Minggu, 25 Juli 2010

Pahit

Greenhill Weol



Angka-angka dijital di pintu lift bergerak turun. Warna merah berpendar dari ratusan elemen lampu LED yang dibungkus menjadi kelompok cahaya yang berganti-ganti mati dan hidup membentuk angka... 3 ... 2 ... 1... Lift menyentuh lantai dasar, namun diam sunyi. Dua bilah pintu alumunium yang jadi pemisah antar-ruang tertutup rapat. Dua tombok berbentuk panah ke atas dan kebawah di samping lift tidak bercahaya merah karena belum ada yang menyentuhnya. Ruang depan lift sunyi mati. Karpet merah tua yang mengalas ruang itu seakannyala api neraka. Cat krem pucat yang melapis dinding beton laksana kulit yang sementara diam terpanggang neraka di bawahnya... sedang tempat abu rokok di sudut ruangan berkilau dingin. Ya, dingin. Dan... entah dari mana datangnya sebuah jari lentik sudah mendekati tombol naik dengan kecepatan 00,1 kilometer per jam. Warna merah cahaya tombol memantul di kukunya yang pucat seolah tak berdarah. Pintu lift membuka.

Menempuh jarak tiga lantai seakan menembus keabadian. Detik terasa hari, menit menjadi senturi. Angin AC meniupkan jutaan partikel kedalam lift yang , juga, diam. Denyut jantung terlalu lemah untuk dideteksi bahkan oleh kuman yang sedang mengapung sekalipun! Dan gadis itu... wangi rambutnya pasti akan membuatmu mengira berada di Shangrila. Sayang, dia menyimpan matanya di belakang seonggok grafit hitam tebal pensil mata dan untai rambut itu. Jari yang tadi kini sedang menggam sesuatu. Bermilenium saat dalam waktu mati. Kemudian realitas kembali menyapa dengan denting alarm tanda tiba tujuan. Pintu yang membuka berlomba menyusul kertas, ya, kertas yang tadi digenggamnya, menyapa lantai lift. Dia melangkah keluar, siap pergi, sedang sang kertas siap menjadi sampah yang yatim piatu. Tetapi lantai ini tak sunyi.

Mata yang bersembunyi itu memapas langkah tanpa tujuan seseorang pria yang tak perduli akan apa yang menantang, apakah itu badai nan hujan atau tatapan Tuhan. Tubuh-tubuh itu beradu laksana dua titan... bukan, dua gunung es yang dulu pernah merobek lambung Titanic. Tak sampai terhempas, namun keduanya magnet yang berkutub sama. Berganti raga, di dalam dan di luar lift, mereka menukar tatap yang jauh dari hembusan damai apalagi maaf. Tapi, tak ada api selain dari karpet merah tadi. Mereka hanya saling menikam dengan patahan-patahan stalagtit dan stalagmit gua es yang memisah jiwa mereka. Pertarungan usai kala sang wasit yang selalu sigap, dua bilah pintu alumunium, memisah keduanya dalam pahit masing-masing.

***

Riak-riak ombak lemah memecah di bebatuan. Matahari sedang bersiap menyelam dalam lautan, mungkin semenit lagi. Tak ada hujan. Tak ada angin. Cuma desir darah dan detak jantung gadis yang kali ini memancang mata ke bola api yang sedang lari dari hari. Ternyata mata itu indah!... Lebih indah dari matahari dan bulan, sebab mereka tak malu-malu saat tak ragu. Dia sedang menuliskan sesuatu, tetapi dia lupa apa itu, sebab masuk matahari telah membuatnya mabuk. Cuma pada saat-saat seperti ini darahnya benar benar berpompa dari jantung mungilnya. Temaram kian parah menelan. Heran, biasanya bintang telah datang. Tetapi ganti sosok seorang yang tak takut Tuhan muncul entah dibawa jatuh dari Mars, siap dengan segala perlengkapan perangnya di hati yang tadi dirobek taji gua. “Tentang sampah yang kau buang di lift... Aku mau balas dendam...”. Itu bisiknya, namun suara itu membelah kesunyian laksana pedang pusaka yang baru dicabut dari sarungnya. Dan... gadis itu tertikam. Kedua mata itu kembali bersembunyi dibalik urai rambut yang kelam. Dingin! Bahkan tanpa angin dan musim sekalipun. Ketika gerhana total oleh malam menyisa, tinggallah sendiri ia dan gumpalan kertas yang sedari tadi dihadapannya. Tiba-tiba seperti kuasa dari alam baka, ia meremas-remas sang kertas jadi gumpalan dalam genggaman dan... dilemparnya ke tengah lautan. Tak langsung tenggelam, gumpalan itu jatuh disambut ombang-ambing ombak kesana kemari sampai akhirnya dihempas ke bebatuan dan bersembunyi dalam celah yang menganga.

***

Dua gunung beku itu duduk hadap-hadapan. Kali ini jarak selebar meja saja yang memisah mereka. Mata sang gadis sedang memandangi matahari di mata laki-laki di hadapannya. Sayang, masih terlalu siang, sehingga tak ada kelembutan sutra disana. Oh ya, ada secangkir kopi yang mengepul halus di tengah tengah meja. Hanya cangkir, tak ada tatakan atau sendok kecil. Dalam dunia mereka, tempat itu sunyi. Hanya mereka berdua yang bertapa di puncak Mahameru. Mungkin para dewa sedang menyaksi, tapi tak kasat mata. Toh tak ada dewa yang bisa membuat mereka berhenti membenci. Hampir saja cangkir itu membeku ketika mereka akhirnya saling membuka keran kata.

“Mengapa kopi...?”.

“Ini kehidupan!”.

“Tau apa kau tentang kehidupan!”.

“Tak tahu apa apa... selain yang diajarkannya kepadaku”

“Apa itu?”

“Belajarlah sendiri”

“Kau mau meracuni aku?”

Lelaki itu bangkit dari duduknya. Matanya menerawang jauh ke batas horison yang kali ini hanya dibedakan selimut bintang. Ia mau melangkah pergi ketika jemari-jemari lentik itu mulai bergerak sesenti-sesenti mendekati cangkir di depannya. Bagai mereka punya abadi, cangkir itu dibawa mendekati bibir dan menenggelam muka kedalamnya. Wajah gadis itu tak berubah oleh rasa. Tak ada segerak otot bahkan yang terhalus sekalipun di tubuhnya. Ia melirih perlahan. Hampir terlalu kabur untuk didengar pria didepannya.

“Mengapa pahit...?”

“Itu kemurnian”

“Maksudmu?”

“Tak ada gula dalamnya”

“Jadi?”

“Kopi memang pahit. Jika ingin manis, tambahkan gula”

“Gula...?”

Gadis itu mencoba menangkap pandang laki-laki di seberangnya, namun ia kini telah melangkah meninggalkan kesunyian menyatu dengan cangkir dan gadis itu. Ia kini cuma bisa tertunduk seperti biasanya, hanya kali ini mata itu belum bersembunyi. Ia masih memandang tajam gelembung-gelembung kecil yang melekat di dinding dalam cangkir. Lama seperti ini. Ketika ia meloloskan segumpal kertas dari kantongnya, waktu sudah larut. Kertas itu kemudian diurainya perlahan-lahan. Dari sebuah gumpalan tak beraturan kembali jelas ujung-pangkal. Tak lagi halus rapi, memang. Tetapi cukup jelas untuk mengurai makna diatasnya. Gadis itu membentangkan kertas lusuh tadi di meja. Sebuah guratan merah api neraka melintas di kertas itu. Sebuah tulisan dengan spidol:

LIFE SUCKS!

Buru-buru ia mengobrak-abrik tas gantungnya seakan mencari sesuatu yang amat penting. Sesuatu yang dapat membuat perbedaan hidup dan mati. Tapi yang ditemukannya hanya pensil mata hitam kesayangannya itu. Tanpa pikir panjang ia mencoretkan beberapa kata. Tidak, Cuma dua kata saja. Setelah itu, kembali ia meremas kertas tadi. Kali ini ia tak membuangnya. Gumpal itu diletakannya di meja, dekat cangkir kopi itu. Gadis itu kemudian bangkit dan bergegas pergi. Ia berjalan cepat, secepat degup jantungnya, telah lama ia tak berjalan secepat ini. Bahkan kemudian ia berlari dan berlari, mungkin menuju matahari yang tak mau terbenam itu.

***

Aku yang menemukan gumpalan kertas itu. Ya , aku. Kau pasti tak kenal aku. Apalah artinya nama, panggil saja aku “yang tak jadi mati”. Sekarang akan kuberitahukan apa yang tertulis di kertas itu. Tetapi kau harus berjanji untuk menceritakan kisah ini kepada orang lain, semua orang yang mungkin kau temui. Sebab banyak yang sepertiku. Pasti juga banyak yang akan menjadi aku. Jangan lupa membacakan kata-kata yang di goreskan dengan pensil mata:

add love...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar