Minggu, 25 Juli 2010

Merenung

Dean Joe Kalalo




MARKUS termasuk pria dewasa yang jarang merenung. Tabiat itu ia sadari setelah akhirnya ia merenung juga siang itu. Di saat karyawan-karyawan bawahannya tengah sibuk bekerja, ia malah merenung.
Merenung sebetulnya bukan aktifitas rumit, bisa dilakukan di tempat manapun. Orang tinggal duduk, tidur, dan merenung. Tapi Markus begitu tak habis pikir kenapa sampai ia jarang sekali merenung. Padahal kalau saja terpikir, ia bisa merenung saat jam istirahat kerja, sebelum tidur, dan banyak lagi kesempatan yang bisa ia manfaatkan untuk melakukan pekerjaan yang hanya memerlukan sedikit energi itu. Meski memang ia harus mangabaikan rutinitas lain yang telah sangat melekat sebelumnya.
Dan kalau Markus akhirnya merenung, itu tidak terjadi begitu saja. Minggu lalu Reni, anak perempuannya, yang setahu Markus begitu cerewet dan lucu, semakin menegaskan bahwa ia memang tak lagi selucu yang diharapkan.
“Kamu kok akhir-akhir ini sudah jarang minta duit?” tanya Markus sambil menyemir sepatu mahalnya sebelum ke kantor pagi itu.
“Aku hamil Yah, jadi mungkin mau cuti setahun dulu. Selain itu setelah dipikir-pikir rasanya aku butuh libur panjang, bosan belajar terus” sahut Reni seraya melahap roti tawar lapisnya di meja makan.
Sebagai orang tua normal, Markus terperanjat. Sungguh di luar dugaan pertanyaan sederhana itu memperoleh jawaban yang sama sekali tidak sederhana. Seketika ia merasa menjadi berkali-kali lipat lebih tua dari usianya yang baru tiga puluh delapan tahun. Markus tak tahu mesti memilih ekspresi apa menanggapi kejutan itu. Terlampau riskan baginya jika harus marah, akan sangat menggelikan mengingat di mata anak-anak ia adalah pribadi yang bersahaja. Tenang-tenang saja akan menimbulkan anggapan bahwa ia orangtua masa bodoh dan tak memiliki sikap.
Pikiran Markus melantur kesana-kemari mempertimbangkan mungkin ada yang salah dengan dirinya. Memiliki istri yang bahagia, dua orang anak yang penurut, sebetulnya adalah bukti nyata bahwa ia merupakan seorang kepala keluarga yang cukup sukses. Jika dikatakan kurang, itu terlampau mengada-ada. Apalagi sebagai pengusaha perusahan yang ia pimpin terus menunjukkan tanda-tanda peningkatan dari tahun ke tahun.
“Rasanya aku tak kenal lagi dengan Reni”. Bisiknya dalam hati. Ia lupa kapan terakhir melihat putri bungsunya masih lucu dan menggemaskan. Yang selalu dipeluknya erat-erat ketika sore hari pulang dari kantor. Yang senyum manisnya mampu melumpuhkan rasa stres setelah bekerja seharian. Kenapa kenangan itu seperti ditelan bumi?. Markus manggut-manggut sendiri. Jelas itu tak terjadi lagi karena sekarang ia pulang ke rumah bukannya sore, tapi malam atau menjelang subuh. Lantas kemana saja Markus hingga tak langsung berlabuh di rumahnya yang mewah?. Tanyanya lagi pada diri sendiri. Paling main billiar dengan rekan bisnis. Kemudian santai-santai di sebuah kafe. Minum bir sambil khusyuk masyuk dengan Linda, wanita sexy tempatnya menumpahkan beban dan gundah gulana. Ngobrol-ngobrol, tukar pikiran, yang ujung-ujungnya main-main di kamar hotel.
Banyak hal yang dipuja Markus dari perempuan itu. Boleh jadi apa yang dibutuhkannya dari seorang wanita melekat erat pada diri Linda. Sifatnya yang manja, senyum manis, bagai malaikat kesejukan. Tak heran Markus sering memeluk bantal erat-erat jika sebelum tidur pikirannya terdampar akan manisnya perlakuan yang diberikan perempuan itu. Bahkan suatu waktu sepasang kekasih ini pernah menghabiskan masa-masa manis sambil menikmati panorama indah kota-kota eksotis di Eropa sebulan penuh. Sesuatu yang tak sekalipun ia jalani bersama istri dan anak-anak. Jangankan jalan-jalan ke luar negeri, rekreasi ke pantai di hari libur saja rasanya tak pernah. Toh istrinya tak pernah protes, atau mengeluh dan menarik diri sebagai pribadi yang penurut. Reni dan Raymond terlihat nyaman-nyaman saja dan tetap menikmati masa muda mereka sebagai remaja modern. Hingga bagaimanapun, segalanya tetap tampak harmonis.
Siang itu setelah merenung dua jam penuh, Markus merasa perlu mengambil sikap. Ia tak melancong kemana-mana sehabis kerja. Mobil lekas-lekas di kebutnya ke rumah. Rupanya masih sunyi. Cuma pembantu sendirian sedang menyiram bunga. Markus melangkah pelan ke dalam. Tas kantor diletakkan begitu saja pada kursi di teras. Ia duduk di situ menanti putri kesayangannya pulang. Menjelang malam Reni tiba di rumah diantar seorang lelaki dengan sebuah sedan hitam.
“Dari mana kamu?” Markus mencoba berwibawa dengan menajamkan tatapan.
Reni diam sesaat. “ada apa Yah?”. sapanya tersenyum.
“Duduk, ada yang mau Papa bicarakan”. Reni tetap tenang lalu duduk di kursi depan ayahnya.
“Entah papa atau kamu yang salah. Tapi belakangan papa cukup tercengang melihat perkembangan kamu. Selama ini papa kasih kamu kebebasan karena papa yakin kamu tahu yang terbaik. Sekarang tidak ada gunanya membahas hal itu. Rencananya kamu mau papa nikahkan kapan?”
Reni terkejut. “Menikah?, siapa yang mau nikah Pa?”
Markus tak kalah herannya. “maksud kamu?”
“Menikah di umur enam belas tahun tentu malapetaka bagi siapa saja dong Pa, aku masih ingin menikmati masa remaja”
Lagi-lagi keberanian anaknya membuat Markus rikuh. “terus status kamu bagaimana setelah melahirkan nanti?”
“Pokoknya aku belum mau menikah. Kalau bayiku lahir kita bisa sewa babysitter untuk merawatnya kan, Papa tak perlu khawatir”
“Yang papa maksud status kamu”
“Sekarang jaman modern Pa. Masak segala formalitas begitu masih dipikirkan”
Markus diam. Dan percakapan antar anak dan ayah itu berakhir begitu saja tanpa berlarut-larut.
Karena istri dan anaknya yang sulung Raymond tidak terlalu mengambil pusing dengan kehamilan Reni, perlahan persoalan itu tak lagi membebaninya. Zaman memang sudah berubah. Ia masih mempunyai harta yang melimpah untuk menghidupi cucu-cucunya nanti. Semua bukan masalah. Setiap orang mempunyai pilihan hidup sendiri. Ia merasa perlu menghargai pilihan hidup yang diambil Reni. Apalagi gadis cantik itu satu-satunya anak perempuan kesayangannya.
Reni menjalani proses penantiannya sebagai seorang ibu dengan bahagia. Pacarnya sesekali datang ke rumah menengok kondisi Reni dan calon buah hati mereka. Hidup bergulir tenang. Markus semakin sibuk bergelut dengan lika-liku bisnis perusahan. Sang istri tetap keasyikan dengan urusan antar ibu-ibu lain sesama istri pengusaha kaya. Setelah melahirkan, seperti yang sudah direncanakan, seorang penjaga bayi direkrut untuk mengurus bayi mungil nan sehat itu. Reni tampak sudah tidak sabar untuk menikmati kembali masa mudanya bersama teman-teman yang lain. Dan segala sesuatupun bergulir normal.
Manusia memang tak ada puasnya. Setelah setahun lewat, Markus mulai menemui titik jenuh menjalin hubungan intim dengan Linda. Kini apa yang dipujanya dari perempuan itu terasa lebih memuakkan dari rasa stres. Apalagi di saat bersamaan perempuan itu mulai menuntut sesuatu di luar porsinya sebagai simpanan. Ia membujuk Markus membelikan sebuah rumah pribadi. Dan yang terparah, Markus dihasut untuk menceraikan istri kemudian mengawininya.
Merasa sudah keterlaluan, tanpa banyak pikir perempuan itu ia tinggalkan. Hanya akan berakibat buruk baginya jika terus mempertahankan hubungan itu.
Ternyata setelah itu hidupnya tak menjadi lebih baik. Rasa kehilangan menamparnya telak beberapa waktu setelah perempuan itu ia depak. Ia sadar betapa sulitnya melupakan masa-masa indah yang telah sekian lama mereka rajut. Menyikapi masalah ini Markus berpikir untuk mencari pengganti Linda. Seorang perempuan yang akan dijadikan tempat pelampiasan alternatif.
“Kamu masih doyan jajan kan Rob?”
“Kadang-kadang, paling seminggu sekali setiap akhir pekan”
“Carikan aku mainan baru ya”
“Kalian pisah?”
“Bukan pergunjingan menarik!”
“Ada sih, akhir pekan kemarin aku baru mencobanya, memang dahsyat Man, pokoknya kamu tidak bakal menyesal. Namanya Yuli. Banyak yang sudah mencoba, dan semuanya terperangah” Roby menggebu-gebu mempromosikan mainan barunya. Markus tersenyum dingin. Meski tenang-tenang saja ternyata ia penasaran.
Ketika Markus mengangkat topik pembicaraan yang sama dengan teman-teman kantornya yang lain, nama Yuli selalu dipergunjingkan. Rata-rata rekan bisnisnya sesama pria-pria haus hiburan memuji habis-habisan perempuan itu.
“Benar-benar servis kelas wahid. Semalam penuh tubuhku banjir keringat” tukas Sinyo tak kalah bersemangat. “rugi betul kalau tidak dicoba” lanjutnya.
“Mungkin nanti” jawab Markus tenang.
Di belakang meja kerjanya Markus kembali merenung. Lama-kelamaan pola hidup seperti ini membosankan juga. Setiap hari mengurusi pekerjaan. Menikmati puncak keberhasilan seorang laki-laki. Senang-senang dengan rekan kerja. Ia sadar telah lama terkurung dengan dunia sendiri. Dan kebiasaan ini semakin menjauhkannya dengan keluarga. Usia tak pernah abadi. Kejayaan tak melulu mendampingi setiap orang. Ia benci membayangkan bila seandainya terpuruk miskin tanpa menikmati kebersamaan dengan keluarga. Alangkah sepinya saat-saat seperti itu. Ya, kepala keluarga menentukan segalanya. Ketentraman sebuah tempat tinggal tak akan lepas dari kontribusi kepala keluarga. Jika ia berubah menjadi lebih baik, maka seisi rumah akan baik pula.
Markus kukuh membulatkan tekad. Sudah saatnya ia mendisiplinkan diri menjadi sosok suami atau ayah yang semestinya. Tak lama lagi umurnya mencapai setengah abad. Sangat tak masuk akal bila ia masih menghabiskan waktu untuk sesuatu yang tak berguna. Apalagi di usia seperti itu maut paling gemar berkhianat. Sepatutnya berubah sebelum terlambat.
Hari-hari berikut perilaku Markus berubah drastis. Di rumah ataupun tempat kerja ia menjelma layaknya tokoh bijaksana pengayom orang-orang sekitar. Sikap yang nyaris membuat keluarga dan teman sekantor mati keheranan. Ketika mereka meminta penjelasan, Markus hanya menjawab dengan penuh wibawa, “ aku cuma ingin mengisi hidup dengan baik”. Titik. Tak ada lagi penjelasan lanjutan.
Jadwal kegiatan Markus kini mulai diatur seperlunya. Agenda-agenda yang tak penting sedapat mungkin diminimalisir. Pokoknya saat ini keluarga yang utama. Kini ia pun lebih banyak di rumah ketimbang keluyuran di luar. Membaca buku-buku psikologi dan literatur tentang ilmu kehidupan. Jika terhinggap waktu senggang ia tak segan-segan membantu tukang kebun membersihkan dan menyiram tanaman. Berkali-kali rekan sekantor meneleponnya untuk sekadar minum bir di pub, makan malam bersama di restoran mahal, semuanya ditampik.
Malam itu ia Cuma sendirian. Pembantu sudah tidur karena kelelahan. Istri dan kedua anaknya belum pulang sejak pagi. Ia duduk menyamping di tempat tidur. Menikmati wajah polos cucunya yang sedang terlelap memeluk boneka anjing. Markus tersenyum. Rasa tenang menelusup di hatinya. Ia kembali ke kamarnya. Berbaring dan menghayal sesuka hati. Setelah itu membaca buku. Malam semakin larut ia masih diam sendiri di tempat tidur. Tiba-tiba Markus merasa diserang rasa sepi yang hebat. Lebih banyak menghabiskan waktu di rumah ketenangan yang ia harapkan tak kunjung datang. Ia bangkit menuju teras rumah. Menghirup udara malam ditemani segelas kopi pahit. Kembali memikirkan diri sendiri.
Markus tak tahan juga. Ia menelepon seseorang.
“Kamu lagi di mana Rob?”
“Aku di kafe biasa bersama teman-teman lain”
“Aku segera ke sana”
Markus bergegas keluar rumah untuk menyegarkan diri sejenak. Tak ada salahnya sesekali menikmati kehidupan malam. Pikirnya.
Roby dan dua temannya menyambut teman lama mereka dengan senyum.
“Begitu dong, jangan jadi orang baik terus” ujar Sinyo yang disambut tertawa tiga orang perempuan yang sedang mengerumuni mereka. Markus tetap diam dan meneguk segelas bir di meja.
“Kamu mau yang segar-segar kan?” tukas Roby menggoda.
Markus tersenyum. “memangnya untuk apa aku kemari?”
“Masih ingat perempuan bernama Yuli yang aku ceritakan itu?. Kamu mesti mencobanya malam ini” Roby beranjak memesan wanita untuk Markus.
Bergelas-gelas minuman habis diteguknya. Seolah hendak membalas dendam setelah berminggu-minggu berhenti mencicipi minuman keras. Markus melayang ke dunia ke tujuh. Hatinya girang sekali.
Ia berdiri dan melangkah ke kamar yang sudah disediakan. Markus tak tahan untuk segera mencumbui wanita cantik itu. Dengan terhuyung-huyung ia menggerakkan tubuhnya. Memasuki kamar ia langsung menghempaskan diri di tempat tidur. Perempuan itu mengenakan pakaian minim yang menggoda gairah. Setengah sadar Markus menatap perempuan itu. Pandangannya terhenti. Perlahan pengaruh alkohol yang menguasainya luntur. Markus seperti menatap sesosok hantu. Sementara perempuan itu terdiam. Wajahnya membeku. Keringat mendadak melumuri tubuhnya. Nafasnya tersendat, melewati sepasang daun bibir yang gemetar.
“Ayah?”.
Sejak malam itu sebagian besar hari-hari Markus hanya diisi dengan merenung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar