Senin, 26 Juli 2010

A Letter From Alexa

Op'z Hestee



Tokyo, 19 Februari 2008

Bilamana kah wajah bumi ketika hujan enggan bercinta lagi?
Dan Kau adalah wajah yang akrab dengan hati ini ….
Aku Alexa. Sahabatmu, Seorang perempuan biasa dengan mimpi yang panjang. Bertarung dengan semua mimpi dalam skenario cerita yang tidak pernah berhenti. Berhenti berarti mati-itupun diluar konsekuensi teori bahwa ada kehidupan sesudahnya. Aku hanya Menjalani sesuatu yang bukan kehendak diri tapi kehendak hidup. Dalam pertarungan mencocokan segala macam ego dan emosi diri dengan semua realita kehidupan dan sering aku kalah karena aku masih bernafas.
Nafas adalah sebuah bukti bahwa kehidupan itu yang masih harus dipertarungkan di setiap hitungan waktu. Dan perjalanan waktu itu adalah dimana Tuhan menunjukan KemahakuasaanNya dengan menayangkan sebuah skenario panjang yang mengurai desah berat, derai tangis, gelak tawa dan termaktublah kisah-kisah anak manusia yang dihidup di bawah kaki Langit ini. Seiring dengan perputaran bola bumi pada porosnya, demikian manusia harus tahu bagaimana hidup tetap berpusat pada penciptaNya. Segala sesuatu yang bernafas di muka bumi ini harus memahami arti hidup ini yang sesungguhnya. Hidup hanya sekali dan selebihnya adalah mimpi yang panjang. Suatu misteri mimpi yang tidak pernah kita ketahui dan kita ada di dalamnya. Pemikiran kita belum mampu menerjemahkan maksud Tuhan itu. Sedang manusia hanya mengerti soal dirinya dan memaksakan kemauannya saja.
“ Kita tidak harus merasa kehilangan untuk sesuatu yang bukan punya kita. Merupakan sebuah anugerah ketika kita merasa bahagia dengan kehadirannya tanpa harus merasa memilikinya.” Tegasku dalam sebuah dialog singkat dengan seorang teman lama. Setelah itu sebuah kalimat yang tidak pernah asing bagiku menyelonong menelanjangi pikiranku sesaat. Adalah Sebuah kalimat yang pernah kugunakan ketika menyembuhkan sobekan hati di dada ini hanya karena sebuah pertautan emosi yang keliru. “Cinta itu adalah hanya memberi dan tidak pernah menerima. Memaafkan tanpa pernah menghitung …” ujarnya pelan. “Orang mengklaim bahwa itulah hakikat Cinta yang sebenarnya” tambahnya sedang aku menentangnya dalam batin. Tidak! Sama sekali tidak seperti itu. Cinta itu butuh alasan mengapa dan untuk apa sebenarnya Cinta itu ada. Alasan itu membutuhkan balasan. Siapa di dunia ini yang bisa memberikan segala sesuatu dengan cuma-cuma kecuali Yesus yang menurut Kristiani rela mengganti kematiannya untuk menebus dosa manusia.
Hakikat cinta itu adalah bahwa Cinta akan menuntut balas untuk Kebahagiaan dan Cinta yang tidak menuntut balas adalah Penderitaan Abadi. Apa ada manusia yang tidak mau bahagia di dunia ini? Kita tidak perlu munafik untuk berteriak pada dunia bahwa kita ingin bahagia. Kita ingin dibutuhkan dan kita ingin semua menerima kita dan kita sangat ingin dicintai. Dan semua itu beralasan. Itulah manusia dan Egoisme emosinya yang kekal yang tidak bisa dirubah oleh siapapun. Dia memegang tanganku, menatapku dalam-dalam “Akulah cinta itu! “ Dia diam sedang aku berusaha semampuku meredam detakan jantung yang mulai bergemuruh berlomba dalam dada sedang adrenalinku mulai merancangkan pemikiran-pemikiran aneh untuk membantah idenya yang sempat membuatku terhenyak dan terpaku tak puas. Dia melanjutkan gerakan bibirnya dengan membunyikan beberapa kata dalam sebaris kalimat masih dengan nada yang sama, “Lihat! Hujan tidak pernah menarik air-airnya kembali ke langit! Badai tidak pernah meminta tanah atau alam mengamuk ! Matahari tidak pernah meminta sesuatu sinar apapun dari bumi untuk mengganti sinarnya! Mereka hanya tahu memberi… !!!”
Melepaskan pegangannya, aku melengos dan mematahkan ide filosofisnya itu “ Mereka beremosi tanpa jiwa! Non Organik” Lalu sergahnya, “Alexa! Akulah Hujan dan badai itu! Aku bisa membuktikan padamu!” Dengan mengedipkan mata segera ku berlalu beberapa meter dari tempatku berdiri sebelumya, memutar badan 180 derajat dan melangkah “Be Realistic, Hiro! “. Tak ada jawaban lagi dari sosok yang seperti badai menyambar pikiranku. Hiro dibesarkan dalam keluarga mampu di Tokyo yang penuh cinta walaupun orang-orang yang mencintainya pergi lebih cepat. Dan dia membuktikan dia adalah Badai dan Hujan itu yang menerpa bumi tanpa menuntut balas Sedang aku adalah bumi dan tanah yang telah rusak karena ego manusia yang ada di dalamnya. Keluargaku tidak pernah mengajariku bagaimana cara mencintaii yang baik hanya mereka memberikannya dalam kemasan-kemasan yang berbeda. Seperti Papa yang sering menjajakan cintanya kepada beberapa pelayan warung kecil yang tak jauh dari rumah sementara Mama yang selalu menangis setelah selesai mendoakannya. Sebuah keluarga Nelayan yang miskin kami hidup atas nama hidup itu sendiri dan bukan atas nama cinta. Dan memang Tuhan itu adil, kami semua masih bernafas dan bercinta dengan alasan masing-masing. Kami masih berada di dalam rumah itu dengan ketekunan akan hidup dan peran masing-masing tanpa peduli kesan dan pesan dari beberapa orang yang memperhatikan kami. Kami hanya hidup, bekerja, tertawa di saat sedih dan sedih ketika yang lain tertawa. Dengan alasan bahwa masih banyak orang lain di luar sana yang tidak bisa menikmati semua keindahan yang sudah bisa kita terima secukupnya. Aku ke Tokyo sejak sepuluh tahun yang lalu dan kabar yang kudengar masih sama dari sana. Kita masih menerima semuanya dan bertahan dengan penuh rasa terima kasih pada Tuhan.
“Aku lelah, Hiro! terlibat dengan orang-orang yang selalu memulai dengan emosi dan untuk mengakhiri mereka tiba-tiba bicara soal logika. Sebuah rasionalisasi yang tidak masuk akal. Tidak ada cinta yang tidak beralasan di dunia ini. Bahkan bukan hanya sebagai Badai, mereka adalah Tsunami yang menghancurkan tanpa ampun!” Dia tidak berkata apa-apa hanya sorot matanya sedang melawan menghidupkan sorot mataku yang mulai redup dan berkaca. Dengan raut yang sangat tenang dia mencari- cari pintu hatiku. Aku tak mampu menatap mata itu lama-lama. Kemudian dia menenangkan aku dengan sebuah guyonan cerita-cerita seputar teman dekatnya ”Aku mengenalnya belum lama tapi sepertinya aku telah bercinta berabad-abad yang lalu, dia di depanku, sedang mendengar ceritaku, sedang menatapku, dan dia menganggapku seperti laki-laki kebanyakan yang dia jumpai….” Dia berceloteh tentang aku sampai membuatku tersenyum dan kemudian ku bergegas memotong dan melanjutkan ceritanya dengan topik dirinya. Kami bercerita seperti menceritakan orang lain yang kita kenal, padahal kami sedang membicarakan diri kami sendiri. ”……Saya suka bercerita dengannya, dia temanku paling baik” itulah kalimat penutupku yang bisa meredakan amukan badai di sinar matanya itu. Lalu kami tertawa.. Di pembicaraan berikutnya lama kemudian kami bersentuhan. Bercinta. Dan aku merasakan benar bahwa hujan itu tidak pernah menuntut balasan apapun dan tidak pernah berkehendak menyakiti. Hanya saja ….kita tidak tahu Bahwa suatu saat Hujan itu berhenti. Di bagian ini Hiro lupa meyakinkan padaku sesuatu bahwa suatu ketika dia pergi tiba-tiba persis seperti hujan. “Aku akan tetap menghubungimu! Tapi maaf aku tidak menjamin bahwa kita masih akan tetap bercinta!” artinya dia berhenti menjadi hujan, baru kali itu semua organku terdiam. Semua logika dan ide filosofisku berhenti. Badai itu tiba-tiba berhenti. Setelah aku telah mengakui dan merasakan bahwa benar badai mengamuk dalam emosiku tanpa alasan dan batasan.
“Selesai sudah Cerita tentang Badai dan Hujan milik Hiro Tatsuno. Walau aku masih ingin terus hidup dalam badai besar itu, dan sebenarnya Akulah yang mengamuk dalam badai itu. Dan Hujan itu adalah tangisku hari ini. Aku tidak perlu menanyakan alasannya karena alasan itu hanya milik Hiro. Aku tahu apa arti cinta itu dengan menggeluti emosi yang asing dan dengan sadar melakukan pengkhianatan terhadap realisme logikaku. Aku bergelut dengan emosi itu dan masuk di dalamnya bahkan lebih dari sekedar emosi karena aku lebih mencintai semua apa yang tersembunyi dalam Badai itu, sebuah ketakutan dan kelemahan dibaliknya yang kuubah menjadi ketulusan. Namun benar coba kamu bayangkan apa yang akan terjadi denganku jika Selama-selamanya aku mencintai Hiro Tatsuno! Kita telah beremosi seperti badai dan hujan tapi suatu saat kita harus berhenti supaya tidak menjadi bencana yang panjang. Ada saatnya dia harus menjadi badai dan hujan di tempat lain. Cukup mencintainya sekali dan menyimpannya dengan baik, karena membencinya aku tidak punya alasan. Sebuah Cinta yang sudah kita rasakan itu tidak layak dibandingkan dengan seribu kebencian dengan penyesalan yang tidak beralasan. Dia mengajariku menjadi badai, membentukku menjadi hujan. Setelah itu baru aku mengerti apa yang dimaksud dengan hakikat cinta itu. Untuk bagian ini Logikaku membenarkan semuanya dan setelah itu memang Hiro pun tahu bahwa alasan itu selalu ada. Ketika logika itu ada maka emosi itu beralasan. Dan ketika emosi itu hilang maka logika itu hanya teori!
Sebenarnya kita hanya diajari cara mencintai dan bukan membenci tapi Kita memang sering kalah dalam hal ini karena Nafas ini yang membuktikan bahwa kita masih manusia, dan Waktu selalu menjadi alasan, Sahabatku.
Aku menceritakan semuanya ini padamu dalam sebuah surat yang kutulis dengan tanganku sendiri buatmu seorang sahabat yang paling tahu suka duka dan lukaku menjalani hidup setelah cerita badai dan hujan itu.
For My beloved Friend, HIRO TATSUNO
Sender,
ALEXA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar