncul di pori-pori kulitnya. Dan aku pun tak mau tidur lagi dengannya.
“Tiada babi yang hidup lama, Clara.” Kata Eva suatu waktu ketika kembali kuajak bicara tentang hewan itu. Sebersit kernyitan aneh nampak menggurat di keningnya oleh topik yang kelihatannya sangat antusias kubicarakan itu.
“Babi selalu berakhir di penjagalan. Dipelihara sampai gemuk kemudian disembelih. Disantap oleh orang yang tidak mengharamkannya.” Imbuhnya menjelaskan.
“Masa sih? Apa tidak ada cara lain memperlakukannya? Misalnya dipelihara secara bersih. Kemudian dipajang sebagai tontonan.” Kataku mencoba berbelas asih. Eva pun tergelak.
“Mana ada babi dipelihara di depan rumah-rumah, Clara. Bahkan di kebun binatang pun barangkali tidak.” Tukasnya geli.
“Ah, aku pernah melihat babi dipelihara di kebun binatang.” Tepisku mencoba menghibur diri.
“Clara, Clara. Itu babi hutan yang sudah langka. Bukan babi peternakan yang berkulit albino yang penggemukannya secara sistematis diatur. Kalaupun babi hutan itu belum langka. Pasti ia dibiarkan begitu saja. Ia dikurung agar tidak diburu. Dilindungi agar bisa menjaga populasi. Dan kalau ia terpaksa dipajang di kebun binatang, semata-mata agar anak-anak kita bisa melihatnya. Demi kepentingan ilmu pengetahuan. Sebagai pengingat bahwa ia bagian dari flora dan fauna.” Beber Eva menggeleng-gelengkan kepala.
“Tapi ada juga babi yang terkenal, main di film-film hollywood.” Sangkalku tak mau kalah.
“Lalu apa? Mereka dipelihara sampai tua di rumah jompo yang mahal? Kamu minta tanda-tangan pada mereka? Tidak, Clara! Kalaupun ia tidak disembelih. Ia dibiarkan mati dengan sendirinya. Itu pun dilakukan semata-mata karena ia telah berbuat jasa. Di luar itu, ia tetap babi. Pokoknya apapun jenis babi, ia pasti berakhir di penjagalan. Lagipula, secara kodrati, umur babi memang tidak panjang. Tidak seperti gajah bahkan burung. Ia menempati urutan terendah dalam rantai makanan.” Cetus Eva meringkaskan maksudnya.
Bergidik aku mendengarnya. Namun secarik naluri aneh menyelusup ke dalam relungku. Suamiku bukan berasal dari hutan. Ia kupelihara sampai bersih dan gemuk. Dan babi seperti dia belum langka. Banyak betebaran di kota-kota besar pun kecil. Babi yang gemar merusak semak-semak muda. Sebagai babi, memang layak juga kalau ia disembelih. Posturnya sudah memadai. Dan ditinjau dari aspek babi, ia tidak punya jasa-jasa apa-apa padaku.
“Bagaimana cara mereka menjagalnya?” selisikku dengan desir aneh mengaliri darah.
“Umumnya ditusuk atau digorok dengan belati.” Tandas Eva tanpa sedikit pun rasa ngeri. Ia bicara laksana sarjana yang paham betul ilmu-ilmu peternakan. Aku manggut-manggut mengerti dengan mulut sedikit terlongo dan mata mengambang. Sekeping mengkal yang sekian lama menghuni hati itu seperti lesap diusir sebilah pemikiran.
Dan ketika sebilah pemikiran itu berangsur-angsur menjadi ketetapan, sejak itu pula aku mulai menyimpan belati. Dalam lubuk hati, kuberharap semoga suamiku kembali menjadi manusia. Kembali berempati dan bernurani. Tapi lama-kelamaan tubuhnya justru makin semok. Montok dengan otot-otot yang menggelembung empuk. Kelakuannya pun kian mirip babi. Mengunggis-ngunggis hatiku dengan hidungnya yang pipih. Berbicaranya seperti nguik yang mengemis-ngemis minta disembelih.
Subuh itu ia baru pulang. Dari kamar sebelah kubangun menengok dirinya. Tanpa mencuci tangan dan wajah, ia langsung mengganti pakaian lalu sembunyi di bawah selimut dan segera tertidur. Tanpa tegur dan sapa. Kuraih jasnya. Ugh... Bau dan sapu tangan itu jelas-jelas milik kaum hawa. Tapi aku tidak merasa apa-apa mendapatinya. Kurasa wajar sebab bagiku ia sudah sempurna menjadi babi. Kuperhatikan rautnya yang lelap. Parasnya memburai bahagia. Seolah baru disodori pesona. Kuselusur tubuhnya dari jempol kaki hingga kepala dengan pandangan. Aku menelan ludah. Babi yang montok itu begitu menggiurkan. Begitu pasrah dan rela. Dengkurnya yang teratur membuatnya ia begitu bergairah tuk disembelih. Pelan-pelan kuraih belati itu di laci. Dalam sinar lampu tidur yang temaram kuawasi ia baik-baik. Kucermati wajahnya lekat-lekat. Ia memang bukan suamiku. Ia seekor babi! Simpulku tanpa ragu. Kugenggam belati itu dengan kedua tangan. Kuacungkan tinggi-tinggi. Dan tanpa rasa bersalah apa-apa. Kuhujamkan belati itu ke tubuh si babi dalam beberapa ayunan. Mata yang lelap itu pun mencelat. Menoleh padaku sejenak dengan raut terperanjat. Darah itu muncrat. Babi itu mengejang sesaat lalu tergolek dengan mata membeliak.
Aku pun merasa bebas setelah menemukan babi itu kini tak bergerak. Kuukirkan lega ke belahan bibirku. Kusunggingkan puas ke lembar benakku. Seperti kata Eva, babi itu sudah berakhir di penjagalan. Dan ketika bebas itu selesai menerpa. Ketika merah yang membasahi kedua lenganku itu mulai terasa dingin. Rasa kosong itu seketika menyergap. Kugerayangi bercak yang menodai sekujur piyamaku yang putih. Kutoleh bangkai babi itu. Hewan itu lambat-lambat berubah bentuk. Aku pun tersentak. Terundur kakiku terjejak. Kulempar belati itu dengan pekik. Kutangkup telapak tangan ke mulut. Kuamati kembali seonggok bangkai bermandi darah itu baik-baik. Tungkaiku seketika bergeletar. Berangsur-angsur lunglai. Jatuh menimpa bumi. Oh, Tuhan. Suamiku ternyata bukan seekor babi...

Ika, Thanks neh...
Manado, 08 November 2005

2 komentar:

  1. wah cerpen sebagus ini masa tak ada yg komen...

    BalasHapus
  2. nah, ini kan sudah ada yang comen, andalah orang pertama yang mengcomen,..he..he..

    BalasHapus